Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Lenteng Agung Raya 99
Jakarta - Selatan

























MANAI SOPHIAAN



BAB Vl

CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB

SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central Intelligence Agency) mengenai debat tentang peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S., Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang keterlibatan CIA di Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di A.S.

Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956 Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri A.S., John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles.

Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak sependirian dengan dia, secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni Sovyet.

Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral (tidak bermoral)," katanya.

Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :

Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam.

Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan biografi.

Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan. Seluruh benua itu merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat. Jadi, tolonglah sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia tidak akan melepaskan kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya.

"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat, itu bisa! Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan kapitalisme dan demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mernpunyai keinginan untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang bisa diekspor ke luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa menerima bararig impor berupa ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno.

32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410

Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di Indonesia, sudah nampak. Mulamula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB yang arsiteknya Amerika, dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.

Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang telah diakui sebagai penyebab langsung yang merangsang Sukarno untuk pada tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke dalam kehidupan politik.

Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara tidak bisa menarik kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan Indonesia. Dipeliharanya persatuan sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya, sebagai contohnya: Cina. 33)

Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh sebelum itu. 34)

Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai politik moderat sayap kanan, khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965, di mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai otaknya G30S/PKI. 35)

Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S. (B25) ditembak jatuh oleh APRI di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika, Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force lepas pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)

33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.

34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal. 1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168.

35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979) hal. 203.

Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam rencana hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu pemeriksaan awal atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk menghentikan pemeriksaanya. 36)

Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang sering membocorkan rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering disebut oleh Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya.

Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika? Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, akan tetapi sia-sia". 37)

36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti yang dikutip oleh Peter Dale Scott

37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.

Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia diundang mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah terasa, ketika Bung Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden Eisenhower tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan mengira bahwa Eisenhower akan menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga. Terhadap periakuan ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak bisa meninggalkan tempatnya.

Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam, dengan tajam ia menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu pucat mukanya dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.

Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun 1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu gembira", kata Bung Karno, "sehingga aku membentuk satu team arsitek dan insinyur untuk membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya, terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".

Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya. Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi komunis. Oleh karena itu, ia mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut kepadanya, dengan membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan diteruskan lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik".

Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel Quezon dari Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika, dari pada pergi ke sorga bersama dia".

Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara Sukarno dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah RRT meledakkan bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia sesudah pertemuan Nopember antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam perjalanan dari Korea Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli- ahli untuk membuat atom. 33)

Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli Indonesia bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5 Oktober 1965 (Hari Angkatan Perang).

38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23 Desember 1964.

Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro sebagai Menteri Riset Nasional. 39)

Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan kenyataan lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow, ditugaskan menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan senjata nuklir).

Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut ditandatangani oleh Prof. Soedjono.

39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335.
40) Ibid, hal. 328.

Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya.

Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965, juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba terjadi ledakan di gedung konperensi.

Moskow
Zoom silahkan di-klik

Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap peristiwa internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan memerlukan mengunjungi Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah berada di Aljir untuk ambil bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl. Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)

41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.

Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala Negara/Pemerintahan yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno, Perdana Menteri Chou Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.

Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo, Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak itu ketegangan makin terasa mencekam.

Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah memperingatkan kemungkinan yang bakal terjadi.

la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo kolonialisme/imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia, sambil memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki- tangan yang mereka tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut:

Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.

Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965) Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan, sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis, sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus di-contain.

Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.

Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya "Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.

Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.

Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the communist danger in Indonesia "

Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua dikatakannya komunis, di samping PKI.

Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya, oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.

Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one - musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.

Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.

Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di Alzajair (April 1965).

Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio.

Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.

Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio. Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka mempunyai teman-teman di sini "

Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).

Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai peneliti sejarah seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat di atas.

Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili tokoh-tokoh G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:

1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.

2. Kelihaian subversi Nekolim.

3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI) dan karenanya tentu lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan Intel, pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat" sudah menyatakan bahwa tahun 1965, memang merupakan tahun gawat. Gawat bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya, sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan "Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh Indonesia.

Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap perbaikan ekonomi Indonesia itu dan akan terus menghalang-halanginya.

Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi. Untuk meninggalkan kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan, demi keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.

Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada tanda-tanda ke arah itu. Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah terdengar pula adanya rnulti-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah dan dengkul sebagai modalnya.

Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi kemudian dirubah menjadi hukuman seumur hidup.

Dr. Subandrio
Zoom silahkan di-klik

Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia berhadapan dengan kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja dari luar, tapi sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah- tengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu rongrongan kaum Nekolim itu.42)

42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.

Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.

Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green diangkat menjadi Duta Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard Jones yang sudah 7 tahun bertugas.

Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP, supaya menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung Karno mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.

Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia khawatir akibatnya yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba menampakkan diri di Teluk Jakarta.

Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya tidak menolak Marshall Green.

Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu Washington,43) menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan Jendral A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia melihat badai sedang nampak di cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan sekali penyembuhan.

43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965, 13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library.

Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius kalaupembicaraan Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal. Keadaan yang demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia Bebas", tèrutama Amerika.

Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan terpaksa dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS {Australia, New Zealand dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan Selandia Baru terlibat di dalamnya.

Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu ia telah menyatakan pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah Malaysia dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa konfrontasi dengan Malaysia, menyakitkan.

Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan konfrontasi, tapi dengan hati-hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar. Bagaimana pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan ke dalam, agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang. Tentara Indonesia dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan keras tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah menjadi issue".

Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang.

"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang pertama dengan Jenderal Yani"

Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones, "secara rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana istimewa untuk mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".

Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2 minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI.

Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan, sekali pun sudah ada rencana sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat memang tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini terjadi, tergantung dari perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-tekanan yang saling bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk menghalangi kegiatan PKI.

Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu untuk menjalankan isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik bertindak sudah tiba.

Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno. Mereka yang mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa tidak ada kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih dicintai oleh rakyat.

Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada tanggal 3 Juni 1964.

Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya".

Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965. Sebelumnya, pada awal tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara. Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng- galang persatuan negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis.

44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991 yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon. Kemudian terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti". Jakarta, 1992.

Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide. Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di Indonesia, menggantikan Howard Jones yang pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri untuk wilayah Tirnur Jauh. .

Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan hubungan Jones dengan Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi buruknya hubungan antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan kepada pers bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA.

Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965.

Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14), berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.

Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta sedang berlangsung demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall Green. Kabar itu diterima oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam. Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang menunggunya sudah menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan Marshall Green dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng. Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di berbagai tempat dalam perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat kediamannya di Jakarta Pusat.

Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan, yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.

Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya sebagai pejuang yang menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan politisi dan diplomat pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno.

Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat membantu Green pada awal penugasannya sebagai Duta Besar AS di Indonesia.

Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari Presiden AS kepada Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26 Juli 1965, lima hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah

AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non grata.

Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green mengatakan betapa Ny. Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki daya tarik yang sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang menyerang kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan dengan suara yang sangat keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu saja suasana jadi tegang.

Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima oleh Green mengemukakan banyak hal mengenai imperialise Amerika Serikat, CIA dan berbagai hal lainnya yang mengecam Amerika Serikat.

Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia dikata-katai sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force (Marsekal Udara). Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS).

Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk, terutama dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk di Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada Indonesia. Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS, akan mengakibatkan ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York, karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet Indonesia ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang dari 24 jam. Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September 1965.

Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia.

Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir 1965.

Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai kesehatan Sukarno yang memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi lawan-lawannya di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan negara, PKI berasumsi bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk menyaingi komunis.

Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan oleh munculnya Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah yang sejauh ini menghalangi Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.

Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis. Pihak Cina tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1 Oktober 1965, satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh, sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.

Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk, tepatnya 7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan Marshall Green akan di usir dari Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar AS di jalan Merdeka Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno.

Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI) merupakan realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert Barnett pada awal tahun 1966.

Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation 1965-1968" di Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green mengatakan bahwa tujuannya menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk membantah tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur dalam soal itu. Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya sendiri", kata Green.

Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya Green itu, seorang rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green, Asisten Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah bekerja di lingkungan CIA.

Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson. Disekitar meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di lingkungan Kedutaan Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang atasenya yang bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa dengan ajudan Jenderal A.H. Nasution.

Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon (Wartawan "Suara Pembaruan"), menutup tulisannya.

Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.

Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang terlalu anti imperialisme dan kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik global Amerika Serikat.

Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green, kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang dikemudian hari menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran Subandrio itu, yang sangat kuat mendesak Bung Karno supaya jangan. menolak Marshall Green?

Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya, sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan masih berpikir dapat merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan konsesi. Padahal konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa.

Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di Ambon, akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak prerogatipnya sebagai Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang dengan subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika Serikat terhadap Indonesia. Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.

Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus Allan Pope.

"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika, Allan Pope, yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan serangan terhadap pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur, yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan semua awak kapal mengalami nasib yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa.

Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang sudah tua menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di pohon kelapa. Sebelah kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena jiwanya diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit.

Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang itu memerangi kami?

Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme".

Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya untuk menggunakan lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.

Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat memberatkan dirinya.

Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika banyak berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung Karno.

Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American Airways datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan, seluruh kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak dapat memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing. Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang melebihi dari perasaan yang dapat ditahankan oleh Bung Karno.

Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan rumah menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati.

Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam. Saya tidak menghendaki propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan. Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang telah terjadi".45)

45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402

Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak prerogatipnya mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan rakyat Indonesia dan menenggelamkan banyak kapal Republik.

Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno dengan menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan kegiatannya hendak menggulingkan Bung Karno.

Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan curang-yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana. 46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen Uni Sovyet), pada saat- saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung memancing di air keruh.

46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.

Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang beroperasi di Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada pejabatpejabat Indonesia, pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung memper- cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu kepada Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya), mengenai apa yang dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga seorang perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui oleh Subandrio dan Bung Karno.

Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps" Amerika yang banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA, diusir dàri Indonesia.

Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke Indonesia, Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara Amerika dengan Indonesia. Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan terhadap AS makin menjadi-jadi.

Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak banyak menarik perhatian orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala Departemen Berita berita Palsu KGB yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil yang dicapai oleh "Operasi Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat kritis.

Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika didapat dari Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran luar negeri Radio Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan siaran-siarannya dengan komentar-komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3 Juni 1965, merupakan contoh yang dinilai baik.

Kutipannya sebagai berikut:

"Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang kegiatan-keg atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency (Dinas Intelligen AS). Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh dunia Dalam mempekerjakan agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai "pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of cloak and dagger), ahli-ahli subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke negara-negara Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik di negara-negara tersebut dengan subversi.

Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di seluruh duriia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam, Laos dan Konggo.

Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang sama di Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang kerkemuka, Bill Palmer, telah tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan komplotan baru Palmer adalah seorang agen rahasia kawakan la menyamar sebagai wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia). Selama 19 tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut berita-berita pers, Palmer memelihara hubungan-hubungan yang luas di Indonesia la menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari pemutaran film-film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan imperialisme dan aspek-aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen rahasia Indonesia dan Amerika dan untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner yang merencanakan komplotan-komplotan.

Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakan- pemberontakan di Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan hilangnya banyak harta benda dan ribuan jiwa orang Indonesia

Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti Simbolon, Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah menyerahkan uang kepada mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya juga telah mengatur sebuah pertemuan antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka merencanakan komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan orang-orang kontra-revolisioner di Indonesia untuk merencanakan petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia merongrong perkembangan ekonomi Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret dan awal bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan Gedung Putih, Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP (Agency France Press) menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu dengan kunjungan Forrestal. Sangat besar kemungkinannya, Forrestal mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu sebagai alasan untuk melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa Presiden Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS di Indonesia.

Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak pantas, yang di lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti diketahui, Howard Jones telah dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk menghapus kegiatan-kegiatannya yang ilegal Jones telah menterapkan kolonialisme AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah ikut serta mengorganisasi pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan memelihara kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka

Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The Invisible Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil bagian dalam komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat C/A untuk memberikan senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa. Ia sendiri juga terlibat dalam pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan subversif yang dilakukan agenagen C/A di bawah pimpinan Palmer, yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mendapat persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk Sulawesi

Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall Green. Jones akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai. Palmer telah meninggalkan Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga akan meninggalkan Indonesia, tetapi jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal AS dan kegiatan-kegiatan CIA di Indonesia di hentikan "

Demikian siaran radio Moskow.