BAB V
BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN DUKUNGAN
ADA PUN pimpinan Gerakan 30 September setelah mengetahui tidak ada dukungan massanya sendiri seperti yang dijanjikan oleh Syam dalam rapat dengan kelompok "Perwira Maju" terhadap gerakan mereka, menjadi panik dan kocar-kacir. Desas-desus bahwa PKI akan mengerahkan 1 juta massanya menguasai jalan- jalan di Jakarta, setelah gerakan dimulai, sama sekali tidak terbukti. Massa PKI malah ketakutan setelah melihat reaksi ABRI dan massa rakyat lainnya, yang sangat cepat mengutuk gerakan tersebut dan mulai dengan pembakaran gedung-gedung PKI dan organisasi- organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Usaha G30S untuk mendapat dukungan dari Presiden Sukarno lewat Brigadir Jenderal Supardjo yang menghadap ke Halim, tidak berhasil. Presiden malah memerintahkan kepada Supardjo supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran.
Ultimatum Panglima KOSTRAD kepada pasukan yang mengepung Istana dan yang berada di sekitar Taman MONAS supaya menyerah sebelum pukul 19.00, ditaati. Mereka segera masuk komplek KOSTRAD sebelum batas waktunya berakhir, kecuali sebagian anggota batalyon 454/Diponegoro dengan membawa senjata berat, terlanjur menuju Pangkalan Udara Halim, karena ada permintaan dari SENKO untuk membantu AURI menahan kemungkinan serangan RPKAD. Tapi kemudian juga mereka mentaati perintah PANGKOSTRAD supaya menyerah.
Pasukan-pasukan yang menyerah itu terdiri dari Batalyon 530/Brawijaya dan Batalyon 454/Diponegoro, Kedua Batalyon didatangkan ke Jakarta masing-masing berdasarkan perintah dengan radiogram tanggal 19 September 1965 No.T.220/9 dan 21 September 1 965 No.T.239 oleh PANGKOSTRAD yang memerintahkarn pemberangkatan dengan seluruhnya membawa, perlengkapan tempur garis I dan sudah harus berada di Jakarta pada tanggal 28 September 1965.
Setelah Untung mengumumkan lewat RRI tujuan gerakannya, serta mengumumkan pula susunan Dewan Revolusi dan men- demisionerkan Kabinet Dwikora, tapi kemudian mengetahui juga bahwa pengangkatan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker MEN/PANGAD tidak bisa direalisasi, padahal dialah satusatunya harapan setelah Bung Karno menolak mem- berikan dukungan kepada G30S/PKI, maka ia pun menghilang dan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang sudah berantakan dalam keadaan tanpa pimpinan. Terpaksa mereka melakukan "longmarch" ke Jawa Tengah di bawah pimpinan letnan Dul Arip. Tapi Dul Arip sendiri dengan beberapa pengawalnya, memisahkan diri dari pasukan, namun kabarnya disergap oleh ABRI di daerah Cilacap dan tewas dalam penyergapan itu.
Ada pun anggota-anggota "Tjakrabirawa" lainnya, berusaha melanjutkan perjalanan ke Semarang untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sana, tapi baru sampai di daerah Brebes, sudah dihadang oleh pasukan yang setia kepada Pak Harto dan digiring kembali ke Jakarta untuk dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Khusus Salemba.
Akhirnya Gerakan 30 September 1965 hanya bisa dinilai tidak lebih dari suatu avonturisme militer yang menculik 6 Jenderal lalu membunuhnya. Sedang pendukung politik di belakangnya, PKI, tidak lebih dari pelaku petualangan politik yang berakibat runtuhnya struktur kenegaraan yang ada dan sekaligus kepemimpinan Bung Karno.
Letkol. Untung sendiri menurut laporan pers, berusaha menyelamatkan diri ke Jawa Tengah, dengan berpakaian preman naik bus dari Jatinegara, untuk bergabung dengan teman-temannya di sana. G30S Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Solo, masih sempat berkuasa beberapa hari, bahkan di Yogyakarta berhasil menculik kolonel Katamso, komandan KOREM di sana dan membunuhnya.
Tapi sial, dalam perjalanan dengan bus itu, ia melihat dalam bus ada beberapa anggota tentara yang menurut perasaannya, selalu memperhatikan dia dan dikiranya hendak menangkapnya. Maka sebelum terjadi apa-apa, ia pun meloncat dari bus yang sedang melaju ke jurusan Tegal, dan sekali lagi sial menimpanya, ia menghantam tiang telepon sehingga kesakitan.
Rakyat yang melihat kejadian ini, mengira ada copet meloncat dari bus, oleh karena itu mereka -ramai-ramai hendak mengeroyok- nya. Terpaksalah Untung berterus terang bahwa ia bukan pencopet melainkan Letnan Kolonel Untung dari "Tjakrabirawa". Rakyat curiga, lalu menyerahkannya kepada petugas keamanan untuk mengurusnya lebih lanjut. Ia segera diserahkan kepada CPM setempat dan setelah mengusut seperlunya, langsung membawanya ke Jakarta dengan panser yang akhirnya dimasukkan blok isolasi di Rumah Tahanan Khusus Salemba (Blok N), dalam keadaan tangannya diborgol dan kakinya dirantai.
Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letkol. Untung Samsuri, bukan sekedar gerakan yang menghadapi Angkatan Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Sukarno, tapi mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup.
Pasukan RPKAD segera disiapkan untuk menguasai kembali RRI yang digunakan oleh G30S menyiarkan pengumumannya dan Pusat Telkom (Kantor Telepon) yang juga mereka kuasai.
Pukul 15.00 sore 1 Oktober 1965, di ruangan KOSTRAD dibuatkan rekaman pidato Pak Harto untuk siaran di RRI, jika pemancar itu sudah dikuasai kembali. Rekaman menggunakan tape recorder besar. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat dan Brigadir Jenderal Sucipto, SH., dari KOTI menyaksikannya.
Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam, muncullah Jenderal A.H. Nasution di KOSTRAD, setelah ia lolos dari penculikan pasukan G30S. Ia dalam keadaan pincang dan memakai tongkat.
Sejurus lewat Magrib, satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan Telkom, masing-masing dipimpin kapten Heru dan kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD menunggu di halaman KOSTRAD. Setengah jam kemudian diterima laporan kalau kedua sasaran itu sudah dikuasai kembali sepenuhnya tanpa perlawanan dan tak sebutir peluru pun dilepaskan. Anak buah Untung telah melarikan diri. (Menurut keterangan lain, mereka sebelumnya memang sudah menarik pasukannya dari RRI).
Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa pengawal menuju RRI membawa rekaman pidato Pak Harto. Sebelum berangkat, Ibnu Subroto mengucapkan "Bismillah" dengan agak keras. Maka pukul 19.0 tepat (malam), siaran pidato Pak Harto dikumandangkan lewat RRI. Bunyinya sebagai berikut:
"Para pendengar sekalian di seluruh tanahair, dari Sabang sampai Merauke. Sebagaimana telah diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober 1965 yang baru lalu, telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September". Pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat, ialah :
1. Letnan Jenderal A. Yani,
2. Mayor Jenderal Soeprapto,
3. Mayor Jenderal S Parman,
4. Mayor Jenderal Haryono M.T.,
5. Brigadir Jenderal D.l. Panjaitan,
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
Mereka telah dapat memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta untuk keperluan penteroran mereka. Dalam pada itu perlu kami umumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, baik di dalam mau pun di luar negeri bahwa P.Y.M. Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata R.l./Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan Yang Mulia MENKO HANKAM/KASAB, dalam keadaan aman dan sehat wal'afiat.
Para pendengar sekalian.
Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat mau pun di daerah- daerah. Dan seluruh slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu.
Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat kandii pegang. Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian Rl, telah terdapat saling pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan oleh apa yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September".
Para pendengar sebangsa dan setanahair yang budiman,
Apa yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" telah membentuk apa yang mereka sebut " Dewan Revolusi Indonesia". Mereka telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari tangan Paduka Yang Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melemparkan Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Para pendengar sekalian,
Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Kami yakin, dengan bantuan penuh dari massa rakyat yang progresif- revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September, pasti dapat kita hancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pasti tetap jaya dibawah pimpinan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi kita yang tercinta Bung Karno.
Diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga serta terus memanjatkan doŽa ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semoga PYM Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno terus ada dalam lindunganNya.
Kita pasti menang karena kita tetap berjuang atas dasar Pancasila dan diridoi Tuhan Yang Maha Esa. 26)
26) Ibid,hal. 127-128.
Demikian Pak Harto yang mengemukakan juga dalam Otobiografinya bahwa tengah malam 1 Oktober 1965, ia perintahkan RPKAD dengan kekuatan 5 kompi kurang lebih 600 personil, bergerak menuju Halim Perdanakusumah lewat Klender, dan menguasai lapangan terbang itu dengan sedikit pertempuran. Dari RPKAD seorang yang gugur dan AURI 2 orang.
Sebetulnya secara rasional tidak terdapat kondisi yang memaksa PKI melakukan coup d'etat, karena partai ini sendiri sudah duduk dalam Pemerintahan, mulai dari Kabinet sampai ke tingkat daerah. Malahan M.H. Lukman, seorang wakil ketua PKI, dalam sebuah bukunya menulis bahwa PKI secara politik sudah berdominasi. Mudah dipahami mengapa Bung Karno mengatakan bahwa PKI dengan tingkahnya ini, benar-benar keblinger. Bahkan berbagai pengamat luar negeri yang tidak bisa memahami mengapa PKI bersikap sebodoh itu, menganggap bahwa bukan mustahil pimpinan partai ini kesusupan agen-agen provocateurs yang berhasil menciptakan sesuatu yang "ready made" dan bekerja dengan kecerdikan yang prima
Prof. Dr. W.F. Wertheim dalam interviunya dengan mingguan Belanda "De Nieuwe Linie" 8 April 1976 mencatat beberapa kecurigaan termasuk kecurigaannya terhadap peran Letkol Untung dan Brigjen Supardjo, dua tokoh penting dalam peristiwa coup d'etat tersebut.
PKI duduk dalam Kabinet dengan 4 Menterinya, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto dan Ir. Setiadi.
Kalau memang akan ada usaha coup d'etat dari "Dewan Jenderal" seperti yang dituduhkan oleh G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kewibawaan Bung Karno dan kekuasaan Pemerintah, di tambah dengan bantuan massa PKI yang militan dan massa PNI yang setia kepada Bung Karno, akan mampu mengatasinya. Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa dalam usaha coup seperti yang terjadi pada 17 Oktober 1952, pihak ABRI tidak akan kompak. Pengalaman sepanjang sejarah kemerdekaan kita, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946 (Persatuan Perjuangan) sampai peristiwa PRRI/PERMESTA, siapa saja yang mendahului mengadakan gerakan semacam itu, pasti dapat di tumpas.
Sebelum G30S, memang PKI sudah memperlihatkan sikap-sikap yang ekstra agresip, namun sikap politiknya secara umum tetap menunjukkan komitmen yang kuat mendukung Pemerintah dan politik Bung Karno sebagai pemimpin bangsa.
Sejak 1954 PKI memperlihatkan sikap yang positip dengan menurunkan semua gerombolan bersenjatanya yang selama ini beroperasi dari gunung-gunung dan hutanhutan, seperti MMC (Merapa Merbabu Complex) di Jawa Tengah, BSA (Barisan Sakit Ati) dan Pasukan Siluman di Jawa Barat dan di beberapa daerah lainnya lagi di luar Jawa. Dengan demikian, PKI sebetulnya sudah menempuh langkah untuk melucuti dirinya sendiri.
Penurunan gerombolan bersenjata ini, didahului dengan satu per- nyataan dari D.N. Aidit bahwa tidak mungkin mengkombinasikan perjuangan bersenjeta di satu pihak dengan perjuangan legal- parlementer di pihak lain. PKI sudah menentukan sikap, hanya menempuh perjuangan secara legal-parlementer.
Juga Aidit sudah minta kepada SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI, supaya sedapat mungkin mencegah terjadinya pemogokan kaum buruh, senjata yang biasanya digunakan oleh PKI sebagai alat politik untuk menekan Pemerinah.
Dengan demikian, PKI telah diarahkan menempuh perjuangan legal-parlementer seperti partai-partai komunis di India dan Eropa Barat.
Ini semua adalah keberhasilan taktik yang diterapkan oleh Bung Karno dalam upayanya menjinakkan PKI untuk menggalang persatuan dan menciptakan stabilitas nasional, meski pun cara yang ditempuh oleh Bung Karno itu tidak bisa diterima oleh pihak lain yang a priori anti komunis. Tapi PKI terus berkembang.
Ada pun cepat berkembangnya PKI tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh Jenderal Yoga Sugomo dalam memorinya, yaitu karena militansi pendukungnya dan tidak sempatnya dituntaskan peberontakkan PKI di Madiun, karena 3 bulan kemudian (19 Desember 1948), kita sudah harus meng- hadapi agresi militer Belanda ll, sehingga situasi kacau itu di- manfaatkan oleh PKI dengan cepat sekali melakukan konsolidasi. 27) Secara objektif perlu dicatat, Amerika dan sekutu Baratnya, juga turut memhesarkan PKI, karena sikap mereka yang memihak Belanda dalam sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Amerika dan negara-negara Barat menolak menjual senjata kepada Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, menyebabkan Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling kepada Uni Sovyet yang komunis.
27) Memori Jenderal Yoga, hal. 74.
Kompensasinya, sangat masuk akal bahwa Bung Karno menolak tuntutan Konperensi Palembang 4 September 1957 yang diseleng- garakan oleh Dewan Gajah dari Sumatera Utara, Dewan Banteng dari Sumatera Barat, Dewan Lambung Mangkurat dari Kalimantan Selatan, PERMESTA dari Sulawesi, Front Pemuda Sunda dari Jawa Barat serta beberapa Panglima, yang menghendaki supaya PKI dilarang dengan undang-undang. 28)
28) H. Ahmad Muhsin, Perang Tipu Daya antara 8ung Kamo denga, tokoh-tokoh komunis. Golden Troyan Press, Jakarta 1969, hal. 28.
Mana mungkin negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Sovyet mau memberikan bantuan senjata, jika PKI dilarang.
Tapi dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka sidang MPRS 10 Januari 1967, dikatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S, ialah karena keblingeran pemimpin- pemimpin PKI. Presiden tidak merinci bentuk keblingeran PKI itu, tapi kemudian jelas dari beberapa hasil penelitian bahwa sebenarnya D.N. Aidit terperangkap dalam strategi "Biro Ketentaraan" yang dibentuk oleh Politbiro PKI yang dipimpinnya sendiri, tapi sehari-hari oleh Kamaruzzaman alias Syam, tokoh yang berperan double agent 29) yang mempunyai jaringan luas.
Mingguan "TEMPO" yang terbit di Jakarta misalnya, mengutip studi yang dilakukan oleh pakar Indonesia di Cornell University, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey yang dikenal dengan nama Cornell Paper (1966) mengatakan bahwa Gerakan 30 September itu, tadinya adalah persoalan dalam tubuh Angkatan Darat, tapi pada saat- saat terakhir ada upaya memancing supaya PKI ikut terseret. Berbagai tulisan lain yang dikutip, misalnya dari Prof. Dr. W.F. Wertheim yang berjudul "Soeharto and Untung Coup - The Missing Link" (1970) dan Prof. Dale Scott dari California University (1984), menunjuk peran CIA dalam gerakan ini. Sebaliknya Dr. Anthonie C.A. Dake dalam bukunya In The Spirit of The Red Banteng, justru; menuduh Bung Karno sebagai dalang Gerakan 3Q September, berdasarkan pengakuan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) KOPKAMTIB terhadap ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako. Juga John Hughes dalam bukunya The End of Sukarno (1967) menyimpulkan demikian.30)
Yang mengejutkan, justru ada seorang pengacara di. Jakarta Sunardi, SH., tanggal 10 desember 1981 mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi termasuk Presiden Soeharto, menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S/PKI, satu tuduhan yang dinilai tidak logis, karena Pak Hartolah orang pertama yang bertindak dalam kedudukannya sebagai Panglima KOSTRAD mengambil alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, menumpas Gerakan 30 September. Oleh karena itu tuduhan Sunardi, SH. dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadilinya dalam sidang 7 Oktober 1982, sebagai penghinaan terhadap Presiden dan ia dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan penjara potong masa tahanan. 31)
29) Harian "Sinar Harapan" Jakarta, 13Maret 1967. Menuut Prof Dr. Wertheim, istilah ini hanya digunakan sekali dan sesudah itu tidak pemah lagi diulangi.
30) Mingguan "Tempo" Jakarta, 8 Oktober 1980.
31) Harian "Pos Kota" Jakarta, 8 Oktober 1982.
Dalam pembelaannya, Sunardi mengatakan bahwa coup d'etat Gerakan 30 September 1965 yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang lebih dulu telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno sebagai pemegang Pemerintahan yang sah.
Menurut Sunardi yang mengutip pembelaan Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya, 2 hari sebelum kejadian, ia sudah datang kepada Pak Harto melaporkan akan adanya gerakan. Tapi laporan itu dianggap tidak serius. Tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 10 malam kolonel A. Latief datang lagi menemui Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat "Gatot Subroto" yang sedang menunggui putranya, Tommy yang dirawat disana karena tersiram sup panas dan melaporkan tentang akan dicetuskannya gerakan pada malam itu juga. Karena Pak Harto diam saja, Latief menganggap sebagai menyetujuinya.
Tapi keterangan Latief ini dibantah oleh Pak Harto dalam Otobiografinya dan mengatakan bahwa kedatangan Latief ke Rumah Sakit "Gatot Subroto", ialah untuk mencek apakah Pak Harto benar berada di sana malam itu.
Kolonel Latief saja yang sangat naif menarik kesimpulan bahwa Pak Harto tidak akan mengadakan kontra aksi atas gerakan yang hendak dilakukannya.
Dikemudian hari masih muncul lagi orang lain yang menuduh Pak Harto seperti apa yang dituduhkan oleh Sunardi, SH., yaitu dari Drs. Wimanjaya K. Liotohe, pada awal September 1993 di umumkannya di Amsterdam ketika ia berkunjung ke Nederland.
Menanggapi tuduhan ini, direktur BAKIN, Letnan Jenderal TNI Sudibyo, dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR 7 Pebruari 1994 mengatakan: "Hanya orang gila yang menuduh Pak Harto yang mendalangi G30S/PKl."
Sebuah pertanyaan muncul: "Mengapa PKI begitu dungu menentukan jalan perjuangannya dengan menempuh jalur coup d'etat yang berakibat kehancurannya? PKI tidak mampu menilai dengan tepat kondisi masyarakat Indonesia".
Sambil mengintrospeksi diri dengan pernyataan "Kritik; dan Otokritik" yang disusun segera setelah kekalahan PKI, tokoh-tokoh bekas PKI yang masih hidup, dan bisa saya temui, mengatakan bahwa gerakan mereka kesusupan unsur provokasi, sebagai akibat masih lemahnya organisasi. PKI sebenarnya hanya terbuai oleh puas diri dengan anggapan sudah berdominasi secara politik. Padahal anggapan itu tidak mengandung kebenaran, karena kualitas dan status masyarakat Indonesia, tidak pernah berubah sesuai dengan keinginan PKI. Syaratsyarat yang dapat mendukung berdominasinya PKI di bidang politik, ternyata tidak konkrit.
(bersambung)