MANAI SOPHIAAN
BAB VIII
LANDASAN YANG RAPUH
PADA bulan Mei 1978, KOPKAMTIB di bawah Panglima Sudomo, pernah menerbitkan semacam BUKU PUTIH tentang G30S/PKI, yang isinya memastikan PKI sebagai dalang, juga menuduh Bung Karno sebagai pihak yang terlibat. Satu tuduhan yang sungguh mengandung risiko tinggi. Karena seperti sudah diuraikan pada bagian lain, tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat, padahal pengadilanlah satu-satunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu. Apa lagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, menyebutkan bahwa "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut diri Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan".
Mantan Jasa Agung dan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., dalam wawancara dengan mingguan "Detik" 16 Pebruari 1994 menanggapi tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI menyatakan bahwa kita harus membedakan antara sekedar memihak PKI dengan memihak dalam arti pemberontakan. Kalau memihak PKI sebagai Presiden untuk tujuan mempersatukan, dapat dipahami, karena semuanya harus dirangkul. Dan merangkul seperti itu, memang biasa dilakukan oleh pimpinan dan ini tidak berarti terlibat. Orang ingin mengatakan bahwa Bung Karno memihak (PKI). Ini sesuatu yang simplistik. Tidak demikian! Kita kan sudah bisa menilai peran Bung Karno dalam sejarah kita. Tidak patut serta meria turut menghakimi bakwa beliau terlibat, kata Ismail Saleh.
Juga Mantan Panglima KOPKAMTIB Soemitro, menyatakan kepada wartawan "Amanah" 21 Maret 1 994, bahwa meski pun ABRI kecewa atas sikap Bung Karno yang tidak mau membubarkan PKI, tapi tidak terlintas sedikit pun menuduh Bung Karno terlibat G30S/PKI. Sama sekali tidak!
Jadi, penyidik hukum mana yang sudah memastikan bahwa Bung Karno terlibat G30S/PKI, sehingga ketua MPRS waktu itu Jenderal A.H. Nasution berupaya keras menggiring MPRS supaya mengadakan Sidang Istimewa yang dibuka pada 7 Maret 1967 untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan keterlibatan itu?
Banyak yang berpendapat bahwa Jenderal A. H. Nasution meng- harapkan, sesudah Presiden Sukarno digulingkan, dialah yang berpeluang dipilih menggantikannya, sesuai dengan apa yang ditulis oleh wartawan Belanda, William Oltmans, bahwa rencana ini jauh hari sebélumnya, sudah dipolakan dan dikampanyekan di luar negeri.
Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru ia tidak berani mengambil inisiatif untuk tampil, sedang waktu itu yang diperlukan, di samping kemampuan, juga keberanian. Syarat ini dinilai ada pada Pak Harto. Itulah sebabnya yang diusulkan dan dipilih oleh MPRS untuk menggantikan Presiden Sukarno yang digulingkan, Jenderal Soeharto dan bukan Jenderal A.H. Nasution.
Dengan tangkas Jenderal Soeharto pada 13 Maret 1967 mengucapkan pidato dalam rangka mengamankan pelaksanaan proses penggantian Presiden, dengan mengatakan:
Kedudukan Presiden Sukarno telah ditegaskan oleh MPRS, oleh pemegang kekuasaan tertinggi, oleh pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang akan kami laksanakan sebaik-baiknya dengan bantuan dan kepercayaan dari seluruh rakyat.
Marilah kita semua tidak lagi mempersoalkan kedudukan Bung Karno!
Tidak terduga, sesudah Bung Karno terguling, Jenderal A. H. Nasution tidak lagi bisa melanjutkan kiprahnya, karena ia pun segera tersingkir dan di hari tuanya sakit-sakitan.
Ada pun bekas tahanan politik (Tapol) G30S/PKI, sesudah melalui masa seperempat abad, tetap saja dinyatakan sebagai bahaya laten dan komunisme meski pun sudah dilarang masih saja dinyatakan sebagai ancaman di Indonesia. Sebuah buku berjudul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G30S/PKI" diterbitkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 tulisan yang menyoroti bahaya laten komunis dan sisa-sisa kekuatannya.
Buku ini menjelaskan bahwa keruntuhan komunisme, tidaklah dengan sendirinya membawa kelumpuhan pada kekuatan sosial yang berorientasi kepada Marxisme, karena adanya 4 faktor pendukung:
1. Masalah sosial-ekonomi yang diidentifikasi dan dideskripsikan oleh analis Marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan dan eksploatasi tenaga manusia.
2. Janji kesanggupan Marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju emansipasi.
3. Perangkat teori Marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi yang mendukungnya, telah berkembang dan menjadi daya tarik tersendiri, terutama di Barat.
4. Komunisme sebagai sistim, ajaran, metode dan gerakan, tetap menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapa pun dalam mencapai tujuannya, tanpa yang bersangkutan menjadi komunis.
Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistim komunisme.
Itulah sebabnya mengapa G30S/PKI tetap bahaya laten dan berbagai hak azasi ratusan ribu orang yang pernah ditahan karena kasus itu, direnggut dengan " Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981", dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian kecil saja dari padanya, antara lain:
1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk. Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.
2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru, wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci, sehingga sangat elastis.
3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menimbulkan kerawanan di bidang sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan KAMTIBMAS.
4. Untuk bepergian dalam negeri meninggalkan kelurahan/desa tempat domisilinya lebih dari 7 hari, harus dengan izin khusus. Warganegara biasa, tidak memerlukan izin itu.
5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah Haji, harus mempunyai konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instansi yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.
Meski pun Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR 13 Desember 1993 telah menyatakan tidak keberatan atas penghapusan kode ET yang terkesan tidak manusiawi itu, mengingat tidak ada lagi masalah dari segi keamanan, tapi Departemen Dalam Negeri tetap mempertahankan sistim hukuman tanpa putusan pengadilan itu, berlaku bagi orang-orang bekas tahanan politik.
Berbagai lembaga yang bergerak di bidang Hak Azasi Manusia telah mengajukan persoalan ini kepada Komisi Nasioanal Hak Azasi Manusia untuk diperhatikan. Hukuman kolektif semacam ini, tidak mempunyai dasar hukum dalam sistim UUD 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi Sedunia Tentang Hak Azasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB 10 Desember 1948.
Dalam Mukaddimah Deklarasi itu antara lain dikatakan:
Bahwa sikap tidak memperdulikan dan sikap menghina hak-hak azasi manusia, mengakibatkan tindakan biadab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia.
Bahwa penting sekali hak-hak azasi manusia dilindungi oleh hukum, supaya manusia tidak mengambil jalan lain yang terakhir, dengan pemberontakan terhadap tirani dan penindasan.
Pasal 13:
Setiap orang berhak untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya secara bebas dalam batas wilayah setiap negara.
Pasal 23:
Setiap orang berhak untuk bekerja, untuk memilih pekerjaan yang bebas, untuk mendapat syarat bekerja yang menguntungkan dan perlindungan terhadap pengangguran.
Oleh karena itu apa yang diterapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, tidak lain dari upaya untuk mempertahankan supaya G30S/PKI tetap menjadi issue bahaya laten.
Bahwa PKI yang menggerakkan coup d'état yang gagal itu, tidak terbantahkan lagi. Hanya masalahnya tidak sederhana dan selesai sampai di situ, karena ternyata banyak juga jaringan lain yang disebut-sebut ikut terkait di dalamnya. Jika kasus ini tidak segera ditutup, akan makin merebak saja dan makin banyak lubang- lubang yang selama ini seolah-olah tertutup, potensial berpeluang terbuka.
Yang jelas makin terungkap: Bahwa Bung Karno ternyata tidak terlibat kasus G30S/PKI, seperti tuduhan bertubi-tubi sebelumnya.
Kasus G30S/PKI sendiri seperti yang disimpulkan MPRS dan dituduhkan kepada Bung Karno, tidak pernah dimasukkan dalam GBHN yang disampaikan kepada Mandataris supaya dipertanggung- jawabkan. Yang disampaikan kepada Presiden/ Mandataris, hanya NOTA PIMPINAN MPRS No. 2/1966 yang minta melengkapi Laporan Pertanggungjawaban Presiden yang dikenal dengan "Pelengkap Nawaksara", yang isinya dengan mudah saja ditolak oleh MPRS. Waktu menyampaikan " Pelengkap Nawaksara" itu, Presiden Sukarno sudah menegaskan bahwa sesuai dengan bunyi pasal 3 UUD 1945 dan penjelasannya, hanyalah Keputusan MPR mengenai GBHN yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan tentang hal-hal yang lain. Sedang kasus G30S/PKI tidak masuk GBHN.
Alasan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPRS tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya (mengenai kasus G30S/PKI), menjadi tidak jelas, bahkan absurd.
Apa lagi alasan yang dicantumkan dalam TAP MPRS No. XXXIII 1967 yang menuduh Presiden/Mandataris tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya, sangat sumir, tidak dijelaskan apa bentuk konkrit pelanggaran yang dilakukan, padahal Ketetapan itu menyangkut perubahan ke-tata-negaraan yang sangat fundamental, yaitu menjatuhkan seorang Presiden Konstitusional.
Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 itu, lebih dirasakan sebagai ketetapan emosional atau balas dendam.
Oleh karena itu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI yang diangkat oleh MPRS untuk menggulingkannya sebagai Presiden dan mencabut semua hak politiknya, dengan mengatas- namakan wewenang Konstitusi, landasannya sangat rapuh.
Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, mengandung kekurang-cermatan Konstitusional yang memerlukan koreksi.
(bersambung)
|