Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Lenteng Agung Raya 99
Jakarta - Selatan

























MANAI SOPHIAAN



BAB X

PNI YANG MALANG

SEBUAH film dokumenter yang diproduksi oleh ABC melukiskan kegiatan CIA di berbagai negara, dengan sasaran pokoknya menghancurkan komunis, bukan saja di negara-negara sosialis Eropa Timur dan Cina, tapi juga dinegara-negara bukan komunis yang kuat partai komunisnya, seperti Italia dan Indonesia.

Mengenai Indonesia, film ini merekam ulang kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet dan Cina pada tahun 1956, di mana dilukiskan Bung Karno bermesraan dengan komunis. Tentu saja gerak-gerik Bung Karno dibayangi terus oleh CIA, bahkan merupakan obsesi yang makin lama makin memuncak dan akhirnya bermuara pada Gerakan 30 September yang membawa CIA kepada kemenangan sempurna di Indonesia. Untuk kemenangan itu, Presiden Richard Nixon (AS) menilai bahwa perubahan politik di Indonesia tahun 1966, merupakan kemenangan terbesar bagi Amerika di Asia Tenggara, sesudah sebelumnya mengalami kekalahan yang memalukan di Vietnam.

Tampil sebagai salah satu narrator pada bagian mengenai Indonesia, Dewi Ratnasari (istri Bung Karno wanita Jepang) yang berpindah-pindah tinggal di Amerika, Perancis dan Jepang. Ia mengemukakan bagaimana kegiatan CIA menggulingkan Sukarno sambil mengemukakan pula bahwa dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965, dua juta rakyat Indonesia dibantai. Mengenai pembantaian ini, pers atau penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meski pun angka yang lebih kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu diributkan.

Hardi, SH., salah satu ketua PNI dalam periode 19631966, bercerita bahwa pada bulan Mei 1965 ia merasa sangat gelisah melihat pesta peringatan 45 tahun berdirinya PKI. Waktu itu sinarnya sang surya mulai galak menggarang warga ibukota. Tapi sekali-sekali tampak langit kelabu sebagai tanda peralihan ke musim kemarau. Dalam pikirannya, suatu kekeringan dalam politik pun akan datang, kegersangan politik akan muncul, di mana PKI akan melancarkan perebutan kekuasaan. Ia berpikir dan berpikir terus. Satu firasat semakin merasuk pikirannya, apakah ini sekedar bayangan atau impian tanpa sadar.

Tapi yang mendorong timbulnya firasat itu, ialah keinginannya memperoleh kesempatan bertemu muka dengan Bung Karno.

Pada 18 Mei 1965, ia diterima oleh Bung Karno, katanya di kamar tidurnya di Istana Merdeka. Maka disampaikanlah perhitungan politiknya bahwa PKI akan merebut kekuasaan dengan mengemukakan sebagai alasan, terjadinya peristiwa Bandar Betsi di mana seorang Pembantu Letnan dibunuh oleh BTI karena sengketa tanah, aksi sepihak yang dilancarkan oleh BTI di Klaten (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa Timur) melawan pemilik tanah anggota-anggota PNI. Semua itu adalah senamsenam revolusioner yang merupakan persiapan menuju perebutan kekuasaan. "Kita semua khawatir negara Rl atir negara Rl yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara komunis, maka kita pasti akan mengalami malapetaka dan perang saudara", kata Hardi kepada Bung Karno.

Lalu Bung Karno minta, supaya ia berjuang terus dan "baik juga sekali-sekali datang ke mari berbicara dengan saya". kata Bung Karno kepadanya menurut Hardi.

Hardi mengatakan, Bung Karno tidak mengoreksi atau menyanggah pendapat ini. Malah kata Bung Karno - Menurut Hardi -, "Ya, jika begitu, saya dapat mengikuti dan mengerti perasaanmu".

"Dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI sebagai perwujudan nyata firasat yang dikemukakan dalam pembicaraan dengan Bung Karno pada tanggal 18 Mei 1965, sering menimbulkan rasa penyesalan yang tidak habis-habisnya, karena Bung Karno ternyata melupakan warning voice yang tersirat dalam firasat seorang muridnya". Hardi mengatakan bahwa ia adalah murid Bung Karno.

Pada tahun 1968, sewaktu Bung Karno sudah dikenakan karantina politik di Istana Bogor, Hardi bersama istrinya diundang nonton wayang kulit di Istana Bogor dan kebetulan mendapat tempat duduk persis di kursi belakang Bung Karno. Bung Karno berbisik kepadanya, "Mas Hardi, achteraf heb je gelijk"(Mas Hardi, ternyata engkau benar). Hardi mengatakan, andaikata pikirannya diperhatikan oleh Bung Karno, G30S/PKI dapat dicegah.72)

Dalam kasus ini, Hardi juga perlu disesali, mengapa "perhitungan politiknya yang begitu penting tidak disampaikan kepada aparat keamanan, padahal aparat keamananlah yang harus bertindak jika ada sesuatu yang membahayakan negara".

Tapi berbeda dengan Hardi, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan Sekretaris Negara dan pernah Menteri Agama Rl, justru mempunyai penilaian, G30S/PKI tidak mungkin terjadi jika PNI tidak menjalankan politik yang mendekatkan diri kepada PKI.73)

72) Hardi, Bung Kamo Dalam Kenangan, hal. 32-38, disajikan dalam peringatan Hari Wafat Bung Kamo 21 Juni 1991 yang diselenggarakan oleh Yayasan MARINDA Jakarta.

73) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 142

Kedua penilaian yang berbeda itu, hakekatnya penilaian hitam- putih yang sederhana tanpa mempertimbangkan relasinya dengan aspek lain seperti peran Amerika, terutama CIA, yang berprespektif terjadinya tragedi nasional dan berakhir dengan digulingkannya Presiden Sukarno, yang bagi Amerika Serikat menjadi tujuan pokok.

PNI yang mempunyai keterkaitan historis-ideologis dengan Bung Karno, yang seharusnya tampil melindungi pada saat-saat yang paling kritis dalam sejarah kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh komponen Orde Baru dan menuntutnya supaya di-MAHMILLUBKAN, PNI tidak membelanya. Pemimpin- pemimpin PNI yang bekerja sama dengan Orde Baru, dengan cara kasar mengambil alih kepemimpinan Partai dalam Kongres Pemersatuan yang dipenuhi intrig dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai. Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai 28 April 1966 itu, mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak Marhaenisme yang disahkan dalam 2 kali kongres, dengan klimaksnya mengeluarkan Pernyataan Kebulatan Tekad 21 Desember 1967.

Pernyaratan kebulatan Tekad menegaskan bahwa di bidang ideologi, Marhaenisme bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme, kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sedangkan di bidang politik dengan tegas PNI menyatakan melaksanakan ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang tidak menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Sukarno dan menyatakan PNI tidak terikat pada pemikiran-pemikiran politik Sukarno Prediksi "Bapak Marhaenisme" yang selama ini melekat pada diri Bung Karno, ditiadakan.74)

74) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 197.

Sebelum Pernyataan Kebulatan Tekad diambil, pada tanggal 11 Desember 1967, Dewan Pimpinan PNI yang diwakili oleh Hardi, SH., Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa, SH., menghadap Soeharto. Mereka minta supaya Pak Harto membantu PNI mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi Partai. Soeharto mengatakan bahwa sikapnya terhadap PNI, akan tergantung bagaimana sikap Angkatan Darat.

Oleh karena itu pada tangal 14 Desember 1967, Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menemui pejabat Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Maraden Panggabean, untuk menanyakan bagaimana sikap Angkatan Darat terhadap PNI. Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean menjawab bahwa dengan segala kejujuran dan keikhlasan, Angkatan Darat ingin memberikan bantuan kepada PNI dalam usahanya melakukan konsolidasi dan kristalisasi.

Penegasan Panggabean ini, oleh PNI disampaikan lagi kepada Pak Harto dan pada tanggal 21 Desember 1967, datanglah Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa menghadap Pak Harto dan menyerahkan Pernyataan Kebulatan Tekad.

Sejak itu, Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak lagi didukung.

Tapi sejak itu pula PNI mencatat bagaimana massanya berbondong- bondong meninggalkan partainya dan dalam Pemilihan Umum I yang diselenggarakan~oleh Orde Baru 1971, partai yang bertanda gambar "Banteng dalam segi tiga" ini mangalami kekalahan tragis dengan hanya kebagian 8% suara, untuk kemudian mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa melalui putusan Kongres, bergabung dengan partai-partai kecil: MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PNI mengakhiri eksis- tensinya sebagai partai terbesar simbul nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai nomor I dalam Pemilihan Umum I 1955.

Sebetulnya PNI dibangun oleh Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya, untuk mewadahi berbagai aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam satu ideologi baru yaitu MARHAENISME. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan, kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat terpecah belahnya tiga aliran politik besar yang ada, yaitu: Budi Utomo yang nasionalistis tapi Jawa sentris, Serikat Dagang Islam yang menekankan kesetiaan kepada agama, dan Partai Komunis Indonesia yang kebarat-baratan karena menganut paham sosialisme Barat dan Marxisme. Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi Partai Pelopor mepersatukan semua kekuatan politik yang ada. Tiga aliran besar yang merupakan realitas kekuatan politik di Indonesia, diperhitungkan akan mampu menumbangkan penjajahan, apabila berjuang bersama-sama dalam satu koordinasi yang baik.

Program ini mendapatkan rumusan yang lebih sempurna dalam Pidato 1 Juni 1945 yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan.

29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut "Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai", bersidang di Jakarta di bawah pimpinan ketuanya, dr. K.R.T. Radyiman Wediodiningrat. Sidang diminta oleh ketua supaya mengemukakan dasar bagi Negara Indonesia Merdeka.

Bung Karno sebagai pembicara terakhir, mengemukakan secara terperinci mengenai dasar yang dimaksud, diucapkan tanpa teks dan isi pidatonya dicatat dalam suatu "stenografische verslag" secara lengkap.

Radjiman Wediodiningrat ketika memberikan Kata Pengantar untuk penerbitan buku pidato yang bersejarah itu tertanggal Walikukun 1 Juli 1947 menulis:

".........Selama fasisme Jepang berkuasa di negeri kita, Democratische Idee tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya. 75)

75) Sukamo, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press Yayasan Pendidikan Sukamo, Jakarta, 1986.

Democratische Idee yang dimaksud ialah Pidato Lahirnya Pancasila yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka atau satu Weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.

Weltanschauung ini, Kata Bung Karno, harus kita bulatkan di dalam hati dan pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische grondslag, mencari Weltanschauung yang kita semua setujui.

Ini berarti kita harus mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan mau pun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua".

Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia bukanlah satu golongan yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan, di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda atau Bugis, tapi bangsa Indonesia yaitu seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai Irian. Seluruhnya, karena antara manusia 70.000.000 (waktu itu, pen) sudah ada "le desir d'etre ensemble": sudah jadi "Karakter- gemeinschaft", Natie Indonesia, bangsa Indonesia jumiah orangnya 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang menjadi satu. 76)

76) Sukarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press. Yayasan Pendidikan Sukarno, Jakarta 1986.

Pidato ini diterima oleh sidang dengan aklamasi dan kemudian dirumuskan menjadi Pancasila yaitu 5 dasar Negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dasar negaranya dulu yang dirumuskan, barulah di atas dasar itu didirikan Negara Republik Indonesia.

Itulah sebabnya 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang menjadi dasar lahirnya Republik Indonesia.

Namun Bung Karno ditentang oleh kekuatan besar dan dengan dibantu G30S/PKI yang sayap militernya dipimpin oleh kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V Jaya) dan letnan kolonel Untung Samsuri (Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa) serta seorang tokoh sipil misterius yang bernama Kamaruzzaman, berhasil menciptakan momentum yang menentukan bagi terjungkirnya kekuasaan Sukarno.

Ide besar yang diperjuangkan oleh Bung Karno, dipaksa mengubah nilai seperti dirumuskan oleh PNI gaya baru, dan kali ini Bung Karno tidak mampu lagi banting stir.

Tragisnya, dengan sikap pimpinan PNI yang ikut mendiskreditkan Bung Karno, tokh tidak berhasil tampil sebagai juru selamat bagi PNI, meski pun sudah begitu banyak memberikan konsesi politik. Sikap Orde Baru terhadap PNI, tetap mencurigainya mempunyai keterkaitan ideologis dengan Sukarno. Oleh karena itu, untuk memastikan kehancuran Sukarno, PNI juga harus dihancurkan, karena bagaimana pun tetap ada kekhawatiran bahwa dalam tubuh PNI masih mengendap kekuatan Sukarno yang pada saatnya yang tepat, berusaha bangkit kembali.

Dr. Elisio Rocamora dari University of Phylippines dalam thesisnya untuk meraih gelar Doctor di Cornell Univesity (AS), menulis bahwa pada tahun 1966 dan 1967 Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan yang dicari-cari bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kalangan pimpinan Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar, membayangkan PNI sebagai salah satu alat utamanya. Menurut tema propaganda ini, pimpinan PNI membiarkan dirinya diperalat Presiden Sukarno dan PKI, agar dapat memetik keuntungan dari dominasi keduanya, dalam politik Demokrasi Terpimpin setelah 1963.

Memang mudah menangkis tuduhan ini dengan menyebutnya sebagai propaganda pemerintah yang seenaknya sendiri. Tapi sampai taraf tertentu, hal ini mencerminkan ke-tidak-percayaan yang mendalam terhadap PNI dan ke-tidak-sediaan untuk mempercayai bahwa partai ini sudah banyak berubah dan bukan lagi PNI yang terombang- ambing dan oportunistik.77)

77) J. Elisio Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi. Grafiti, 1991, hal. 436.

Bukan saja terus menerus dipompakan kepada masyarakat dengan sangat melebih-lebihkan kekuatan PKI sebagai bahaya laten dan potensial, tapi sejak kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-partai dibatasi dengan sangat ketat. Tokohtokoh partai yang duduk dalam Kabinet, harus menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga menutup kemungkinan bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional. Dalam sistim Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan politik adalah Presiden. Dan karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya Angkatan Darat yang menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan partai-partai politik.

Dengan menggunakan UU SOB itu juga, Konstituante yang memang macet, terus dibubarkan dan diganti dengan MPRS yang anggota- anggotanya diangkat oleh Presiden. DPR hasil Pemilihan Umum 1955, diganti dengan DPR Gotong Royong yang anggota-anggotanya meski pun sebagian besar masih terdiri dari hasil PEMILU (1955), tapi semuanya diangkat oleh Presiden. Anggota-anggota MASYUMI dan PSI tidak dimasukkan lagi baik dalam DPR mau pun MPRS karena kedua partai itu dianggap terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA, maka kedudukan mereka digantikan oleh wakil-wakil golongan fungsional, misalnya fungsional politik, fungsional sarjana, fungsional Angkatan Bersenjata, fungsional buruh, fungsional tani, fungsional pemuda, fungsional wanita, fungsional wartawan dan sebagainya.

Meski pun peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tapi PNI sudah cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959 yang melarang semua pegawai negeri golongan F- 1 ke atas menjadi anggota sesuatu partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi.

Ada pun PKI tidak terlalu dirugikan, karena anggotaanggota mereka tidak banyak yang menduduki jabatan atas di birokrasi.

Dengan pelonggaran itu, PNI bisa bangkit. Di samping bisa menduduki jabatan Gubernur di Jawa Tengah. (Mochtar), juga berhasil merebut 23 dari 34 Kepala Daerah.

Dalam keadaan SOB, memang terasa pihak militer berusaha merebut pengaruh politik, karena wakil-wakil mereka duduk di DPRGR dan MPRS. Usaha ini dilakukan lewat Badan Kerjasama dengan militer dan Front Nasional. Namun kedua-duanya gagal, karena baik Bung Karno mau pun partai-partai enggan bekerja sama.78)

78) Ibid, hal. 345.

Dalam laporan DPP PNI pada sidang Badan Pekerja Kongres (1961 ) dikatakan bahwa selama periode 1960-1961 , kegiatan anti partai Angkatan Darat merupakan satu-satunya rintangan paling penting bagi upaya PNI membangun kembali dirinya untuk memperoleh pengaruhnya yang dulu, terutama di daerah-daerah.

Larangan kegiatan politik yang mula-mula diumumkan Juni 1959, diperpanjang masa berlakunya pada bulan September 1960 dan sekali lagi diperpanjang Januari 1961. Dengan kewenangan peraturan ini, Panglima Daerah Militer menghalangi PNI dan partai-partai lainnya menggelar rapat raksasa dan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Malahan simbul semua partai pernah dilarang pemasangannya.79)

79) Suluh Indonesia, 8 September 1960 dan 18 Januari 1961.

Pada waktu itu PNI berusaha memperkecil kekuasaan politik militer yang terasa makin besar. Pada 16 September 1960 DPP PNI mengirimkan telegram kepada Presiden/Panglima Tertinggi, memprotes Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (PEPERTI), yang melarang kegiatan politik. Dan pada bulan Agustus 1961, PNI mendesak diakhirinya undang-undang SOB. Juga PNI mempersoalkan lemahnya sikap Angkatan Darat terhadap sisa- sisa pemberontakan PRRI/PERMESTA.80)

80) Putusan Sidang BPK PNl, Agustus 1961.

Ali Sastroamidjojo & Ir. Surachman
Zoom silahkan di-klik

Mungkin karena sikap-sikap yang sedemikian itu, menyebabkan Angkatan Darat sangat mencurigai PNI setelah Orde Baru.

Pukulan berat yang dirasakan oleh PNI ialah ketika DPP pada bulan April 1961 harus menyerahkan daftar anggotanya kepada Pemerintah memenuhi ketentuan Peraturan Presiden No.13/1960 untuk memastikan apakah sesuatu partai mempunyai hak hidup atau tidak. PNI hanya mampu menyampaikan daftar yang memuat 198.554 nama yang harus dilengkapi dengan tanda-tangan dari masing-masing nama.

Jumiah ini dianggap memalukan, karena PNI dalam PEMILU 1955 keluar sebagai partai terbesar nomor satu dengan mengumpulkan 8.434.653 pemilih, mengungguli MASYUMI yang hanya mengumpulkan 7.903.886 pemilih.

Baru dalam Kongres di Purwokerto (1963), DPP memberikan laporan, telah menyampaikan kepada Pemerintah 1.855.119 nama anggota PNI, Jumiah ini tetap masih kecil, tapi dianggap sudah ada kemajuan. Hal ini menimbulkan persoalan di kalangan partai-partai kecil, yang menuntut supaya PNI tidak lagi dianggap- sebagai partai besar dan dengan demikian jumiah kursi yang diberikan kepadanya di DPRGR dan MPRS harus dikurangi. Kursi yang diduduki PNI dalam DPRGR misalnya, bertambah jika dibandingkan dengan jumiah kursi yang diraihnya dalam PEMILU 1955 dari 57 menjadi 80 kursi. Ini dimungkinkan karena banyak anggota baru yang formalnya mewakili golongan fungsional, tapi mereka berasal dari organisasi kemasyarakatan PNI.

Kemerosotan PNI juga dikarenakan pengaruh pembentukan Kabinet Kerja 9 Juli 1959 setelah Dekrit kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959); di mana semua Menteri Kabinet meski pun berasal dari sesuatu partai, diharuskan keluar dari keanggotaan partainya. D.engan ketentuan ini ditambah dengan dilarangnya semua pegawai negeri golongan F - 1 ke atas menjadi anggota partai, aktifitas PNI terpengaruh menjadi kendor. Ini memang harus diakui juga sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen organisasi partai.

Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersarna dengan MASYUMI, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil PEMILU 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena partai sudah menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil PEMILU.

Liga Demokrasi dibubarkan oleh Pemerintah. Kemudian palam merumuskan manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme, timbul lagi kesulitan, kali ini dengan Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk panitia Perancang yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (ketua umum PNI) dengan anggotaanggota intinya Roeslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung Karno mengenai rumusan yang disusun oleh Sayuti Melik, maka panitia Ali memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia yang diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenisme, tidak masuk dalam rumusan.

Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno.

Rumusan tersebut kembali tidak disetujui oleh Bung Karno. Dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun ke36 lahirnya PNI (7 Juli 1963) di Stadion Utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menegaskan bahwa Marhaenisme adalah doktrin dan program perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia.81)

81) Ali Sastroamidjojo, Mari Terus Menunaikan Kewajiban Kita, hal. 18

Akhirmya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang pada bulan Nopember1964 yang dikenal sebagai "Deklarasi Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, di mana ditegaskan antara lain:

Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya, yaitu kapitalisme, Nekolim dan feodealisme adalah suatu perjuangan yang paling terhormat, suci dan mulia.

Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk memperjuangkan dan merealisasikan cita-citanya yaitu kemerdekaan penuh dan Dunia Baru.

Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik dirinya di dalam teori dan praktek perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari Bapak Marhaenisme Bung Karno.

Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamasn dengan berdirinya PNI yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas dan dimelaratkan oleh sistim kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan serta memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum Marhaen dengan menggalang semoa kekuatan nasional.

Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin yang di dalam segala haloya menyelamatkan kaum Marhaen.

Disebutkan dalam Deklarasi, pada 1 Januari 1966 sampai dengan 31 Desember 1968 diselenggarakan kongres-kongres atau konperensi- konperensi di segala tingkat untuk melaksanakan retooling atas dasar penggeseran pimpinan partai ke tangan unsur-unsur yang membela kepentingan Marhaen.

Bisa dimengerti bahwa "Deklarasi Marhaenis" menjadi masalah besar, terutama bagi pimpinan yang merasa terancam akan digeser, karena tidak memenuhi syarat bagi menegakkan PNI/Front Marhaenis sebagai Partai Pelopor.

Menurut Dr. J. Eliseo Rocamora, para pemimpin konservatif PNI sangat sadar akan arti penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka berusaha sekuat tenaga menentangnya. PNI Jawa Tengah yang menjadi benteng kekuatan konservatif partai, menolak orientasi kegiatan partai harus sejalan dengan rencana kerja Deklarasi Marhaenis. Tapi perlawanan seperti itu, hanya mempercepat jatuhnya para pemimpin konservatif tersebut.82)

82) J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, hal. 383

Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim demokrasi. Tapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai.

Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk membantunya dan tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik keuntungan.

Dalam mengelola konflik intern partai, agaknya ke dua belah pihak yang berbeda pendapat, lalai mengantisipasi rekayasa dari luar yang sudah lama berusaha melemahkan PNI.

Itulah yang menyebabkan Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai dengan 28 April 1966, terjerumus dalam kekusutan, tidak berhasil menemukan solusi yang tepat dan arif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kongres digiring untuk melakukan "balas dendam" dengan bantuan rekayasa pihak ke tiga. Akibatnya, kepemimpinan PNI hasil Kongres Pemersatuan, tidak bisa bersikap mandiri lagi, hanyut terbawa arus. Terbukti dalam PEMILU pertama yang diselenggarakan oleh Orde Baru (1971), PNI yang ikut sebagai kontestan, terhempas habis-habisan, hanya kebagian 8% suara. Sebagian besar massanya berpaling memilih tanda gambar lain yang bukan "Kepala Banteng Dalam Segitiga", mereka memilih GOLKAR, kontestan baru dengan tanda gambar "Beringin", yang berhasil mengumpulkan 64.5% suara.

Kepemimpinan PNI gaya baru, kehilangan pamor dan sekaligus menyebabkan:

1. Hancurnya PNI sebagai partai besar yang pernah menjadi simbol Nasionalisme Indonesia yang berjuang untuk demokrasi, anti kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.

2. Ikut berperan menjatuhkan Bung Karno, Bapak Marhaenisme, dari tampuk kepemimpinan nasional.

Alangkah malang nasib PNI

Tapi penyesalan selalu datangnya terlambat. Bukankah Yudas Iskariot, murid Yesus yang mengkhianat, menebus penyesalannya dengan menggantung diri di pohon? Ia tewas bersama pengkhianatannya ....... Kongres Pemersatuan PNI yang ternyata tidak mempersatukan di Bandung akhir April 1966, disusul Nopember tahun itu juga dengan sidang Majelis Permusyawaratan Partai,yang tugas pokoknya mencabut " Deklarasi Marhaenis" rumusan Marhaenisme yang disahkan oleh sidang Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Nopember 1964. Rumusan itu dinyatakan sebagai penyelewengan, oleh karenanya harus dicabut. Deklarasi ini disetujui oleh Bung Karno, dan dianggap sebagai rumusan Marhaenisme yang benar, sesuai dengan pemikiran Bung Karno ketika menciptakan paham Marhaenisme. Sidang MPP PNI gaya baru, tidak memperdulikan rekomendasi dari Bung Karno dan tetap menganggap "Deklarasi Marhaenis" satu penyelewengan.

Sidang membuat rumusan baru yang menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai ideologi dan paham politik, hanya mengandung tiga unsur:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Sosio-Nasionalisme
3. Sosio-Demokrasi.

lewat lembaga-lembaga Legislatip dan Eksekutip, di mana PNI dan Gerakan Massa Marhaen diwakili; Meningkatkan aktifitas-aktifitas di dalam masyarakat sebagai sumbangan yang kongkrit berupa amalan yang nyata dalam rangka mengadakan perbaikan-perbaikan di bidang-bidang termaksud di atas.

E. MENGENAI KERJA SAMA DENGAN KEKUATAN- KEKUATAN PANCASILA-IS LAINNYA.

1. PNI dengan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa penunaian tugas nasional yang berat sebagaimana digambarkan di atas, tidak dapat dilaksanakan sendirian oleh satu kekuatan sosial politik dan atau oleh pemerintah saja.

2. Berhubung dengan hal-hal termaksud di atas, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya tidak akan berhenti-henti untuk berusaha bekerja sama dengan pemerintah beserta segenap aparaturnya, dengan segenap kehuatan sosial politik Pancasilais lainnya yang menunjuLkan itikad baik dan kesediaan untuk diajak bekerja sama dan memupuk partnership dengan ABRI.

F. BIDANG ORGANISASI

1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing.

2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan yang berarti itu.

3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi:

a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang sebenar-benarnya.

b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas.

c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi Partai/Organisasi Massanya.

d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh PNI/Organisasi Partai/Organisasi Massanya, dan yang mengganggu pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian.

Jakarta, 20 Desember 1967

Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno. Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang Marxis"

Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya.

Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul "Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung Karno adalah seorang Marxis Revisionis.

Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat.

Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")' Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -, bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis, menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan kebahagiaan kepada kaum Marhaen.

Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan berjuang?

Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam revolusi di dunia.

Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris.

Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand (golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat.

Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak berhasil.

Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan.

Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar. Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara. Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang terlibat dan mendukung revolusi.

Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi mereka bukan proletar.

Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia bisa dikatakan seorang Marxis.

Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis Revisionis.

Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika.

PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian, Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno.

Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai 1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme!

Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru, mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan".

Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan total PNI, sebuah partai besar simbul nasionalisme Indonesia.

PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru hendak menghacurkannya.

Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan.

PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD
DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA
Beserta
SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I.

SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa:

1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik dari sisa-sisa kekuatan G30S/PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti Pancasila lainnya.

2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia.

KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi masalah-masalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya:

berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan perumusan yang asli/murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara positip;

harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.

Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut:

A. BIDANG IDEOLOGI

1. Azas PNI adalah "MARHAENISME" yang rumusannya sebagaimana telah ditegaskan dalam Yudya Pratidina Marhaenis ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.

2. Rumusan termaksud di atas, sebagaimana telah ditegaskan dalam "Yudya Pratidina Marhaenis" sebagai pengganti "Demokrasi Marhaenis" adalah rumusan dan tafsiran asli/murni sejak tabun 1927 dan sama sekali bebas dari pengaroh-pengaruh Marxisme.

3. Dengan azas Marhaenisme yang arti, sifat dan rumusannya sebagai dimaksud di atas itulah, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya secara konsekoen akan melanjutkan perjuangan untuk menegakkan, mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen dalam rangka mengisi dan membina Orde Baru.

B. BIDANG POLITIK

1. Dengan melempar jauhjauh mental Orde Lama, PNI dengan Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk mengisi dan membina Orde Baru, yang tidak bisa lain dari pada Orde Pancasila.

2. P.N.I. dengan segenap Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk bersama-sama dengan kekoatan Pancasilais lainnya - mengikis habis sisa-sisa G.30.S./PKI dan kekuatan-kekuatan lainnya yang hendak merongrong/ meniadakan Pancasila.

3. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya berketetapan hati untuk melaksanakan Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967, secara konsekuen, halmana berarti tidak menghendaki kembalinya Dr. Ir. Soekarno dalam Kepemimpinan Negara/Pemerintah Nasional.

4. Mengingat hal-hal di atas, maka di dalam melaksanakan garis politiknya - PNI dan Organisasi Massanya sebagai Partai/Ormas bersikap bebas halmana berarti tidak terikat pada pola pemikiran politik Dr. Ir. Soekarno.

C. MENGENAI MASALAH DR. IR. SOEKARNO

1. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya akan tetap menjauhkan diri dari sikap Kultus individu terhadap siapa pun juga termasuk ter- hadap Dr. Ir. Soekarno.

2. Sebagai konsekuensi dari pada pendirian termaksud di atas, dan untuk mencegah pen-salah tafsiran terhadap gelar "Bapak Marhaenisme" sebagaimana diputuskan oleh Sidang MPP ke II dari PNI pada tanggal 20 - 25 Juli 1967, maka gelar "Bapak Marhaenisme" ditiadakan.

D. BIDANG EKONOMI-SOSIAL-KEBUDAYAAN DAN KEAGAMAAN

Dengan berpedoman kepada Yudya Pratidina Marhaenis dan Bina Dharma (Program Partai), PNI dengan segenap Gerakan Massa Marhaen akan terus berjuang sekuat tenaga memberikan amal dan dharma bakti kepada negara, bangsa dan masyarakat dalam bentuk:

Konsepsi-konsepsi yang positip di bidang ekonomi-sosial- kebudayaan dan keagamaan, yang disalurkan

Sosio-Nasionalisme yang dianut, ialah nasionalisme kemasyarakatan yang menolak chauvinisme. Yang dikembangkan, ialah paham kebangsaan gotong-royong yang berdasarkan hidup kemasyarakatan dan berperikemanusiaan. Paham ini anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, menolak segala macam bentuk kapitalisme, termasuk kapitalisme negara.

Sosio-Demokrasi ditafsirkan sebagai demokrasi lengkap meliputi: demokrasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Demokrasi politik, mengakui hak setiap warganegara dan orang, hidup sama makmur, sama mengatur penghidupan dan kehidupan.

Demokrasi ekonomi, mengakui hak setiap warganegara dan orang secara luas dan baik, dalam bidang perekonomian.

Demokrasf sosial, mengakui hak setiap warganegara dan orang mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial, mengakui hak setiap orang mencapai tingkat kemajuan dan kedudukan sosial, sesua! dengan bakat dan kemampunannya.

Demokrasi kebudayaan, mengakui hak setiap warganegara dan orang menikmati keindahan dan manfaat kebudayaan.