BAB IX
"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI"
SEGERA setelah Presiden Sukarno diturunkan dari tahta kekuasaan dan mencabut semua hak politiknya, ia pun dikenakan tahanan, resminya diumumkan .1968 tapi sebelumnya sudah dilakukan sampai wafatnya, 21 Juli 1970. Begitu ketatnya penahanan ini, sehingga jenazahnya pun tidak boleh dibawa ke rumah keluarganya (Ibu Fatmawati), tapi harus dibawa kembali ke tempat tahanannya di Wisma Yaso, sebelum dimakamkan.
Banyak waktu untuk mengusut dan menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi Bung Karno sebelum wafatnya, jika ia memang dianggap bersalah, untuk memenuhi ketentuan pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang berbunyi:
Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan- ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pj. Presiden.
Tapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sedang vonnis sudah jatuh mendahului penyidikan hukum yang seharusnya dilakukan. Azas "praduga tak bersalah" yang dianut dalam sistim hukuom Republik Indonesia, tidak berlaku untuk kasus Bung Karno.
Sesudah Bung Karno digulingkan, histeria atas semua yang berbau Sukarno, dikobarkan. Juli 1967 lahir apa yang dikenal dengan "Tekad Yogya", yaitu tekad para Panglima KODAM se-Jawa tentang "de-Sukarnoisasi".
Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya " Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang Istimewa MPRS 1967", menyambut "Tekad Yogya" dengan mengatakan bahwa sikap TNI dalam persoalan ini, dapat dimengerti (hal. 69).
De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemic yang menyerang ke mana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan: Dilarang! Sampai-sampai Dasar Negara, "Pancasila" yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno.
Ketika jajaran Pembina Politik di Departemen Dalam Negeri berusaha menahan desakan arus bawah yang murni, bukan direkayasa, (di lingkungan GOLKAR katanya ada arus bawah yang direkayasa, Pen.), yang mendukung tampilnya Megawati Sukarnoputri memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sedang mengalami krisis kepemimpinan dalam kongres ke-V (Kongres Luar Biasa) di Surabaya (2-6 Desember 1993), ditudinglah Mega sebagai pewaris "Sukarnoisme" akan menghidupkan kembali ajaran Sukarno yang selama ini tabu. Terutama yang paling ditakuti, dihidupkannya kembali NASAKOM.
Zoom silahkan di-klik
Ketakutan terhadap NASAKOM yang dianggap masih gentayangan, sangat tidak logis, karena KOM (komunis) dalam kenyataan telah dibasmi dan tidak ada lagi. Bukan saja Pemerintah telah membasminya, tapi juga golongan Agama dan Nasionalis sudah menolaknya, sehingga persekutuan itu tidak lagi terkondisi untuk direalisasi dan oleh karenanya tidak mungkin juga dimaterialisasikan.
NASAKOM bukan suatu pandangan hidup yang mempunyai perangkat teori. Di masa hidupnya, hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia waktu itu untuk satu tujuan tertentu: bersatu. Ketika kebutuhan itu sudah lewat dan kondisinya berubah, maka dasar hidupnya pun menjadi absurd.
Istilah "Sukarnoisme" juga mempunyai sejarah yang berada di luar keinginan Bung Karno, bahkan ditolaknya.
Rupanya orang pura-pura melupakan siapa yang merekayasa lahirnya istilah "Sukarnoisme' sebagai penamuan atas ajaran Bung Karno. Kalau para pembenci ajaran Sukarno waspada, mereka tidak akan menggunakan "Sukarnoisme" sebagai senjata mengintimidasi Megawati, karena bisa menampar muka sendiri.
Mengapa?
Karena bukan saja sejak diperkenalkannya istilah "Sukarnoisme", sudah mendapat dukungan dari Angkatan Darat, juga " Sukarnoisme" adalah satu ajaran yang dimanfaatkan oleh satu gerakan yang bernama "Badan Pendukung Sukarnoisme" (BPS), menjelang kelahiran "Orde Baru". Organisasi ini bergerak di lingkungan pers, radio dan televisi. Tokoh-tokohnya antara lain B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik, J.K. Tumakaka, Harmoko, Sukowati, Djoehartono dan beberapa tokoh Angkatan Darat lainnya.
Yang diterima menjadi anggota: surat kabar, majalah, wartawan profesional, orang-orang yang mengaku wartawan, atau yang baru diangkat menjadi wartawan dengan memenuhi syarat: Anti PKI. Mereka memperkenalkan diri sebagai organisasi persurat-kabaran, sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ini untuk menghindarkan supaya tidak dituduh sebagai organisasi tandingan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tapi SPS sama sekali tidak menerima keanggotaan wartawan atau orang yang baru diangkat menjadi wartawan seperti yang dilakukan oleh BPS. Anggota SPS hanyalah perusahaan suratkabar, bukan perorangan. Organisasi ini bergerak di bidang bisnis.
BPS didirikan pada 1 September 1964, setahun mendahului G30S dengan mempopulerkan "Sukarnoisme" sebagai senjata untuk mendukung penyelesaian revolusi dan terbentuknya masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan berpedoman MANIPOL/ USDEK.
Menurut siaran BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, di samping sejak awal juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Tapi dukungan Washington dikritik oleh pers Amerika sendiri sebagai satu kekeliruan, karena terlalu cepat memberikan dukungan, sehingga menimbulkan kecurigaan rakyat Indonesia.
Presiden Sukarno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1965 mengatakan, tujuan BPS yang sebenarnya ialah memecah persatuan nasional dengan mengacau-balaukan pengertian NASAKOM. BPS malah dikatakan terlibat satu . BPS malah dikatakan terlibat satu rencana jahat. Organisasi ini melakukan kriminalitas politik dan kriminalitas biasa.
Sebelum pidato ini, pada 17 Desember 1964 Presiden sudah membubarkan BPS dan pada 23 Pebruari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS ditutup dan dihentikan kegiatannya. "Sukarnoisme" yang dimaksudkan sebagai ajaran Bung Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu menunggu momentum untuk menghancurkan ajaran itu.
Tugas BPS sebenarnya, dinyatakan dalam program perjuangannya yaitu berperan sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan political reform, satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik yang sedang operasional, seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan sudah disahkan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.
Oleh tindakan Bung Karno di atas, BPS merasa dirinya telah menjadi martir dari satu perjuangan. Maka pada 13 Nopember 1982, bertempat di kantor PWI (waktu itu beralamat jalan Veteran 7-C), diadakan pertemuan sehari yang dipimpin oleh ketua PWI (tokoh BPS) Harmoko (kemudian Menteri Penerangan 3 periode berturut-turut), dihadiri kurang lebih 50 wartawan bekas anggota BPS.
Pertemuan ini mengangkat sejarah kepahlawanan orang-orang BPS melawan komunis dan sekutu-sekutunya, yang berhasil meruntuhkan PKI dan lahirlah ORDE BARU.
Sepuluh tokoh BPS yaitu: 1. Sumantoro, 2. Asnawi Idris, 3. Suhartono, 4. Sutomo Sutiman, 5. Sumantri Martodipuro, 6. Tengku Sjahril, 7. H.A. Dahlan, 8. Arif Lubis, 9. Sayuti Melik dan 10. Zein Efendi, dianugerahi Piagam Penghargaan "Satya Penegak Pers".
Di samping itu pada 1983, diterbitkan buku yang berjudul "Perlawanan Pers Indonesia BPS terhadap gerakan PKI", ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini sangat menarik, karena membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya sambil mengakui adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan beberapa partai politik MURBA, NU, IPKI dan PSII.
Tipu muslihat lain yang menyesatkan, ditampilkannya program ikut membantu, membela, memberikan penerangan dan mendukung kebijaksanaan Pemerintah Pusat (Orde Lama) sebagai konsekwensi berdirinya BPS di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, untuk menyelesaikan revolusi serta sebagai pengemban "Sukarnoisme".
Untuk mencapai semua ini, dijanjikan langkah menjaga pelaksanaan "Sukarnoisme" dengan seksama, berusaha mengumpulkan buku- buku ajaran Bung Karno sejak zaman perjuangan di masa penjajahan, sampai pada zaman kemerdekaan, guna disebar-luaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Berusaha mengumpulkan ucapan-ucapan Bung Karno, baik yang tertulis mau pun tidak, dulu dan sekarang sampai pidato TAVIP dan ajaran-ajaran pada waktu-waktu selanjutnya
Tapi dalam kenyataan, semua itu hanyalah jargon. Terbukti sesudah Bung Karno ditumbangkan, semua ajaran Bung Karno disapu bersih.
Oleh karena itu Bung Karno tidak keliru menilai BPS sebagai gerakan "to kill Sukarnoisme" - hendak mematikan ajaran Sukarno.
Ketika memerintahkan pelarangan seluruh atribut BPS dalam rapat umum PWI "Maju Tak Gentar", Bung Karno menegaskan lagi, BPS itu anti NASAKOM. NASAKOM adalah wadah yang diciptakan oleh Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan nasional melawan neokolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air. NASAKOM disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor 12 Desember 1964: PNI, NU, PKI, PERTI, PARTINDO, PSII, MURBA, IPKI, Partai Kristen dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 pasal:
1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.
2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner berporoskan NASAKOM.
3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.
4. Membantah issue bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.
Tinggal seorang B.M. Diah dengan suratkabarnya "Merdeka", mantan pemimpin tertinggi BPS, sesudah ia tidak lagi menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet I Orde Baru, tampil membela Bung Karno dan ajarannya dari gilasan bekas kawan-kawan seperjuangannya yang - dulu berjuang bersama-sama dalam BPS. Ia dulu menjadikan BPS sebagai senjata untuk melawan komunis dan bukan rnelawan Sukarno, seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.
Sementara BPS sendiri semakin berterus terang membuka rahasia, dengan mengakui bahwa organisasinya memang gerakan kewartawanan dan bukan semacam SPS yang hanya mengurus masalah bisnis persurat-kabaran.
Hal ini sudah diantisipasi oleh PWI sejak semula dan mengambil langkah-langkah untuk ditaatinya ketentuan Peraturan Dasar PWI, yang tidak membenarkan anggotanya rnerangkap menjadi anggota organisasi kewartawanan nasional selain PWI.
Itulah sebabnya, pada waktu itu PWI menjatuhkan skorsing terhadap semua anggotanya yang menjadi anggota BPS.
Untuk selanjutnya BPS tidak perlu lagi berbicara banyak, karena tinggal menggaris-bawahi apa yang ditulis pendukung mereka di luar negeri, seperti Ricklefs yang menyambut bahwa BPS dibentuk oleh sekelompok wartawan yang anti PKI, Van der Kroef mencatatnya sebagai organisasi anti PKI yang dilarang. Sedang Legge mengatakan, BPS adalah salah satu langkah dalam membangun tirai asap ideologis dari mana suatu kampanye anti PKI dapat diluncurkan. Semua pengakuan ini dapat dibaca dalam buku "Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI".
BPS-lah yang menciptakan "Sukarnoisme" dan sekarang menjelma menjadi hantu untuk menakut-nakuti orang.
(bersambung)