BAB II
INSPIRASI DARI ALJAZAIR
DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair.
Dunia gempar, terutama negara-negara Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi Asia-Afrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan Uni Sovyet. Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal.
Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan. Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1 965.
Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair, dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II.
Tanggal 1 9 Juni 1 965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya, tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan pengawal Istana.
Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan pengambilalihan kekuasaan.
Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana.
Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana mau pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan. Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari Boumedienne.
Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir, pemimpin coup d'état Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman bahwa penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal.
Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menteri-menteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah Menteri Luar Negeri Bouteflika. Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu itu Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting perannya.
Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan disingkirkan juga.
Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik. Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne malah melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap Ben Bella. Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu dipercayainya, dengan mudah bisa berbalik haluan.
Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segera bersidang membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel Houari Boumedienne diakui. Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang masuk.
Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne. Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara ketiga.
Laporan yang diterima dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh Boumedienne mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dianut oleh Ben 8ella.
Bagi Indonesia, soal terjadinya coup d'état, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung Boumedienne. Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat menuju Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.
Rombongan bertolak dari Bandar Udara Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A, diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi. Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan (Timur). Dari sana menuju Karachi.
Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke London menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran.
Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan ke Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan Arab (Mesir) dan Perdana Menteri Chou Enlay dari RRT.
Ada pun Presiden Ayyub Khan akan dicegat di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan dengan Presiden Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay, mengenai sikap bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata Presiden Ayyub Khan tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh tugas yang tidak bisa ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo.
Pertemuan Kairo yang disebut "Konperensi Tingkat Tinggi Kecil", menyetujui keputusan yang telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi Aljazair), supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTJ kecil di Kairo memutuskan menundanya untuk kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di Aljir.
Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi Cina dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh.
Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau tidak Malaysia dan Uni Sovyet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak mengundang Malaysia karena alasan "konfrontasi", sedang Cina menolak kehadiran Uni Sovyet dengan alasan bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat pemerintahannya berada di Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap "Asia", Mesir dan India mendukung kehadiran Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah yang membangun gedung konperensi atas permintaan Aljazair.
Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang tidak menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia yang rnenolak Malaysia.
Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa Amerika dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya.
Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada wartawan harian terbesar d Kairo "Al-Ahram", mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut. Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh Presiden Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal dengan sebutan "Safari Berdikari" untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta berkampanye tentang akan diselenggarakannya "Conference of the New Emerging Forces" (CONEFO) di Jakarta, sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas bantuan RRT.
Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kaira selesai, bersama rombongannya menuju Paris. Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika Serikat, untuk mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan penyelenggaraan CONEFO.
Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit. Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak dengan pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian "Le Humanité" (organ Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap Boumedienne.
Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang dibicarakannya dengan kameradkameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan dukungan kepada Boumedienne. Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif.
"Jika satu coup d'etat didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi revolusi, kata Aidit". 14}
Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah karena keblingerannya pemimpinpemimpin PKI.
Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow. Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui.
14) A. Karim DP, Safari Perdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965. Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965
Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia.
Saya terkejut, karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak menerima laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah Menteri. Nyoto kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak memberitahukan kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha menemukannya dan ternyata Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia.
Mengenai kunjungan Aidit ke Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow, katanya menurut informasi yang diterimanya, antara Aidit dengan orangorang Kremlin, terjadi semacam "perang besar". Apa persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan Aidit mengemukakan teorinya tentang coup d'état yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika didukung 30% rakyat. Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan rakyat dengan dukungan syaratsyarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan dipaksakan dari atas dengan satu rekayasa coup d'etat.
Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni Sovyet. Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah mempunyai isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto sebagai seorang tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas.
Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT dan menganggap Sovyet sebagai 'revisionist' gara-gara politik ko-eksistensinya dengan Amerika Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan untuk dicopot dari kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari jabatannya sebagai kepala Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan oleh Bismark Oloan Hutapea, direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas di Blitar Selatan dalam Operasi Trisula, pada tahun 1968.
(bersambung)