BAB III
PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO
30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup d'état Boumedienne di Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30 September 1965. Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai oleh Aidit. Anggota-anggota Biro Ketentaraan ialah: Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya.
Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresip. Partai Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional.
Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai "Biro Khusus" yang mempunyai jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono. Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh organorgan PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru yang diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal. Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal dalam PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres. Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI.
Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak.
Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang diwawancarai, ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu pendudukan Jepang, ia masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar politik dari Djohan Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai Sosialis Indonesia).
Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal "Kelompok Pathuk". di Yogya. Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu dan menawannya.
Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan Amir Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin.
Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNi, Syam bersama dua orang temannya masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) di Tanjung Priok.
D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus diusahakan supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun.
Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan kapai dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok. Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya paspor. Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa dibebaskan.
Setelah Aidit berhasil merebut jabatar, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin dan Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP, ditugaskan memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia dikirim ke RRT untuk mempelajari soal-soal kemiliteran.
Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit memimpin Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi, yang meninggal dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan terjadinya G30S/PKI.
Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam "Lasykar Tani" pada awal revolusi. Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran.
Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut:
Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan partai. Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia heran karena tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat. Setelah diusutnya, ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya mengungsi, karena ada berita bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI. Dengan cekatan sekali, semua dokumen diamankan, bahkan mesin-mesin tulis semua dibawa pergi.
Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan pengungsian ialah orangorang Biro Khusus.
Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi diperintahkan supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari petugas-petugas keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji sampai di mana kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada bahaya.
Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di koordinasikan dengan CC di Jakarta.
Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas. Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit.
Issue "Dewan Jenderal" sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI makin giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa pendukungnya di Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955, pencoblos tanda gambar palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama CPM Guntur, Jakarta, banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya.
Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD, maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai "Dewan Jendral". Kelompok Jenderal ini pula --menurut PKI-- yang selalu merumuskan sikap politik Angkatan Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk dalam berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya, mereka tidak bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal A. Yani.
Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup d'etat bermutasi menjadi revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno, tiba-tiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro Khusus yang menjelin kerjasama dengan apa yang disebut "Kelompok Perwira Muda yang Maju", sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan gerakan memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan.
Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September 1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh 4 Sekretaris CDB yang kebetulan ada di Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Barat.
Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir. Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak semua anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu.
Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului. Tapi setelah Aidit menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala persiapan sudah diadakan.
Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap mereka yang menentang Gerakan 30 September.
Menurut pleidooi anggota Polrtbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang pengadilan militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus 1965, telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah gerakan. Dalam rapat itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora.
Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggotaanggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing. Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului mengadakan gerakan.
Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan "Perwira Muda yang Maju" hendak menentang kudeta segolongan Jenderal.
Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerah-daerah guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik pimpinan partai menghadapi situasi itu.
Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan atasannya mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju.
Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak lagi dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai, mengenai pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian Politbiro dalam melaksanakan keputusan Politbiro.
Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet Dwikora, memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang ada pada Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno dan garis politiknya. Bahkan pada tanggal 1 Oktober 1965, kata terdakwa, tokoh-tokoh gerakan berusaha beraudiensi kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya.
Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori, politik dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu tidak bisa dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara teknis mau pun prinsip.
Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor:
1. Keblingeran pemimpin-pemimpin PKI
2. Lihainya Nekolim
3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar
Menurut terdakwa, penilaian Bung Karno diberikan atas dasar pandangan seorang non komunis, sebagai landasan untuk mengambil tindakan sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15}
Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya yang konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa Perdana Menteri Chou Enlay sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi dan menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang sedang berada di Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya secara jelas.
Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua yang mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah disiarkan oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 Oktober itu, yang bersumber dari pimpinan Gerakan 30 September.
15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan), hal. 28, 31, 32, 33 dan 34
Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan itu. Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK Politbiro CC PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu. KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang ideologi, politik, teori dan organisasi.
Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September 1965. Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan. Sementera persoalan G30S sendiri di Indonesia belum ditutup. Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang.
Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan?
Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan yang pro "Kelompok Perwira Muda yang Maju" yang didatangkan oleh KOSTRAD dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu kesempatan yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A. Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan satu Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang semula sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul. Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4 batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi yang sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata yang mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah cease fire dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya dikumpull;an di gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah Presiden/Panglima Tertinggi supaya menghindarkan pertempuran.
Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta begitu gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yans diperhitungkan akan datang dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti.
Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh.
Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai orang pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito anggota CC PKI.
Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa.
Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit mengenai beberapa hal penting menyangkut "gerakan" yang disampaikan melalui Syam untuk di teruskan kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit.
Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai, terjadi kesimpang-siuran.
Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil.
Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap kebetulan, karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD mendapatkan alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Demikian analisa tokoh-tokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara.
Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi, menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota "Dewan Jenderal", sesudah itu menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil terhadap mereka.
Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para Jenderal beraelan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan ini betul-betul suatu tindakan coup d'état. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan bahwa yang terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora di-demisioner-kan, dengan catatan boleh bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera menyiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet Front Nasional yang adil, di mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting di dalamnya.
Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama- namanya diumumkan lewat RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun Kabinet sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa campur tangan Dewan Revolusi.
Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif. Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut:
1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua M P RS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu rencana yang tidak disebut- kan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting. Dikira hal itu urusan pribadi saja.
2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai SEKBERGOLKAR (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia saja menerima, asal panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk menghimpun massa SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu pengorganisasian yang luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang anggota pimpinan SEKBERGOLKAR.
Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan. Tapi Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota pimpinan SEKBERGOLKAR.
3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru Besar Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: "Kapan ia akan mundur ke daerah pedesaan" 16)
16) Majalah "Arah " Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam.
Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi, menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu, pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot dasinya dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang 80% rakyatnya terdiri dari petani?
Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia.
Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan riset besarbesaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300 kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50 kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964. Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desa-desa di 124 kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesim- pulan. Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang 6000 Km selama memimpin pekerjaan riset itu.
Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa dan undangan Akademi llmu Politik "Bachtaruddin" (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di Balai Prajurit "Diponegoro", Jakarta.
Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanahair melawan apa yang disebutnya "7 setan desa": tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa.
Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisa-sisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil bumi. 3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4. Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17)
Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner di desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum tani yang diorganisasi oleh BTI.
Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang sawahnya luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang- Undang Pokok Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963 adalah tahun terakhir pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan seorang petani tidak boleh mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi Sepihak dilancarkan, karena sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah.
17) Majalah "llmu Marxis', triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964
Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja orang-orang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban.
Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1964, menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokoh-tokoh PKI lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di Helsinki. Sewaktu bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan Mao Zedong kepada Aidit " Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?", sambil mengingatkan kepadanya bahwa situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di Tiongkok sebelum coup d'état Generalisimo Chiang Kaisyek. Menurut Wertheirn, di Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiap- kan diri untuk menyusun perlawanan di bawah tanah dan mundur ke pedesan.
Jawaban Nyoto, menuru1 Wertheim, " untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat, karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyei kekuatan di lingkungan ABRI". Wertheim mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18)
18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalah "Arah", Supplement, No. 1, 1990, Amsterdam.
Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal dengan "Biro Khusus" bersama sekutunya "Perwira Muda yang Maju", sebelum 30 September 1965, sudah berkali- kali mengadakan pertemuan, tempatnya bergantiganti, di rumah kapten Wahyudi dari ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada tahap persiapan akhir.
Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keber- hasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului itu, tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang meng- gabung, jika gerakan sudah dimulai.
Tapi Syam berkata: "masa tidak percaya kepada kokuatan massa PKI yang sudah teruji militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai".
Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan, perwira yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak, seperti yang diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung jawab penuh atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin persiapan tidak matang.
Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui akan ada rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" yang dini terhadap Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI. Gerakan ini akan dilancar- kan oleh "Dewan Jenderal", sehubungan dengan kesehatan Bung Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya. PKI, kata Aidit, harus bersiap menghadapi · bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti terancam.
Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23 Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasii pemeriksaan tim dokter RRT yang pernah mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabiia datang serangan lagi, akan berakibat fatal bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan berturut-turut dengan Politbironya untuk membahas:
1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk.
2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan setelah Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa Dewan Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan dilancarkan sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965.
3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal.
4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah lebih tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan pilihannya "Mendahului" gerakan Dewan Jenderal. 19)
19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta.
Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui.
Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan kemudian ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan. Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24 September 1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan sebagai rencana coup d'etat yang hendak dilancarkan oleh "Dewan Jenderal".
Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja ditambah dengan Syan Kamaruzzaman.
Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya, Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk membagi tugas masing-masing.
Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu selesai latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan.
Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan menyediakan konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi bungkus dengan lauk pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak. Beras dan uang lauk pauk sudah didrop.
Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi. Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami olel massa bawahan.
Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak pada 1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan membeli makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan.
Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC PKI yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia sudah mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama PKI Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab bahwa itu sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi.
Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa? Karena ia sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi menyetujuinya.
Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan Negara Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi hukuman mati.
Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo Jakarta dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya membatalkan pelaksanaan "Gerakan 30 September" itu, juga ditahan di tempat yang sama. Karena ia mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka diperlukannya menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan berita sedih itu.
Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit: Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB.
Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya.
Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam tempo 5 hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya berusaha menolong situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak terlibat dan apa yang terjadi semata-mata persoalan intern Angkatan Darat.
PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya memper- tahankan legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada anggota-anggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan yang sebenarnya bunuh diri. Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang pun lagi yang bisa kembali, mereka langsung ditahan. Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani.
(bersambung)