Caleg PDI-P
Lihat Kearifannya,
bukan Semata-mata Ijazahnya
Oleh Tarto Sudiro
Ketua DPP PDI-P
caleg jadi dari daerah pemilihan Kab. Tasikmalaya
TERUS terang saja, semua kritik dan sinisme yang dialamatkan kepada caleg PDI Perjuangan baik di DPR, DPRD I, dan DPRD II, itu saya anggap sebagai ujud dari sentimen terhadap partai. Atau mereka itu tidak mengerti persoalan. Bagi saya, ini sama saja dengan melecehkan kehendak rakyat. Kita akui adanya keragaman di antara ribuan kader PDI yang masuk ke dalam nominasi anggota Dewan, baik di pusat maupun di daerah. Untuk DPRD II, ada yang hanya lulusan SLTP. Bahkan di antara mereka sebelumnya ada yang berprofesi sebagai tukang becak, juru parkir atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Kami tidak malu, bahkan bangga terhadap itu.
Namun janganlah dikait-kaitkan antara latar belakang profesi dengan tingkat kualitas seorang caleg. Hendaknya jangan pula dibandingkan isi 'kepala' seorang tukang becak dengan cendekiawan atau sejenisnya.
Harap dicatat, di PDI-P juga ada cendekiawan dengan kepakaran profesor. Ada spesialis di bidang valuta asing. Pakar di bidang hukum, sistem pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya. Dari mereka-mereka ini, selain kearifan, juga diharapkan lahirnya konsep-konsep bagaimana membangun negeri ini. Sejak awal, sebenarnya, bangsa ini tidak dibangun oleh mereka yang berpendidikan sangat tinggi tetapi mereka yang memiliki kearifan budi dan ketulusan hati untuk memajukan bangsa.
Serupa dengan caleg PDI-P yang sebelumnya berprofesi sebagai tukang becak dan sejenisnya. Jangan harapkan dari mereka akan keluar konsep yang ndakik-ndakik (sistematis), atau teori sistem yang canggih, tetapi kearifannya dalam menyikapi persoalan kemasyarakatan sangatlah memadai. Pola pikir kita, kira-kira begini: Sebagai anggota DPRD II, mereka harus paham terhadap persoalan yang terjadi di daerahnya. Misalnya, kalau katakanlah anggota DPR itu pernah menjadi tukang becak, atau tukang parkir, mereka akan mempunyai pengalaman yang cukup sehingga dapat melakukan kontrol terhadap pemerintah daerah khususnya dalam penataan kota.
Mereka bisa bercerita tentang bagaimana sebaiknya sebuah kota itu dikembangkan. Bagaimana kehidupan orang paling bawah yang selama ini tersisihkan. Mereka juga bisa membela kaumnya, jika ada kebijakan pemda yang akan merugikan. Persoalan perkotaan akan lebih tampak dengan jelas, apabila ada di antara anggota Dewan yang pernah merasakan bagaimana susahnya sebagai orang bawah. Ini yang harus dimengerti.
Singkat kata, untuk membangun sebuah kota atau wilayah dati II, diperlukan masukan-masukan yang bersifat teknis. Khususnya dari mereka yang selama ini tersisihkan. Dan itu, yang ahli adalah mereka yang pernah hidup dalam situasi itu.
Dari catatan saya, caleg PDI-P yang berlatar belakang tukang becak dan sejenisnya itu tidak banyak sekitar 10 orang saja. Tapi, di atas itu semua, partai menaruh harapan besar, agar mereka bisa lebih memanusiakan perencanaan sebuah kota. Itulah dasarnya.
Agaknya kita juga perlu mengoreksi pola pikir yang selama ini berkembang. Janganlah mengukur kearifan seseorang itu, dari tingkat pendidikannya. Juga janganlah menilai seseorang dari berapa banyak lembar ijazah yang mereka miliki. Karena itu semua bisa menyesat- kan. Lebih dari itu saya juga ingin mengatakan, kalau menurut pengetahuan saya, PDI-P adalah satu-satunya partai yang pada waktu menyusun caleg, itu memuat kriteria tambahan selain yang ditetapkan oleh undang-undang, untuk DPR minimal lulusan SLTA, sedangkan untuk DPRD minimal SLTP. Kriteria tambahan itu, berapa lama di partai, apa pengalaman- nya, sudah terlibat dalam kepanitiaan apa saja di jajaran partai. Juga pendidikan tambahan apa saja.
Kalau SMP dan SLTA, dia pernah ikut kurus apa. Berikut apa pengalaman-pengalaman mereka di luar PDI-P. Kita juga tanyakan, apa visi mereka, semua itu ada formulirnya. Kita memilihnya dengan angka tertinggi.
Tentang bagaimana-bagaimananya, nanti lihatlah di DPRI, DPRD II, dan DPR, kualitasnya apa betul akan rendah. Selain itu, kita juga akan melakukan pembekalan dan penataran.
Saya ingat di Jabar ada ketua PAC (pengurus anak cabang), yang juga sebagai caleg DPRD II. Dia tukang becak, tetapi sarjana S1. Jadi tentang pekerjaan itu, janganlah dipersoalkan, yang penting mereka mampu mengarifi perubahan zaman ini.
Wawancara Megawati Soekarnoputri:
Saya Tak Mau Merendahkan Martabat Mereka
TAJUK
No.10/Th.2 - 8 Juli 1999
WAJAH Megawati Soekarnoputri, 53, terlihat masih menyiratkan keletihan, juga duka yang cukup mendalam. Letih, karena kesibukannya sebagai ketua partai pemenang pemilu, kini, menjadi luar biasa padat. Tapi juga duka, karena Minggu malam (4/7) Megawati telah ditinggal Eyang Citro – pengasuh yang telah mengurusnya sejak masih bayi – pergi untuk selamanya. Mengingat jadwal yang ketat dan kejadian-kejadian tak terduga itu, untuk mencari peluang wawancara khusus dengan Mega, kami menugasi dua reporter, Ibnu Atho’ dan Usman Sosiawan. Akhirnya, ketua umum PDI Perjuangan ini menerima Tajuk untuk sebuah wawancara eksklusif di sebuah posisi di mana Ibnu Atho’ berada. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di Jakarta pada Senin (5/7) menjelang tengah malam itu:
Banyak kritik dilontarkan terhadap susunan caleg PDI-Perjuangan. Selain soal SARA, kapabilitas caleg pun disorot. Tanggapan Anda?
Saya percaya kepada rakyat Indonesia, yang pasti akan memperhatikan dan mengawasi kerja para wakilnya di DPR maupun MPR nanti. Kita lihat saja, apakah kekhawatiran tentang itu benar terbukti, atau justru sebaliknya. Setiap warga PDI-Perjuangan sendiri, termasuk para calegnya, pasti memahami, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sehingga, memperjuangkan aspirasi mayoritas, dengan sendirinya, merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar.
Jadi, penekanan saya lebih pada kemampuan para wakil rakyat itu sendiri. Terutama, dalam mempersembahkan hasil akhir, yang menjamin rakyat banyak berada dalam posisi yang tidak dirugikan. Saya rasa, memperbaiki kualitas kehidupan yang islami merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari garis perjuangan partai. Begitu juga kualitas kehidupan rakyat pemeluk agama lain. Dengan begitu, kehidupan kerukunan beragama dapat meningkat pula kualitasnya. Hasil akhirnya: kualitas kehidupan rakyat yang meningkat diharapkan dapat menjauhkan rakyat dari berbagai bentuk kekufuran. Itu substansinya. Dan, insya Allah, arahan saya pada setiap caleg selalu berada dalam koridor itu.
Anda tidak melihat, isu muslim dan nonmuslim tersebut akan berpengaruh terhadap pencalonan Anda sebagai presiden dalam SU MPR nanti?
Kalau kita berpikir secara islami, tidak perlu takut. Mengapa saya katakan begitu, karena ajaran Islam itu begitu mulia. Sehingga, malah sangat merendahkan martabat Islam sendiri apabila ajaran yang mulia ini dinodai oleh intrik-intrik politik yang justru tidak islami. Artinya, ketulusan dan kejujuran untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat – yang sudah lama menderita – merupakan amanat dan substansi ajaran itu sendiri.
Kalau kemudian ada kelompok-kelompok tertentu yang mau merendahkan martabat ajaran Islam, misalnya dengan menggunakan Islam sebagai alat politik yang hanya bertujuan memenangkan kelompok tertentu dan bersifat sesaat, saya yakin, di antara para pemeluk Islam sendiri masih banyak yang mampu memberikan pencerahan. Antara lain, dengan menebarkan semangat api Islam yang damai dan sejuk, seperti yang dilakukan kiai-kiai di Rembang baru-baru ini.
Jadi?
Kalau masalah proses di SU MPR, saya percaya, pada saatnya nanti kesadaran para wakil rakyat untuk bersuara berdasarkan panggilan nuraninya akan terjadi. Kita berdoa saja agar Allah swt. memberi taufik dan hidayah-Nya, dengan membuka mata hati dan pikiran para wakil rakyat. Setidaknya, supaya mereka dapat benar-benar melakukan tugas yang diamanatkan seluruh rakyat Indonesia. Kita semua tahu, rakyat sangat menginginkan perubahan dan perbaikan, sebagaimana tuntutan ketika agenda reformasi digulirkan.
Diskusi publik mengenai capres, kini, terkotak dalam dua kubu: Anda dan Habibie. Ada pendapat, secara politik, Habibie tampak lebih kuat, karena PPP, PBB, dan PK, lebih berpeluang bergabung dengan Golkar untuk mendukung Habibie.
Masalah siapa mendukung siapa, saya rasa, itu hak politik setiap anggota MPR. Namun, secara pribadi, saya percaya, di lubuk hati nuraninya, para anggota MPR itu tahu pasti apa sebenarnya kehendak rakyat. Sebagai orang beragama, saya yakin, Tuhan selalu berpihak kepada yang benar. Saya juga percaya, kawan-kawan, dari partai mana pun, akan terpanggil untuk tidak bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia, tetapi juga kepada Tuhan.
Karena itu, masalah dukung-mendukung yang berkaitan dengan hawa nafsu memperebutkan kekuasaan, apalagi hanya untuk sekadar berkuasa, bukan merupakan pilihan saya. Buat saya, masalah ini tidak terlalu menjadi persoalan. Lagi pula, SU MPR kan masih jauh. Lha, penghitungan suara saja nasibnya masih terseok-seok seperti sekarang. Jadi, sebaiknya, kita berkonsentrasi dulu menyelesaikan setiap tahapan dengan baik. Agar rakyat yang sudah begitu tulus dan bersungguh-sungguh menjaga pemilu terlaksana dengan damai, tidak dikecewakan.
Fakta berbicara: PDI-Perjuangan meraih suara terbesar dalam pemilu dan Anda yang dicalonkan sebagai presiden. Sikap Anda?
Para wakil rakyat, dari mana pun ia berasal, seharusnya dapat bercermin pada perolehan suara pemilu. Itu jika ia benar-benar berjiwa demokrat yang memahami dan memaknai suara rakyat, yang langsung dinyatakan secara terbuka dalam pemilu. Pada dasarnya, saya tidak ingin mengecewakan kepercayaan dan pilihan rakyat. Rakyat telah mengamanatkan kepada saya untuk memenuhi keinginan mereka memimpin bangsa ini menuju Indonesia baru, dengan semangat, mental, dan pikiran baru pula.
Masalahnya, orang kini justru ragu amanat rakyat itu bisa benar-benar terwujud. Bukan rahasia, banyak pihak berusaha menjegal Anda, mulai dari meniupkan isu gender hingga yang meragukan kapasitas pribadi Anda.
Kalau rakyat yang ragu, ketidakbenarannya sudah dijawab. Yakni, lewat perolehan suara pemilu. Tapi, bahwa ada pihak-pihak yang masih mencoba memaksakan kehendak dengan mengabaikan kaidah demokrasi, moral, dan etika politik, itu juga tidak dimungkiri terjadi dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Jadi, pantas saja jika berbagai isu politik yang bertujuan mendiskreditkan diri saya sengaja dimunculkan ke permukaan.
Yang penting dipahami oleh setiap wakil rakyat, pemilu dan SU MPR itu merupakan rangkaian dari satu tarikan napas. Keduanya tidak terpisahkan. Ini kalau kita mau memaknai pemilu sebagai mekanisme demokrasi, yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai legitimasi negara yang berdasarkan hukum. Sedangkan, SU MPR tidak lebih dari sebuah mekanisme ketatanegaraan untuk melegalisasi kehendak dan keputusan rakyat yang tercermin dalam pemilu.
Reaksi yang kemudian menjadi fenomenal adalah ketika pendukung Anda ramai-ramai bersumpah dengan cara menerakan jempol berdarah. Masalahnya, hal itu lantas dibayangkan sebagai tindakan yang mencerminkan radikalisme kelompok.
Begini lho, ya. Mbok jangan melihat segala sesuatu itu dengan imajinasi yang berlebihan. Apalagi, imajinasi yang sudah terpatok oleh stereotip cara pandang yang serba ekstrem. Saya sendiri melihatnya lebih dari sudut pandang seorang ibu. Ibu yang punya anak banyak harus dapat memahami beragam karakter anak-anaknya. Ada yang begini, ada yang begitu, dan sebagainya. Tapi, kalau kita melihat secara jernih, semua itu sebenarnya hanyalah ekspresi kejengkelan yang timbul dalam masyarakat, atas perilaku elite politik yang belakangan ini terkesan mengabaikan atau mengaburkan eksistensi suara rakyat.
Artinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan?
Ya, tidak usah terlalu khawatir. Sebagai ibu, saya kenal anak-anak saya. Percayalah, mereka akan tetap patuh dan tunduk pada arahan dan kepemimpinan saya. Masa, enggak kenal saya sih? Saya kan anti kekerasan. Tolong catat itu.
Satu hal, Pemilu 1999 terbukti tidak menghasilkan mayoritas tunggal. Dari sini, orang lalu membayangkan besarnya peluang terjadi deadlock dalam SU MPR.
Soal itu, cobalah kita melihat permasalahannya secara dingin. Ingat, pemilu kali ini diikuti 48 partai. Saya ulangi, 48 partai. Tidak seperti waktu lalu, yang hanya diikuti tiga partai. Nah, dengan 48 partai yang ikut serta, lalu Anda lihat sendiri perolehan suara PDI-Perjuangan, seharusnya dari situ Anda melihat konteksnya. Takaran single majority yang kita pahami di masa lalu, jelas, tidak sesuai dengan paradigma politik hari ini. Tetapi, kalau dicari-cari, tentu ada saja alasannya. Apalagi kalau dengan menghalalkan segala cara.
Tentang kemungkinan deadlock tadi?
Mengenai kemungkinan terjadi deadlock, saya rasa, itu termasuk bagian dari permainan politik yang menghalalkan segala cara. Masalahnya, akan dikemanakan moral bangsa ini jika suara mayoritas rakyat dalam pemilu – yang jelas-jelas menuntut perubahan dan pergantian – seolah dinisbikan?
Mari kita bikin kalkulasi. Di SU MPR nanti, ada anggota dari utusan daerah dan utusan golongan, yang – kalau ditambah kursi TNI – jumlahnya melebihi sepertiga. Bagaimana Anda melihat realitas ini?
Pertama, mengenai wakil-wakil dari TNI. Saya masih yakin, TNI adalah milik rakyat dan selamanya akan berpihak kepada rakyat. Saya juga yakin, dari hasil pemilu ini, pucuk pimpinan TNI dapat dengan jelas melihat ke mana arah keberpihakan rakyat yang sesungguhnya. Sementara, tentang wakil rakyat dari utusan golongan dan utusan daerah, saya percaya, mereka tidak seluruhnya terdiri dari orang-orang yang buta terhadap perasaan, pilihan, dan kehendak rakyat. Jadi, jangan berprasangka negatif dulu. Saya tidak mau merendahkan martabat mereka. Apalagi dengan mempercayai isu-isu yang sengaja diembuskan, seolah suara mereka dapat dibeli. Saya juga tidak meragukan sikap kenegarawanan mereka. Itu sikap saya.
Sejumlah mantan pejabat militer, termasuk Jenderal Benny Moerdani, telah bertemu Anda. Inikah isyarat, TNI berada di belakang Anda?
Kalau kesimpulan Anda seperti itu, sama saja seperti pihak-pihak atau individu yang suaranya seolah telah mewakili seluruh umat Islam di Indonesia. Begitu juga dengan Pak Benny dan Pak Moetojib. Tidak bisa beliau-beliau itu diklaim sebagai mewakili suara TNI. Beliau-beliau itu purnawirawan yang berjiwa TNI dan yang sadar bahwa TNI dilahirkan oleh rakyat. Sehingga, karenanya, jangan sekali-kali menempatkan posisi TNI berhadapan dengan kehendak rakyat. Tentang pertemuan itu sendiri, tidak lebih dari pertemuan silaturahmi. Silaturahmi antar-warga negara yang menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan lebih baik dari yang sekarang maupun yang lalu. Itu saja.
Hal lain yang ditunggu jawabannya dari Anda, tak lain, menyangkut isu koalisi. Sebenarnya, apa rencana PDI-Perjuangan dan bagaimana mengantisipasi kemungkinan koalisi Golkar dengan parpol-parpol Islam yang sepertinya kian mengkristal?
Pertama, menyangkut istilah partai Islam yang Anda gunakan. Dalam konteks ini, saya ambil contoh, bagaimana dengan PKB, yang bernapaskan Islam tapi tidak menggunakan Islam sebagai pijakan ideologi partai. Begitu juga dengan satu-dua partai yang lain. Pertanyaan Anda perlu diluruskan, karena seakan menjurus pada pemahaman Golkar dan Islam di satu sisi, dihadapkan dengan PDI-Perjuangan dengan paham kebangsaannya di sisi lain.
Padahal, realitasnya, mayoritas pendukung PDI-Perjuangan adalah pemeluk agama Islam, sebagaimana cerminan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Menurut saya, dikotomi tersebut harus disudahi. Dan, kalau saya boleh urun saran, gunakan saja istilah partai yang menghendaki saya sebagai presiden mendatang di satu sisi, dan partai yang mendukung Habibie di sisi lain. Itu lebih edukatif dan lebih menyehatkan pertumbuhan demokrasi.
Lalu, tentang koalisi tadi…
Masalah koalisi harus dipahami secara benar. Dalam bentuk pemerintahan yang presidensial, pemerintahan tidak dibentuk berdasarkan koalisi antarpartai. Koalisi antarpartai hanya berlaku dalam pemerintahan parlementer, di mana, jika ada salah satu partai yang berkoalisi mencabut dukungannya, pemerintahan akan bubar dengan sendirinya. Sedangkan, dalam pemerintahan presidensial yang kita anut, yang terjadi hanyalah kesepakatan-kesepakatan antarpartai untuk mengambil tanggung jawab bersama dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam hal ini, semangat kebersamaan untuk membentuk satu pemerintahan yang bersih dan dipercaya rakyat harus menjadi landasan utama. Pada dasarnya, yang harus tercipta dari hasil SU MPR nanti adalah lahirnya satu pemerintahan yang bersih dan dipercaya, di satu sisi. Dan, di sisi lain, lahir pula kekuatan politik yang secara kooperatif dan kreatif melakukan kontrol terhadap kualitas penyelenggaraan negara. Sengaja saya menggunakan istilah seperti itu, karena, kalau menggunakan istilah kooperatif dan oposisi kreatif, rasanya masih asing di telinga para elite politik kita. Berdasarkan hal ini, saya tetap berpegang pada tekad perjuangan partai, untuk mengajak seluruh partai yang pro reformasi dan pro demokrasi serta anti status quo untuk saling berbagi dan saling memberi. Tentu, dalam semangat kebersamaan seperti saya utarakan tadi.
Anda tampak optimistis berhasil merebut kepercayaan rakyat untuk memimpin negeri ini. Pertanyaannya: Apa konsep konkret yang Anda tawarkan untuk mengatasi problem bangsa yang sudah sangat kompleks ini? Jelasnya, mau Anda bawa ke mana negeri ini?
Kalau Anda jeli, pertanyaan Anda sebenarnya sudah saya jawab lewat pidato kampanye saya di TVRI, 2 Juni 1999. Teks pidato itu juga sudah disebarluaskan, berikut tambahan penjelasan saya. Judulnya: Bersama PDI-Perjuangan Menuju Indonesia Baru.
Kami ingin mendengar dari Anda, misalnya, solusi konkret berkaitan dengan pembayaran utang pemerintah dan swasta yang sudah mencapai US$ 140 miliar…
Khusus mengenai penyelesaian utang, maupun menghidupkan kembali sektor riil yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi, pada prinsipnya, semua itu tidak bisa dilepaskan dari tahapan-tahapan. Seperti, misalnya, mengakhiri krisis kepercayaan dengan cara memulihkannya, baik dalam wilayah nasional maupun internasional. Dan, untuk itu, harus ada kepastian hukum dengan menuntut sistem peradilan yang independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan eksekutif, serta meniadakan diskriminasi pemberlakuan hukum kepada setiap warga negara. Ini sifatnya mutlak.
Selanjutnya, menciptakan stabilitas nasional merupakan keharusan. Inilah yang akan ditempuh PDI-Perjuangan lewat pemberdayaan lembaga demokrasi. Singkatnya, memperkuat MPR dan DPR sebagai lembaga yang dipercaya rakyat untuk melaksanakan kedaulatannya. Yang juga penting, membentuk pemerintahan yang kredibel, bersih, dan berkualitas. Karena itu, apabila saya memimpin negeri ini, saya akan mempercayakan putra-putri Indonesia yang terbaik untuk duduk dalam kabinet.
Konkretnya?
Untuk lebih detailnya, saya persilakan Anda menyimak isi pidato saya. Itulah prasyarat program kerja yang menjadi kunci penyelesaian seluruh permasalahan di Indonesia. Jangan seperti sekarang, jual ini-jual itu untuk kepentingan sesaat, hanya untuk menutupi utang. Sementara, ketiga pilar pokok yang saya sebutkan tadi sama sekali tidak dipedulikan. Nah, untuk yang satu itu, baru Anda boleh bertanya: Mau dibawa ke mana negeri ini?***