Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Lenteng Agung Raya 99
Jakarta - Selatan

























MANAI SOPHIAAN



BAB IV

APEL LEWAT TENGAH MALAM

28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat.

Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota CGMI dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan: "Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula supaya HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut pembubaran HMI.

Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil.

Pertama-tama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta Ahmadi cepat- cepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI. Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti.

Suasana terasa sekali sangat menekan.

Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas menyampaikan sikap Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI.

Inilah kata-kata Dr. Leimena:

"Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM " .

Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tenahair waktu itu yang diciptakan oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu dibubarkan.

Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan:

Menteri Penerangan Achmadi
Zoom silahkan di-klik

"Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan. Karena saudara-saudara sudah mendengar kebijaksanaan Pemerintah, mungkin saudara- saudara ingin pula merigetahui sikap ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walau pun ia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya, sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya. Setuju ?"

Tentu saja di jawab "setuju".

Maka Aidit pun berdiri mendampingi Bung Karno. Suaranya menggemuruh melalui pengeras suara. Katanya: "Kalau Pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja. Dan kalau kalian tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana, tapi tukar saja dengan sarung".

Aidit meneruskan pidatonya dengan berkobar-kobar dan akhirnya berkata kepada mahasiswa-mahasiswa komunis itu tentang adanya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan me- melihara isteri empat sampai lima. 20)

20) Cuplikan pidato Wakil Perdana Menteri 11 Dr Leimena, pidato Bung Karno dan pidato Aidit, dikutip dari rekaman Ganis Harsono yang dimuat dalam bukunya Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 202

Pidato Aidit ini betul-betul satu tantangan dan juga satu komando yang menentang kebijaksanaan Pemerintah. Pada waktu itu, PKI sudah memutuskan siap bertindak, tapi rencana itu tidak segera bisa diantisipasi oleh aparat keamanan Negara.

Dua hari kemudian, terjadilah apa yang harus terjadi, seperti yang memang sudah direncanakan oleh PKI. Peristiwa 28 September 1965 malam di ISTORA, adalah klimaks dari akumulasi ketegangan politik yang sejak berbulan-bulan sudah dirasakan dan akhirnya meletus lewat cara antagonis dengan "Gerakan 30 September 1 965".

Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d'etat terhadap Presiden Sukarno". Bukan mustahil bahwa kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan "Dewan Jenderal", padahal sikap itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet

Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat" terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak" dan istilah ;, "7 setan desa", serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan"-nya dan mengabaikan "demokrasi"-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Dilupakannya bahwa seumpama benar dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.

Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.

Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Kolonel A. Latief yang juga gagal menemukannya, terpaksa mencari jalan penyelamatan sendiri.

Wishnu Djajeng Minardo, komandan pangkalan Halim sewaktu meletusnya G30S dalam percakapan dengan saya mengatakan, ketika Bung Kamo pada tanggal 1 Oktober 1965 berada di Halim, ia melihat Suparjo duduk di ubin sambil termenung. Wishnu memang mengenalnya. Supardjo mengatakan kepadanya: "Kita sudah kalah". Ucapan Supardjo membuktikan dengan jelas bagaimana perintah ceace fire dari Bung Karno, tidak bisa berarti lain kecuali bahwa G30S memang tidak diketahui oleh Bung Kamo sebelum terjadi, oleh karena itu ia menolak memberikan dukungan, ketika diminta oleh Supardjo.

Gerakan dimulai dengan sebuah apel lewat tengah malam, sudah masuk tanggal 1 Oktober 1965, karena jarum jam menunjukkan pukul 02.00 pagi dengan berpangkalan di desa Lubang Buaya, di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Apel diikuti oleh semua pasukan yang sudah disiapkan akan bergerak pagi buta itu menuju sasaran. Tugas pokoknya menangkap para Jenderal yang dituduh tidak loyal kepada Presiden/ Panglima Tertinggi. Ternyata satu regu tidak hadir, yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal A. H. Nasution, kabarnya dari AURI.

Tapi ketidak hadiran regu itu, bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi, karena kemungkinan yang demikian dalam gerakan militer, selalu diperhitungkan. Regu cadangan selalu siap untuk setiap saat mengambil alih tugas pihak yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan Jahurup dari "Tjakrabirawa" mempunyai kelemahan, yang berhalangan. Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan Jahurup dari "Tjakrabirawa" mempunyai kelemahan, yaitu belum pernah melakukan survey medan yang akan menjadi sasaran. Untuk sasaran lain, sudah disurvey oleh masing-masing regu yang bersangkutan.

Ternyata ketidak-hadiran regu untuk sasaran Jenderal A.H. Nasution dan digantikan regu cadangan yang tidak menguasai medan, berakibat fatal.

Sebelum regu-regu sasaran bergerak dengan bantuan pasukan pendukungnya masing-masing, komandan memberikan pengarahan dan instruksi mengenai tugas yang harus dilaksanakan, serta menjelaskan alasan-alasannya.

"Tugas ini adalah tugas mulia", kata komandan, sebagaimana ditirukan oleh seorang prajurit yang ikut dalam apel itu. Perintahnya, supaya para Jenderal yang sudah ditentukan dan fotonya dibagikan kepada para komandan regu, harus dibawa untuk dihadapkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi, dalam keadaan hidup atau mati. Karena ternyata 3 Jenderal dibawa dalam keadaan tidak bernyawa, maka diberikanlah alasan: Mereka melakukan perlawanan!

Kolonel A. Latief di muka sidang MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) II Jawa Bagian Barat yang mengadilinya, memberikan keterangan bahwa Letnan Kolonel Untung memberitahukan kepadanya, para Jenderal diambil untuk kemudian diserahkan kepada Presiden/Panglima tertinggi. Tapi setelah tiba dalam pelaksanaan, tidaklah seperti rencana semula, karena tiga Jenderal lainnya yang dibawa dalam keadaan hidup, kemudian juga dibunuh. Ketika Latief minta penjelasan mengenai hal ini kepada Untung, dijawab bahwa itu semua menjadi tanggung jawabnya.

Kolonel Latief juga mengatakan bahwa Syam mengakui di muka sidang MAHMILTI yang mengadilinya, bahwa dialah yang memerintahkan membunuh semua Jenderal yang dibawa masih dalam keadaan hidup di Lobang Buaya. 21)

21) Dikutip dari pembelaan kolonel A. Latief, hal. 94.

Pelaksanaan operasi seperti yang diuraikan di atas, sesuai dengan perintah komandan, semua dilaksanakan tanpa ragu-ragu. Menurut ketentuan, Perintah Militer, baik tertulis mau pun lisan, nilainya sama. Jika ada yang belum jelas, harus ditanyakan pada saat perintah itu diberikan. Sesudah itu, semua dianggap sudah jelas dan dipahami untuk langsung dilaksanakan. Jika ada sesuatu keberatan, perintah harus dilaksanakan dulu, baru alasan keberatannya diajukan kepada komandan atasannya. Menyimpang dari prosedur ini, berarti pem- bangkangan yang bersanksi Hukuman Militer.

Oleh karena itu dikemudian hari timbul masalah hukum, yaitu setelah kasus G30S/PKI dinyatakan sebagai tindak makar yang diajukan ke sidang Pengadilan Militer, timbul pertanyaan: Apakah prajurit yang bertindak menjalankan perintah komandan atasan yang tidak bisa dibantah, harus ikut bertanggungjawab atas akibat tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perintah komandan atasan itu? Bukankah jika perintah ini diingkari, berarti pelanggaran Sumpah Prajurit, yang juga akan mendapat hukuman berat? Bukankah dalam hal ini, seharusnya yang bertanggungjawab hanyalah komandan yang memerintahkan tindakan itu?

Dr. J. Leimena
Zoom silahkan di-klik

Ada pula pendapat lain yaitu bahwa sesudah kejadian, semua prajurit yang terlibat, langsung dipecat dari dinas tentara, karena dinyatakan sebagai pemberontak melawan kekuasaan yang sah. Oleh karena itu, semua anggota yang terlibat, tidak terbatas pada komandan yang memerintahkan saja, semua anak buah harus dianggap sebagai hoofddader (pelaku utama). Argumentasi ini disangkal lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan masih dalam status mereka sebagai tentara resmi dan karenanya semua dilakukan atas dasar tugas. Mereka bergerak ber- dasarkan Perintah Militer, bagaimana mereka bisa disebut hoofddader?

Akhirnya, semua prajurit anggota regu sasaran divonnis, umumnya hukuman mati.

Waktu menyerbu rumah Jenderal A. H. Nasution, komandan regu (cadangan), tidak mengetahui di mana persisnya letak rumah itu. Oleh karenanya, rumah yang diserbu justru yang tidak ada hubungan apa-apa dengan tugas yang harus dilaksanakan, yaitu rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, yang kebetulan diselingi rumah lain dari rumah Jenderal A. H. Nasution.

Setelah menyadari terjadi kekeliruan, mereka segera menuju ke rumah Jenderal Nasution. Karena setelah pintu diketuk tidak dibuka, maka kunci pintu ditembak sehingga terbuka. Sebelum pintu terbuka, ibu Nasution sudah menyuruh suaminya meninggalkan rumah, lewat lubang angin terjun ke pekarangan Kedutaan Besar Irak yang berdampingan dengan rumahnya.

Meski pun kakinya terkilir sewaktu melompat ke tanah, ia masih dapat berjalan dan menyelamatkan diri mencari perlindungan. Suara tembakan masih terdengar dan sebuah peluru nyasar mengenai putrinya, Ade Irma, yang sedang digendong ibunya. Kemudian Ade Irma meninggal akibat tembakan itu.

Menjelang Maghrib, Jenderal A. H. Nasution berhasil mencapai Markas KOSTRAD di jalan Merdeka Timur dan bergabung dengan Pariglima KOSTRAD, Jenderal Soeharto, yang sementara itu sudah mengambii langkah penumpasan terhadap Gerakan 30 September.

Adapun Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri, komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa, setelah berhasil mengambil para Jenderal, kecuali Jenderal A.H. Nasution yang lolos, maka Brigadir Jenderal Suparjo dengan ditemani oleh Letnan Kolonel (U) Heroe Atmodjo (deputy direktur bagian operasi khusus AURI), keduanya termasuk anggota Presidium G30SlPKI, pada tanggal 1 Oktober pagi itu pergi ke Istama Merdeka, hendak melaporkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi apa yang telah terjadi. Ternyata Presiden tidak ada di Istana, dan keduanya pergi ke Halim, setelah mengetahui Presiden ada di sana.

LetKol. Untung Samsuri></A><br> <FONT FACE=Zoom silahkan di-klik

Menurut keterangan kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, pada tanggal 30 September 1965 pukul 19.00, Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di ISTORA Senayan sampai pukul 21.00.

Saelan ma!am itu memegang tanggungjawab seluruh pengamanan Presiden, karena komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur pergi ke Bandung dan tidak diketahui apa urusannya.

Yang ditugaskan oleh Saelan mengamankan sekitar ISTORA ialah batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang dipimpin langsung oleh komandannya, letkol Untung Samsuri. Saelan mengatakan bahwa malam itu ia sempat memarahi Untung karena salah satu pintu ISTORA yang seharusnya ditutup, tidak diperintahkannya supaya ditutup.

Saelan memastikan bahwa pada malam itu, ia selalu berada di dekat Bung Karno, sehingga tidak ada gerakgerik Presiden yang lepas dari pengamatannya.

Menurut ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako yang memberikan kesaksian didepan petugas pemeriksa, pada tanggal 30 September 1965 malam pukul 22.00, Presiden menerima surat dari letkol Untung diserahkan oleh Sogol atau Nitri (anggota Detasemen Kawal Pribadi) lewat kolonel Bambang yang langsung diserahkannya kepada Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Bung Karno berdiri dan pergi ke toilet yang diiringi oleh Saelan, AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) dan Bambang Widjarnako. Diberanda muka, Bung Karno membaca surat itu, kemudian memasukan ke dalam sakunya. 22)

22) Memori Jenderal Yoga, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 1990, hal. 173

Keterangan Bambang Widjarnako ini dibantah keras oleh kolonel Maulwi Saelan. Ia memastikan, pada malam itu sama sekali tidak ada adegan seperti yang diceriterakan oleh Bambang Widjarnako, karena Saelan sendiri sebagai penanggungjawab keamanan Presiden malam itu, tidak pernah jauh dari Presiden selama berada di Senayan sampai kembali ke Istana. Kesaksian Bambang Widjanarko dianggapnya sangat aneh dan direkayasa.

Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Widjarnako tidak ditahan dan Saelan yang di depan pemeriksa membantah dengan tegas keterangan Bambang Widjarnako, ditahan. Kolonel Maulwi Saelan menceritakan bahwa setelah selesai acara di Senayan, Presiden kembali ke Istana Merdeka. Karena tak ada lagi sesuatu yang perlu mendapat perhatian dan Presiden sendiri tidak memerintahkan supaya Saelan tetap berada di Istana, maka pukul 24.00 ia pamit kembali ke rumahnya di jalan Birah II, Kebayoran Baru. Pukul 01.00 ia tidur.

Pukul 05.15 Subuh, ia dibangunkan oleh deringan telepon dari Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah seorang ajudan Presiden, yang me- nyampikan bahwa barusan diterima berita dari Kornisaris Besar Polisi Anwas: Tanumiharja dari KOMDAK Jaya, tentang terjadinya penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan di rumah Jenderal A.H. Nasution, duaduanya di jalan Teuku Umar.

Kolonel M. Saelan
Zoom silahkan di-klik

Saelan menjawab, berita itu segera akan diceknya.

Lima belas menit kemudian, ia terima telepon lagi dari Sumirat yang memberitahukan bahwa disekitar Istana kelihatan banyak tentara yang tidak diketahui kesatuannya, disamping menyampaikan bahwa penembakan juga terjadi di rumah Brigadir Jenderal Panjaitan.

Menerima laporan yang bertubi-tubi ini, Saelan mengatakan kepada Sumirat bahwa ia segera berangkat ke Istana. Sumirat minta supaya mampir di rumahnya, agar bersama-sama kesana.

Selagi Saelan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba datang Kapten Suwarno, komandan Kompi I Batalyon I Tjakrabirawa; yang saat itu kompinya sedang giliran tugas menjaga Istana. Kapten Suwarno langsung menanyakan: Presiden ada di mana? Dilaporkan- nya bahwa di sekitar Istana, banyak kesatuan tentara yang tidak dikenalnya. Saelan sendiri menjawab bahwa ia tidak tahu persis dimana Presiden bermalam, karena semalam ketika ia meninggalkan Istana, Bung Karno ada di Istana. Oleh karena itu ia perintahkan Kapten Suwarno supaya mengikutinya bersama-sama mencari dimana Bung Karno berada.

Menurut Saelan, kebiasaan Bung Karno, kalau tidak berada di Istana pada malam hari, berarti ia bermalam di rumah salah seorang isterinya, di Grogol atau di Slipi. Atas dasar keterangan inilah, maka Saelan ber- sama Kapten Suwarno dan asisten-asistennya menuju Grogol, ke rumah Haryati. Ternyata Bung Karno malam itu, tidak bermalam di situ.

Lalu rombongan ini akan pergi ke Slipi, ke rumah isteri Bung Karno, Ratnasari Dewi, tapi baru sampai di jalan besar menuju Slipi (sekarang: jalan S. Parman), rombongan bertemu dengan jeep Detasemen Kawal Pribadi yang dilengkapi dengan radio transmitter & receiver "Lorenz". Saelan segera menanyakan, di mana posisi Presiden sekarang?

Dijawab: Presiden beserta pengawal sedang menuju Istana dari Slipi.

Segera Kolonel Saelan mengadakan kontak dengan Mangil, Komandan Detasemen Kawal Pribadi melalui pembicaraan radio "Lorenz", yang menanyakan posisinya sekarang berada di mana. Dijawab, sudah membelok ke jalan Budi Kemuliaan, tidak jauh lagi dari Istana.

Saelan memerintahkan supaya jangan masuk Istana, karena di sekitar Istana ada pasukan tentara yang tidak dikenal, agar iring- iringan memutar di air mancur, kemudian dibavva ke Grogol dulu, di mana Saelan mengatakan, ia tetap menunggu ditempat itu.

Pukul 07.00 Presiden sampai di Grogol dan Saelan langsung melaporkan semua berita yang diterima dari Komisaris Besar Sumirat. Bung Karno lalu bertanya dalam bahasa Belanda: "wat wil je met me doen?" saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan: "Sementara kita tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan menanyakan tentang situasi".

Pertanyaan Bung Karno: "wat wil je met me doen?", menunjukkan bahwa Bung Karno sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi.

Kemudian Presiden berkata: "Kita tidak boleh lama berada di sini" Jawab Saelan: "Memang betul, kami segera akan mencari tempat lain yang lebih aman".

Setelah merundingkan dengan AKBP Mangil dan letnan kolonel Suparto (seorang staf ajudan Presiden), bagaimana sebaiknya menyelamatkan Presiden dalam situasi yang belum jelas ini, maka diputuskanlah tempat penyelamatan sementara, di rumah seorang kenalan Mangil di jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan langsung memerintahkan kepada Mangil supaya segera mengirimkan beberapa anggota Detasemen Kawal Pribadi ke tempat tersebut, mengadakan persiapan. Di samping itu kolonel Saelan memerintahkan juga kepada letnan kolonel Suparto untuk mencari hubungan ke luar, dengan menghubungi PanglimaPanglima Angkatan bersenjata. Semua hubungan ini harus dikerjakan langsung, tidak bisa melalui telepon, karena hubungan telepon dari Grogol putus.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Brigadir Jenderal Sunaryo dan Komisaris Besar Polisi Sumirat (ajudan), datang juga ke Grogol, diantar oleh Inspektur polisi Djoko Suwarno.

Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa pukul 06.00 pagi (1 Oktober 1965),- letkol Sadjiiman atas perintah Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusumah, melaporkan bahwa di sekitar MONAS dan Istana, banyak pasukan yang tidak dikenalnya. "Saya percepat merapihkan pakaian yang sudah kenakan, loreng lengkap, tapi belum mengenakan pistol, pet dan sepatu. Kepada letkol Sadjiman saya berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta PATI (Perwira Tinggi) Angkatan Darat lainnya. Segera kembali saja dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat datang ke KOSTRAD dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan". Demikian tulis Pak Harto. 23)

Ketika Pak Harto masuk Markas KOSTRAD, segera medapat laporan dari Piket bahwa orang terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim Perdana Kusumah. Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di Prapatan Pacoran, di depan Markas Besar AURI. Piket menerima laporan telepon dari Intel yang sedang bertuga" 24)

23) Soeharto,Otobiografi, hal. 11&119.

24) Ibid, hal. 119

Laks. Madia (U) Omar Dhani

Jadi, Panglima KOSTRAD yang mengambil sendiri untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, sudah mengetahui apa yang terjadi sejak pukul 06.00 pagi, tapi tidak disebutkan bahwa ia berusaha menghubungi Presiden.

Laksamana Madia (U) Omar Dhani
Zoom silahkan di-klik

Laporan yang disampaikan kepada Pak Harto mengenai perjalanan Presiden, berbeda dengan keterangan Kolonel Siaelan yang mengikuti terus perjalanan itu sampai di Halim.

Pukul 08.30 Letkol Suparto datang melaporkan bahwa ia hanya mendapatkan kontak dengan MEN/PANGAU Omar Dhanidi Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Panglima yang lain tidak berhasil ditemui. Karena dipertimbangkan bahwa di Halim terdapat pesawat Kepresidenan "Jet Star" yang selalu standby dan setiap saat siap membawa Presiden untuk penyelamatan jika dianggap perlu, maka diputuskan sebaiknya Presiden dibawa ke Halim saja. Hal ini sesuai dengan "Operating Standing Procedure" (OSP) Resimen Tjakrabirawa yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan Kepala Negara bila situasi memerlukan, adalah dengan pesawat "Jet Star" yang ada di Halim, disamping bisa juga dengan kapal laut Kepresidenan "R.l. Varuna" (Admiral Sloep) yang ada di Tanjung Priok atau kalau darat dinaikkan pantser berlapis baja anti peluru.

BrigJen. Soepardjo
Zoom silahkan di-klik

Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan oleh Saelan kepada Presiden dan Presiden memutuskan: Pergi ke Halim saja. Saelan langsung memerintahkan kepada letkol Suparto supaya mengadakan persiapan di Halim.

Pukul 09.00 Presiden meninggalkan Grogol menuju Halim dan sampai disana pukul 09.30, di sambut oleh Omar Dhani dan Leo Wattimena yang langsung membawanya ke ruangan Komando Operasi. Kurang lebih pukul 10.00, datang Brigadir Jenderal Suparjo yang tadinya berusaha menemui Preside`n di Istana Merdeka. Ia memberikan laporan kepada Presiden, tapi Saelan tidak bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan antara Presiden dengan Brigjen Supardjo. Yang kedengaran, hanya menyebut-nyebut "Dewan Jenderal" dan terjadinya korban ketika menangkap beberapa Jenderal.

Presiden kemudian memerintahkan kepada ajudan, Komisaris Besar Sumirat, untuk memanggil MEN/PANGAK (Menteri Panglima Angkatan Kepolisian), MEN/PANGAL (Menteri Penglima Angkatan Laut) dan Panglima KODAM V Jaya, Umar Wirahadikusumah. Sekitar pukul 11.30 komandan Resimen Tjakbirawa brigadir Jenderal Sabur, baru muncul di Halim dari Bandung. Ia minta laporan kepada kolonel Saelan, apa yang telah terjadi dan disampaikan seperti apa yang diuraikan di atas.

Presiden juga memerintahkan memanggil Wakil Perdana Menteri II Dr J. Leimena beserta Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardio. Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio sedang tourney ke Sumatera, dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chaerul Saleh selaku ketua MPRS belum kembali dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memimpin delegasi MPRS ke negara itu.

Apa yang dibicarakan oleh Presiden dengan semua pembesar yang dipanggil itu, tidak bisa didengar oleh Saelan, karena ia tidak boleh berada di ruangan pertemuan.

Presiden kemudian beristirahat di rumah Komodor Udara Susanto (pilot Jet Star) dan kolonel Saelan ikut ke rumah itu. Tidak lama kemudian, datanglah Wakl Perdana Menteri II Dr. J. Leimena dan Jaksa Agung Sutardio, yang kemudian mengadakan pembicaraan dengan Presiden. Apa yang dibicarakan, tidak bisa didengar oleh Saelan.

Pukul 12.00 siang, Saelan mendengarkan siaran RRI dari radio transistor yang dipinjamkan oleh Komodor Udara Susanto, di mana diumumkan pengumuman letkol Untung selaku ketua Gerakan 30 September, tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet. Pengumuman lewat RRI ini segera dilaporkan oleh ajudan senior dan komandan Resimen Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur kepada Presiden.

Tidak lama kemudian, Sabur memberitahukan kepada Saelan bahwa Presiden/Panglima Tertinggi ABRI mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD (Menteri Panglima Angakatan Darat). Ajudan Presiden, Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, saat itu juga diperintahkan oleh Presiden memanggil Pranoto menghadap ke Halim. Tapi sampai pukul 17.00, Pranoto belum juga muncul, karena tidak diizinkan oleh Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto yang telah mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.

Berdasarkan laporan-laporan yang makin banyak masuk mengenai situasi, dan setelah yakin bahwa justru Presiden berada di sarang Gerakan 30 September, maka diusulkan supaya Presiden segera meninggalkan Halim menuju Istana Bogor.

Tapi Presiden ingin menunggu sampai kolonel - (KKO) Bambang Widjarnako yang diperintahkan mernanggi Pranoto datang dan menyampaikan juga hasil pembicaraannya dengan Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto, yang atas kehendaknya sendiri sudah lebih dulu mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.

Setelah Bambang Widjarnako datang, ia melaporkan bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah memberikan ultimatum kepada pasukan-pusukan yang berada di sekitar Istana dan MONAS untuk menyerahkan diri dan masuk KOSTRAD sebelum puku119.00.

Setelah menerima laporan itu, Presiden didesak supaya segera saja berangkat ke Istana Bogor. Sebelum itu puteriputeri Presiden yang masih berada di Istana Merdeka, dijemput dengan mobil dibawa ke Halim. Mereka tiba pukul 17.30 dan segera diterbangkan oleh kolonel Udara Kardjono dengan helikopter ke Bogor.

Pukul 22.30, Presiden keluar dari Halim menuju Istana Bogor, tapi tidak lewat jalan raya biasa Jakarta - Bogor, me!ainkan melalui jalan tikus, yaitu lewat sela-sela pohon karet. Mobil Presiden Rl-1 dengan pengawalan seperti biasa keluar dari Halim melalui jalan raya, sehingga umum mengira Bung Karno berada dalam mobil itu menuju ke salah satu tempat. Yang mengetahui kalau Bung Karno dengan kendaraan lain mengambil jalan belakang pergi ke Bogor, hanyalah para pengawal yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu.

Sementara itu kolonel Saelan memerintahkan seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto bahwa Presiden sudah menuju Bogor.

Pukul 23.45 iring-iringan Presiden tiba di Istana Bogor dengan selamat. Pukul 24.00 Kolonel Saelan menerima telepon dari Mayor Jenderal Soeharto yang menanyakan perjalanan Presiden dan segera saja dilaporkan bahwa Presiden sekarang telah berada di Istana Bogor dalam keadaan selamat. Sesudah itu kolonel Saelan menghubungi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima KODAM Vl/Siliwangi dengan telepon, melaporkan bahwa Presiden sekarang berada di Istana Bogor, yang masuk wilayah kekuasaan KODAM Vl/Sillwangi.

Sementara itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Presiden menjadi Care-Tàker MEN/PANGAD, tidak berhasil memenuhi panggilan Presiden supaya datang ke Halim, karena ada yang mencegah. Di kemudian hari ia mengeluarkan pernyataan tertulis dan ditandatanganinya, sekitar peristiwa yang dialaminya, mau pun yang diketahuinya, mengenai Gerakan 30 September 1965 yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.

Urut-urutannya sebagai berikut:

1. Pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih pada pukul 06.00, pada saat Pranoto sedang mandi, datanglah Brigadir Jenderal dr. Amino (Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit Gatot Soebroto) yang memberitahukan diculiknya Letnan Jenderal A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya, oleh sepasukan bersenjata yang belum , dikenal, sedang nasib para Jenderal itu belum diketahui. Sesudah mandi, Pranoto segera berangkat ke MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.

2. Setibanya di MBAD dan setelah menampung berita dari beberapa sumber, maka oleh karena saat itu hanya dia dari antara perwira- perwira tinggi lainnya (yang ada di MBAD) yang berpangkat senior, maka ia segera memprakarsai mengadakan rapat darurat dengan para Asisten MEN/PANGAD atau wakilnya yang pada saat itu hadir di MBAD, yaitu para pejabat teras Staf Umum Angkatan Darat, mulai dari Asisten I MEN/PANGAD sampai Asisten Vll termasuk Irjen P.U. dan pejabat Sekretariat. Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan:

Secara positif Letnan Jenderal A. Yani beserta 5 Jenderal lainnya, telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Oleh karena itu rapat memutuskan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD, agar bersedia mengisi pimpinan Angkatan Darat yang vacuum. Melalui kurir khusus, keputusan rapat disampaikan; kepada Mayor Jenderal Soeharto di MAKOSTRAD pagi Itu juga.

3. Kemudian Pranoto menerima laporan dari seorang perwira Menengah MBAD (namanya lupa) yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI, 25) dirinya ditunjuk oleh Presiden/ PANGTI untuk menjabat sebagai Care-Taker MEN/PANGAD. Oleh karena hal itu baru merupakann berita, maka Pranoto tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.

25) Menurut keterangan lain, bukan RRI yang menyiarkan berita itu, tapi Radio AURI

4. Sesudah Pranoto menerima berita tentang penunjukannya menjabat Care-Taker MEN/PANGAD, maka berturur-turut datang utusan dari Presiden/PANGTI yang memanggilnya supaya datang menghadap ke Halim, yaitu:

Pertama: Letnan Kolonel Infantri Ali Ebram, Kepala Seksi I Staf Resimen Tjakrabirawa.

Kedua: Brigadir Jenderal Sutardio, Jaksa Agung, bersama Brigadir Jenderal Soenarjo, Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung.

Ketiga: Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, Ajudan Presiden/ PANGTI.

Semuanya menyampaikan perintah Presiden/PANGTI supaya menghadap ke Halim.

Oleh karena Pranoto merasa sudah terlanjur masuk dalam hubungan Komando Taktis di bawah Mayor Jenderal Soeharto, maka ia tidak bisa secara langsung menghadap Presidenl PANGTI tanpa izin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat saat itu. Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/PANGTI, Pranoto pun berusaha mendapatkan izin dari Mayor Jenderal Soeharto. Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto melarangnya menghadap, dengan alasan bahwa Mayor Jenderal Soeharto tidak berani meriskir kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi, jika dalan keadaan sekalut itu pergi menghadap Presiden/PANGTI Pranoto mentaati perintah itu dan tetap tinggal di MBAD.

5. Pada malam harinya sekira pukul 19.00 Pranotc dipanggil oleh Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, supaya datang ke Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Selain Jenderal A. H. Nasution hadir juga Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Mursyid, Mayor Jenderal Satari dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM V/Jaya.

Jenderal A.H. Nasution secara resmi menjelaskan bahwa mulai hari ini (1 Oktober 1965) Mayor Jendera Pranoto Reksosamodra ditunjuk oleh Presiden/PANGT sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dan menanyakar bagaimana pendapat Pranoto secara pribadi.

Pranoto menjawab bahwa ia belum menerima pengangkatannya secara resmi, hitam di atas putih. Oleh karena itu berpendapat, sebelum ada pengangkatan resmi yang tertulis entah nantinya siapa di antara kita yang akar diangkat, lebih baik kita menaruh perhatian dalam usaha menertibkan kembali keadaan darurat waktu itu, yang ditangani langsung oleh Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto, yang juga kita percayakan untul sementara menggantikan Pimpinan Angkatan Darat.

Akan tetapi mengingat saat itu ada suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha menentang keputusan Presiden/PANGTI tentang penunjukkan Pranoto sebagai Care-Taker MEN/PANGAD, maka oleh Jenderal A.H. Nasution ia diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi, mengadakan wawancara pers, yang direncanakan tempatnya di Senayan. Pranoto bersedia.

6. Tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu Pranoto akan mengadakan wawancara pers, tiba-tiba Mayor Jenderal Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra mendapat penggilan dari Presiden/PANGTI yang saat itu sudah meninggalkan Pangkalan Udara Halim dan menempati Istana Bogor.

Oleh karena itu, wawancara pers terpaksa ditunda. Mayor Jenderal Soeharto bersama Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditemani Brigadir Jenderal Soedirgo (Direktur Polisi Militer) segera berangkat ke Bogor menghadap Presiden/PANGTI.

Di Istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir juga wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, MEN/KASAL Martadinata, MEN/PANGAU Omar Dhani, MEN/PANGAK Soetjipto Yudodihardjo, Mayor Jenderal Mursyid, Menteri M. Yusuf dan beberapa Menteri lagi.

Hasil rapat, Presiden/PANGTI memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung dipegang oleh PANGTI, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalankan tugas operasi militer dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditugaskan sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dalam urusan sehari-hari (dayly duty).

7. Tanggal 14 Oktober, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayor Jenderal Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya yang baru. Pranoto menjadi Perwira Tinggi yang diperbantukan pada KSAD.

8. Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD Mayor Jenderal Soeharto, Pranoto ditahan di Blok F Kabayoran Baru, dengan tuduhan terlibat dalam G30S/PKI Penahanan itu berdasarkan Surat Perintah Penangkapan, Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Pebruari 1966.

9. Kemudian terjadi perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, dalam Surat Perintahnya No. Print. 018/TP/3/1966, ia mendapatkan penahanar rumah mulai tanggal 7 Maret 1966.

10. Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. Print. 212/TP/I/1969, Pranoto ditahan di INREHAB Nirbaya, tetap dalam tuduhan yang sama.

11. Dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM Panglima ABRI yang termuat dalam keputusan No Kep./E/645/ll/1970 tertanggal 20 Nopember 1970 yang ditandatangani oleh Jenderal M. Panggabean, Pranoto mulai dikenakan schorsing dalam statusnya sebaga anggota Angkatan Darat yang diikuti pada bulan Januar 1975, tidak lagi menerima gaji schorsing dan penerimaar lainnya. Sedang Surat Pemberhentian atau pun Pemecatan secara resmi dari keanggotaan Angkatan Darat, tidak pernah diterimanya.

Setelah mengalami semua perlakuan di atas, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) No. SKEP /04/KOPKAM/I/1981, dalam pelaksanaannya oleh Kepala TEPERPU dengan Surat Perintah No. SPRIN/481 /II/1981 /TEPERPU, Pranoto Reksosamodra dibebaskan dari tahanan terhitung mulai tanggal 16 Pebruari 1981. Jadi masa penahanannya berlangsung selama 15 tahun, yaitu dari 16 Pebruari 1966 sampai 16 Pebruari 1981. Selama dalam masa penahanan, Pranoto mengatakan tidak pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan Berita Acara yang resmi. Ia hanya mengalami interogasi secara lisan yang dilakukan oleh Team Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970 dan sesudah itu tidak pernah diinterogasi lagi, sampai akhirnya dibebaskan.

Ketika saya menemui dia di rumahnya yang sangat sederhana di daerah Kramatjati, dengan mantap ia mengatakan: "Ya, saya harus berani menelan pil yang sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan Takdir".

la tidak direhabilitasi dan tidak juga menerima pensiun sampai wafatnya.

(bersambung)