Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Lenteng Agung Raya 99
Jakarta - Selatan

























MANAI SOPHIAAN



BAB Xl

CATATAN AKHIR:

SEBERKAS TEKA-TEKI

SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada penilaian tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian.

Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan kekuasaannya sendiri (coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa.

Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih lamanya. Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar NU, penerima Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa tregedi 1965 itu tidak pernah muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa mengungkapkannya secara utuh dan lebih transparan.

33) "Kompas" 21 Oktober 1993

Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan dilupakannya pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30 September 1965 sama sekali tidak sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga tidak ada pula tindakan preventif untuk menangkalnya?

Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita, karena persiapan gerakan, cukup transparan.

Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang menyatakan bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk menolong kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel ABRI, apa yang tersirat di balik kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu panas.

Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan PKI, 28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan kepada CGMI yang menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya membubarkannya sendiri saja, karena Pemerintah tidak mau melakukannya, seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan terbuka.

Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan HAN KAM, seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang mengintrogasinya, juga sudah mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari sebelum peristiwa. Dengan keterangan ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus.

Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama didesas-desuskan di masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan desas-desus itu.

Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang akan terjadi.

Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun dengan mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika?

Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu, sangat mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik (1964-1969), William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan buku karya Marshall Green, "Dari Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan tahun 1965 hingga 1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan pendekatan itu. Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia" menjadi kisah keberhasilan yang sejati".84)

84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164

Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia menulis: "Apa yang terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada 1949" 85).

85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1

Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A & M University dalam Journal of American History (Desember 1989) bahwa Amerika Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggungjawab terhadap ratusan ribu jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green, "kita tidak punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau".

Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah diumumkan di Amerika, justru mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia.

Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States Policy (hal. 404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di Indonesia, antara 1959- 1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya mengadakan 7 kali pertemuan. Council on Foreign Relations mendirikan apa yang dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S. Policy. Itulah rancangan awal berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian diresmikan pada bulan Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya.

Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua umum PB NU ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui bahwa orang Islam membantai 500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak masuk "Orang Islam". Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa dimengerti.

86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993

87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings and "disappearances" in the 1990s, Amnesty International Publications, London

Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar korbannya, tidak ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah mereka mencari keteduhan jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk agama lain.

Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan Bung Karno. Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam keadaan terdesak, Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang terkenal itu. Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah disulap menjadi Ketetapan MPRS No. IX/1966, berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr. Ismail Suny, SH. MCL., Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh K.H. Achmad Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H. Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan segala implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara pada keluarnya Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo sebagai Presiden R.l.

88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum Keadilan", 11 Nopember 1993.

Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap militer G30S/PKI justru Bung Kamo sendirii dengan dikeluarkannya Perintah Lisan sebagai Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan militer G30S/PKI di Halim pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua operasi militer, pada saat G30S/PKI secara militer dalam posisi memegang inisiatif. Perintah Usan Panglima Tertinggi ini mempunyai akibat langsung, di mana operasi militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan para militer yang berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer lainnya. Dengan demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan G30S/PKI tanpa menemui perlawanan.

Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung memastikan bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang berada di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang berada di Sentral Komando G30S Halim begitu mendengar ada perintah supaya menghentikan operasi militer dan mencegah pertempuran, memberikan reaksi marah sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo yang waktu itu komandan Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri ucapan Soepardjo yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil duduk di atas ubin.

Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI.

Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki. Setidaknya tiga pertanyaan besar memerlukan jawaban.

1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum terjadi, padahal ada kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu, begitu transparan.

2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua Operasi Militer dan ditaati, tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama yang menggagalkan G30S/PKI?

3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden Sukarno, secara mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa persetujuan pembuat Surat Perintah itu yang kemudian digunakan untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulinglan Bung Karno.

Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat menjawab dengan tepat, jika saatnya telah tiba.

Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi makam Bung Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya.

Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini tidak memerlukan jawaban karena sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu nama yang sinonim dengan Indonesia yaitu SUKARNO.

Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan, karena akibat ke-tata- negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara berangsur- angsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya:

1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan bersama Bung Hatta.

2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21 Juni 1979, sebagai Makam Pahlawan.

3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi "Bandar Udara Sukarno-Hatta".

Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali.

Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan.

Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.