Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Raya Lenteng Agung 99
Jakarta - Selatan























PERJUANGAN MEREBUT BENTENG KEADILAN

Bagian I

PEMBUKA
Aneh Tapi Nyata


Dengan jatuhnya putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap 124 aktifis PDI korban 'Sabtu Kelabu' 27 Juli 1996, bukan berarti perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI periode 1993 - 1998 beserta jajaran fungsionarisnya telah berakhir. Karena hingga buku ini diterbitkan, masih banyak persoalan yang harus dihadapi Megawati. Selain masih ber- urusan dengan proses gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyoal keabsahan "Kongres" DPP PDI versi Soerjadi yang 'ditangani' Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Megawati Soekarnoputri tetap sibuk melakukan konsolidasi ke daerah-daerah. Menggalang dukungan dari tingkat DPC hingga ke Komdes. Bahkan, saat peringatan ulang tahun kepengurusan DPP PDI hasil Munas, di Kebagusan (Senin, 23-12-1997) Megawati Soekarnoputri mengakui aktifitas DPP PDI yang dipimpinnya (kendati tinggal menyisakan 10 fungsionaris) tetap berjalan sebagaimana mestinya. "Kami tetap mengadakan rapat harian," ucap Megawati di hadapan ratusan massa yang hadir di rumahnya.

Oleh sebab itu, kendati proses peradilan korban penyerbuan 27 Juli yang didakwa melakukan tindak pidana kerusuhan telah usai, bukan berarti usai pula perjuangan DPP PDI pimpinan Megawati dalam membuka mata masyarakat secara luas terhadap munculnya situasi politik dan proses penegakan hukum yang kurang kondusif bagi proses pelembagaan politik yang demokratis dan proses pelembagaan hukum yang berkeadilan. Masih banyak medan perjuangan yang harus dilalui, diantaranya dengan meng- gencarkan program publikasi, baik buletin maupun buku-buku kritis. Terutama dengan target agar masyarakat semakin terbuka cakrawala kesadarannya tentang hal aneh tapi nyata yang mulai mendekat dalam realitas keseharian kita.

Sejumlah pengamat politik menyebut, hal aneh tapi nyata itu kini berjalan semakin transparan dan vulgar. Kasus pembunuhan wartawan Bernas, Udin, berikut cara-cara penanganan polisi yang diduga keras telah melakukan rekayasa bukti untuk menangkap bukan pelaku sebenarnya, mengisyaratkan betapa mengerikan kondisi hukum di Indonesia. Siapapun berpotensi untuk dijadikan tumbal ketidak-adilan. Sementara pihak yang kuat akan semakin semau-maunya menggunakan kekuasaannya. Kalau perlu menggunakan teror fisik. Tidak peduli apakah tindakannya dinilai etis maupun tidak etis. Tidak peduli apakah tindakannya mengusik rasa keadilan masyarakat. Gejala demikian secara tepat disimpulkan Tri Moeljo D Soerjadi sebagai "Republic of Fear" saat menangani Judi Soesanto bos PT. Catur Putra Surya yang didakwa terlibat komplotan pembunuh Marsinah. Padahal, berdasar penelitian Tim Investigasi LBH Surabaya, Marsinah tewas di kantor aparat extra Judicial. Dan tidak terlalu salah jika Prof. JE Sahetapy menilai sistem ketatanegaraan kita sebagai democracy by remote-control. Artinya, kekuasaan terbesar bukan di dasarkan supremasi hukum, tapi supremasi keinginan pemegang remote-control.

Hal aneh tapi nyata juga sangat mewarnai proses pemerkaraan korban 27 Juli. Sejak proses penangkapan (dengan dalih pengamanan dari amukan massa pendukung Soerjadi), proses penyidikan yang (berdasar keterangan hampir semua Terdakwa) dalam proses pembuatan BAP-nya terdapat beberapa kejanggalan. Pertama, BAP dibuat atas dasar arahan pihak penyidik. Kedua, Tersangka sebagian besar mau menanda-tangani BAP karena dikatakan BAP itu cuma sekedar urusan administrasi dan Tersangka dijanjikan dalam waktu tiga hari akan dibebaskan. Ketiga, Tersangka yang 'didakwa' melakukan tindak pidana kerusuhan (Pasal 170 KUHP) dicegah dan ditakut-takuti untuk tidak didampingi penasehat hukum. Keempat, meskipun perkaranya disinyalir berantakan sedari awal, toh mereka tetap diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Memang, bila dirunut secara cermat proses pemerkaraan 124 korban 27 Juli itu sarat dengan unsur-unsur yang lebih bermuatan politik ketimbang hukum. Pertanyaan yang paling mendasar untuk menguatkan pernyataan itu adalah, kenapa justru si penyerang (massa pendukung Soerjadi) tidak satupun yang ditindak. Padahal logika hukum yang sederhana pun sudah semestinya menempatkan si penyerang sebagai terdakwa. Ibarat pengemudi menabrak pejalan kaki, tidak logis kiranya menempatkan pejalan kaki sebagai terdakwa. Meskipun si pejalan kaki mungkin sedang menyeberang di tempat yang salah. Sementara dalam kasus perebutan kantor DPP PDI, penyerbu jelas-jelas ibarat mobil menabrak dengan unsur kesengajaan terhadap pejalan kaki yang melintas di zebra-cross.

Kekuasaan Anarkis

Ironisnya hal aneh tapi nyata itu terjadi dalam logika~ pemerintahan Orde Baru. Dikatakan ironis karena dengan membangun realitas kehidupan berpolitik dan proses penegakan hukum yang akal-akalan itu, sudah pasti bertentangan dengan alasan keberadaan (raison d'étre) rejim Orde Baru yang 'konon' bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bahkan apabila gejala pelembagaan budaya kekuasaan dan hukum yang aneh tapi nyata itu dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila, berarti pula telah terjadi proses perendahan martabat Pancasila melalui gejala 'pemaknaan' yang bersifat anarchokrasi. Padahal Pancasila itu sendiri memiliki segala cakupan nilai-nilai universal --diantaranya nilai ketuhanan, demokrasi, keadilan sosial dan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia. Apabila nilai-nilai itu direduksi hanya berdasar 'pemaknaan' yang berasal dari keinginan 'semau-maunya' penguasa (anarchokrasi), maka masyarakat Indonesia pada generasi mendatang akan memandang Pancasila (yang secara das Sollen memiliki segala cakupan nilai-nilai universal itu sebagai sekedar 'alat pukul' dalam upaya menyingkirkan-menurut istilah Sri Bintang Pamungkas, musuh-musuh politiknya.

Dengan berjalannya hukum dan kekuasaan yang bersifat anarkis, maka ukuran ketaatan terhadap --misal Pancasila yang telah disepakati menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia direduksi cukup sekedar mengetengah- kan simbol-simbol, tanpa harus disertai ketaatan untuk melaksanakan substansi nilai-nilai Pancasila yang sudah pasti tidak mentolerir segala bentuk penyimpangan sebagaimana nampak dalam kasus yang menimpa Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998, Megawati Soekarnoputri. Apabila pemerintahan Orde baru --jika benar-benar terbukti berada di belakang serangkaian aksi pendongkelan Megawati Soekarnoputri- tetap bersikukuh pada pembenaran yang menurutnya berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka masyarakat Indonesia perlu menyangsikan kemurnian dan kekonsekuenannya. Atas dasar itu pula 'mereka' yang berada di balik aksi-aksi pendongkelan Megawati kehilangan raison d'étre untuk menyebut bagian dari kekuatan Orde baru.

Proses pemerkaraan 124 korban 27 Juli tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks politik (baik secara struktur maupun kultur) yang mendahului- nya. Maka dalam BAB Pembuka ini akan diungkap secara global kronologi pendongkelan Megawati, agar proses peradilan korban 27 JuIi ditempatkan secara proporsional sebagai bagian dari perJuangan penegakan demokrasi dan keadilan. Mereka telah mengorbankan profesi, sekolah dan bahkan mungkin pekerjaannya. Beberapa diantaranya terpaksa meninggalkan anak istri untuk sesuatu yang sudah pasti bukan sekedar berbuat kerusuhan (sebagaimana sering dituduhkan aparat keamanan). Paling tidak kronologi di bawah ini akan menyegarkan ingatan kita tentang peristiwa fenomenal yang kami harap menjadi langkah awal terbentuknya suatu kesadaran, bahwa perjuangan penegakan demokrasi dan keadilan tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan iman dan kesabaran, tanpa meninggalkan sikap optimis dalam upaya mencapai era Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan.

Pelecehan Asas kedaulatan Rakyat

Jika disimak secara detail, kasus 27 Juli berangkat dari cermin proses pelembagaan sistem politik yang kurang kondusif bagi tegaknya asas kedaulatan rakyat. Urusan 'kenegaraan' hanya berlangsung diantara inner circle elite yang direstui pemegang otoritas kekuasaan, sehingga kurang memungkinkan terjadinya proses pelembagaan politik yang menghasilkan out-put yang benar-benar representatif. Partai politik yang semula diharapkan menjadi medium yang dapat merepresentasi keinginan masyarakat, dirusak kemandiriannya melalui berbagai retriksi. Partai politik dipermak hanya sebagai stempel pengabsah kekuasaan. Bukan sebagai corong aspirasi bagi masyarakat pemilihnya. Unsur pembina politik (nota bene adalah pendukung salah satu Orsospol), sebagaimana terlihat dalam kasus PDI, lebih memiliki otoritas ketimbang ketua umum suatu partai sekalipun.

Retriksi yang tidak kalah perannya dalam merusak kemandirian partai politik adalah litsus (penelitian khusus). Dalam hal ini, sejumlah kader potensial PPP, sebagaimana diungkap Ketua Umum DPP PPP, Ismail Hasan Metarium, (Kompas, Desember 1996) dinyatakan tidak lolos litsus. Oleh karenanya banyak pengamat menilai, litsus dapat dengan mudah disalahgunakan untuk menjegal kader-kader pemimpin sipil yang potensial, populis dan membasis. Karena, sebagaimana diungkap pengamat politik UI Nazaruddin (Pantang Surut Langkah, ISAI, 1996), sampai saat ini tidak pernah terpikirkan oleh ABRI untuk menyerahkan pucuk pimpinan negara ini kepada pihak sipil. Dengan adanya litsus, sebagus apapun potensi dan bakat Anda jika tanpa didukung restu 'dewa- dewa litsus' jangan harap tampil ke depan menjadi seorang pemimpin

Semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan harus berada di bawah naungan pembina politik. Kaditsospol (Kepala Direktorat Sosial Politik) lebih memiliki otoritas katimbang ketua DPC suatu partai sekalipun. Dalam situasi ini, kemandirian partai sebagaimana dicitacitakan Megawati akan terus mendapat tantangan. Bukan saja dari kalangan pemerintah, melainkan juga dari kalangan anggota partainya sendiri. Sebab situasi politik yang berlangsung seperti ini adalah ladang yang subur bagi ber- kembangnya, meminjam istilah Rizal Ramli, falsafah kodok. Menekan ke bawah untuk naik (meloncat) ke atas.

Pendongkelan Megawati paling tidak melibatkan tiga konspirasi besar, yaitu: Pertama, orang-orang yang cemas akan menguatnya pengaruh Megawati, baik saat pemilu maupun Sidang Umum MPR. Kecemasan paling mendasar dimulai saat disambutnya rerasan (rumor) akan pencalonan Megawati sebagai presiden RI yang dimulai dari DPC PDI Batang dan ditindaklanjuti FPDI di DPR. Kecemasan lain yang juga merisaukan 'orang-orang itu' adalah Megawati dituduh melindungi pemikiran penolakan dwi fungsi di kalangan partainya, terutama dibuktikan adanya wawancara Aberson Marle Sihalolo di sebuah majalah ibu kota. Kedua, orang-orang yang atas nama kelompok dengan atribut simbol ideologi tertentu ingin menghambat kharisma Mega yang diyakini akan membekap segmen pengaruh politik yang hendak diraihnya. Ketiga, orang-orang kalangan dalam PDI yang dengan dalih 'menyelamatkan partai' beroleh keuntungan peningkatan karier politiknya kendati dilakukan dengan mengabaikan etika keorganisasian.

Sebenarnya Soerjadi yang kini'sukses' menuai proyek pendongkelan Mega pernah merasakan getirnya sistem politik ini. Saat terjadi Kongres IV di Medan, 21-25 Juli 1993 secara aklamasi mayoritas DPC-DPC memilihnya kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI. Namun upaya Soerjadi digagalkan oleh kelompok DPP Peralihan yang dipimpin Ahmad Subagyo. Dengan mengerahkan satgasnya yang dikomandoi Yakob Nuwa Wea, kelompok anti Soerjadi berhasil menjebol masuk ruang sidang dan membubarkan peserta kongres. Berdasar analisa sejumlah pengamat, Soerjadi tidak direstui penguasa karena saat kampanye Pemilu 1992 dianggap berdosa telah gencar menyuarakan pembatasan jabatan presiden dan mengeritik perilaku bisnis yang monopolistis yang disebut banyak khalayak mampu meningkatkan suara pada pemilu yang lalu.

Setelah Kongres IV Medan gagal, disepakati pembentukan DPP Caretaker yang diketuai Latief Pudjosakti (ketua DPD Jawa Timur) yang diserahi tugas melaksanakan KLB di Surabaya, Desember 1993. Budi Hardjono disebut-sebut menjadi kandidat terkuat, karena berdasar pengakuannya di tabloid Detik (almarhum) telah mengantongi restu orang-orang di atas. Sikap optimis Budi Hardjono segera punah tersapu badai dukungan arus bawah yang tertuju ke satu nama: Megawati Soekarnoputri.

Politik Adu Banteng

Dalam pemandangan umum KLB di Surabaya, Megawati didukung sekurang-kurangnya 310 DPC, sedang Budi Hardjono hanya mengantongi 33 DPC. Sementara di luar pagar Asrama Haji Sukolilo, ribuan orang berkumpul dan menyerukan dukungan ke Megawati. Diantara penggembira itu terdapat penyair Emha Ainun Najib. Dari sini proses pendongkelan Mega dimulai. Menjelang KLB berakbir, mendadak personil DPP Caretaker yang mentargetkan sidang dead-lock, karena usulannya untuk mengaman- kan pencalonan Budi Hardjono dengan memaksakan sistem formatur ditentang peserta KLB, hingga sidang menjelang berakhir tak seorangpun nampak batang hidungnya. Ternyata mereka menghadap Direktur Pembi- naan Masyarakat Ditjen Sospol Depdagri, Gendon Moelyono (PSL, ISAI, 1996).

Dengan menghilangnya DPP Caretaker, 27 DPD atas sepengetahuan DPC-DPG mengadakan rapat khusus yang membuahkan keputusan. Pertama, memberi batas waktu hingga pukul 20.00 kepada caretaker untuk mengadakan sidang paripurna. Bila caretaker tak mampu, maka sidang akan diambil alih DPC-DPC. Kedua, menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum DPP-PDI periode 1993-1998 dan menetapkan 27 DPD sebagai formatur dalam penyusunan DPP PDI. Karena hingga batas waktu perijinan KLB berakhir sidang paripurna belum juga dilaksanakan. maka tepat pukul 00.00 WIB (5 Desember 1993) Megawati Soekarnoputri mengumumkan secara de facto sebagai ketua umum DPP PDI periode 1993-1998. Megawati dan jajaran fungsionaris DPP-nya betul-betul absah (de jure) setelah Mega dipilih dalam Munas, 22 Desember 1993 di Jakarta.

Setelah fungsionaris DPP PDI terbentuk, bukan berarti badai pendongkelan Mega mereda. Kelompok Yusuf Merukh yang tidak puas mulai tampil ke depan. Mereka membentuk fungsionaris DPP PDI Reshuffle yang meski tidak diakui pemerintah namun kegiatannya tetap tidak dilarang. Dengan mengangkat isu adanya 300 kader PDI tidak bersih lingkungan, kelompok ini terus melakukan tekanan ke kubu DPP PDI. Mereka menuntut agar Megawati Soekarnoputri membersihkan anggota-anggotanya dari unsur kiri. Korbanpun berjatuhan. Jajang Kurniadi, ketua terpilih DPD PDI Jawa Barat terpaksa meletakan jabatannya.

Selanjutnya, Sekjen DPP PDI Alex Litaay diculik 'gerombolan orang tak dikenal', 18 Januari 1995. Alex dipaksa menanda-tangani surat mandat untuk bergabung ke DPP Reshuffle pimpinan Yusuf Merukh. Namun usaha penculikan yang berlangsung selama 4 hari itu berakhir sia-sia. Setelah keluar dari sekapan, Alex tiba-tiba muncul dan menyatakan sikap tetap setia mendukung Mega. Upaya Merukh (atau para project officernya) melakukan politik belah bambu gagal. Sedang di Surabaya 'kewibawaan' DPP PDI pimpinan Megawati digoyang lewat pemunculan kembali Latief Pudjosakti menjadi Ketua DPD PDI Jawa Timur. Sementara Ir. Soetjipto yang secara sah ditetapkan sebagai Ketua DPD PDI Jawa Timur, lewat SK. 043 yang ditanda-tangani ketua umum DPP PDIl justru tidak diakui keberadaanya oleh Basofi Sudirman yang ketika itu tetap mengakui kepemimpinan Latief Pudjosakti. Dari Jawa Timur ini sekam penjatuhan Megawati terus dikipas lewat beragam aktifitas yangi diantaranya sempat menjadi sorotan pers.

Yusuf Merukh belum juga kehilangan akal untuk mengintip peluang, berusaha 'menjaringkan bola' proyek politiknya yang berkali-kali gagal. Gerakan Yusuf Merukh konon didukung sejumlah invisible hand (tangan- tangan tidak terlihat) yang secara diam-diam melakukan kasak-kusuk ke sejumlah kader partai. Beberapa kader partai sempat terpengaruh dan mengumumkan sejumlah DPC tandingan Namun massa pendukung Megawati senantiasa bertindak sigap. Setiap mendengar akan adanya rapat yang diprakarsai kelompok Yusuf Merukh, mereka segera bubar- kan rapat itu. Diantaranya terjadi di Medan (Hotel Sumatera Village Resort, 1 Juni 1995), Yogyakarta (3 Juni 1995) dan Cibubur (30 April 1996). Bahkan dalam penggrebegan di Yogya yang dilakukan kelompok Soerjanto (pendukung Mega) itu ditemukan rencana KLB di Tawangmangu yang dua hari berikutnya dirancang kelompok Merukh di Hotel Wisata Garden. Hadir dalam rapat perencanaan KLB, diantaranya Harsoko Soediro, pemimpin redaksi tabloid Swadesi yang kini begitu getol menyuarakan kepentingan Soerjadi.

Terakhir kali, saat terjadi rapat di Wisma Pemuda Cibubur, 30 April 1996 Satgas pendukung Megawati yang datang membubarkan pertemuan itu menemukan 16 kartu anggota Golkar dan sejumlah kartu OSIS yang didapat dari peserta pertemuan gelap itu. Terungkap pula, sejumlah peserta datang dengan diantar mobil plat merah, konon (sebagaimana terjadi dalam KLB di Surabaya) mereka dikawal Kaditsospol masing-masing. Dan seperti halnya terjadi di Medan, melihat adanya gelagat penyerbuan, Yusuf Merukh, yang diberi konsesi mengolah tambang emas yang cukup deposit itu segera ngacir lewat pintu belakang. Di bulan itu pula, diam-diam Soerjadi (dengan didukung Fatimah Achmad dan Ismunandar) gencar melakukan safari ke daerah-daerah. Diduga, tindakan itu dilakukan setelah melobi ke kalangan atas, antara lain adanya pertemuan Kasosspol Letjen Syarwan Hamid yang selanjutnya disangkal Soerjadi dalam wawancaranya di salah satu majalah nasional.

Sejak April 1996 tangan-tangan tak terlihat itu mulai terang-terangan me- nampakkan sosoknya. Diantaranya beberapa komandan Kodim yang menginstruksikan DPC-DPC agar menyetujui rencana penyelenggaraan "kongres' yang project officernya akan diserahkan ke orang dalam DPP- PDI pimpinan Megawati. Tapi beberapa DPC yang dihubungi tangan- tangan yang makin terlihat itu diantaranya dari Jawa Barat, Jambi dan Sumatera Utara justru melapor ke DPP Mega. DPP PDI protes keras atas tindakan vulgar itu. Namun, apalah arti kekuatan kata-kata tanpa dibekali otoritas kewenangan dalam menegakan kemandirian partai?

Politik adu banteng, istilah Dr. Roeslan Abdulgani saat memberi wejangan di Kebagusan (Senin, 23/12) semakin kencang bertiup di lingkungan DPP PDI. Hasilnya, 16 anggota DPP berhasil dibujuk untuk menentang Mega. Mereka rapat di sebuah hotel di bilangan Peconongan tanggal 2 Juni. Esok harinya tim penjegal Mega dengan dipimpin Mbah Mario (ketua umum DPD Jawa Tengah) datang meminta ijin penyelenggaraan Kongres ke Depdagri. Mendagri langsung menanggapinya positif. Di hari yang sama, Fatimah Achmad menyodorkan setumpuk berkas ke forum rapat harian yang katanya berisi pernyataan persetujuan "Kongres" yang berasal dari DPC-DPC. Megawati yang belum meneliti secara seksama pernyataan itu segera menunjuk H. Soetardjo Soerjoguritno sebagai ketua panitia, apabila kongres memang harus dilaksanakan. Namun 16 anggota DPP menolak. Mereka menghendaki Fatimah. Keesokan harinya kelompok 16 rapat di Hotel Wisata dan menunjuk Fatimah Achmad (sesuai skenario tangan- tangan tak terlihat sebagai ketua panitia. Sedang di kantor DPP, di hari yang sama, rapat yang dipimpin Megawati tegas memutuskan tidak akan ada kongres.

Kongres Rekayasa

Di sisi lain Panglima ABRI Jend. Feisal Tanjung, Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid, Mendagri Yogie SM dan Dirjen Soetojo NK terang- terangan mendukung "Kongres". Pernyataannya diumumkan di sejumlah surat kabar. Kendati terdengar sumbang, orkestrasi pendongkelan Mega berlangsung serempak. Komnas HAM menyebutnya campur tangan politik yang melebihi batas kewajaran. Campur tangan itu kentara sekali dengan adanya diskriminasi perlakuan, di satu sisi mendukung tanpa reserve kelompok pendukung "kongres" sedang di sisi lain mengabaikan serangkaian protes yang dilakukan pendukung Mega.

Ada dua alasan pokok yang dijadikan pemerintah untuk membenarkan tindakannya. Pertama, DPP PDI menganut kepemimpinan kolektif (karena 16 diantara 29 anggota DPP PDI menginginkan kongres maka pemerintah terpaksa harus menyetujuinya) Kedua, adanya dukungan mayoritas cabang yang ditunjukan dalam lampiran permohonan ijin kongres. Kendati Kwik Kian Gie membeberkan fakta, dari sekian formulir usulan "kongres" sebagian besar atau hampir seluruhnya menyalahi aturan organisasi toh pemerintah bersikeras mendukung pelaksanaan "kongres".

"Kongres" berlangsung di Medan, 20-23 Juni 1996, yang dijaga ekstra ketat oleh aparat keamanan. Di setiap persimpangan jalan dilakukan operasi pemeriksaan KTP. Kantong-kantong LSM dipantau ketat. Disamping itu, kata pengurus DPC PDI Medan yang pro-Megawati, mereka memang diinstruksikan ketua umum DPP untuk tidak me- mobilisir massa. Pertimbangannya, sebagaimana diucapkan Megawati, seminggu sebelum "kongres" dilaksanakan, menghindari pertumpahan darah. Karena ketatnya penjagaan dari aparat keamanan, muncul anekdot di masyarakat --"kongres" itu lebih mirip sebagai raker gubernur ketimbang kongres partai. Tidak aneh jika "kongres' yang diproses lewat bermacam intimidasi itu ditentang kalangan masyarakat yang mencium bangkai ketidakadilan.

Dua minggu sebelumnya sejumlah LSM dan'Ormas' di Jakarta membentuk MARI (Majelis Aksi Rakyat Indonesia) Begitu mendengar "kongres" digelar, pada saat itu juga pendukung Mega dan ribuan simpatisan lainnya melakukan long march di Jakarta. Mereka berarak sepanjang kurang lebih 5 km, berangkat dari kantor DPP PDI menuju J1. MH. Thamrin hingga ke stasiun Gambir Puluhan ribu simpatisan dan kader PDI pendukung Megawati tumpah di jalanan. Marah. Boleh jadi karen terusik peristiwa yang menyentuh rasa keadilan merek' "Apa salah Ibu Mega?" tanya ibu-ibu yang kebetulan melintas di Jalan Thamrin menyaksikan sekaligus larut dalam laut-keprihatinan massa.

Sesampai di stasiun Gambir, setelah berkali-kali ber hasil membobol blokade petugas, massa berhasil dihalay petugas dengan panser. Ibu-ibu setengah baya, persis d pojokan Patung Tani nampak lemas tergeletak dengan dahi mengucur darah.

Lahirnya TPDI

Keesokan harinya puluhan pengacara berkumpul da mengeluarkan somasi tentang ketidak-absahan "Kongres Medan", baik dilihat dari konstitusi partai maupun konstitusi negara. Gayung bersambut, Megawati selaku Ketua Umum DPP-PDI periode 1993-1998 bertekad akan mengamankan semua DPD dan DPC dari pengaruh orang-orang Soerjadi. Selain itu, Megawati menunjuk tujuh orang pengacara untuk menggugat pemerintah dan DPP Soerjadi melalui jalur hukum. "Negara kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan!" tegas Megawati. Pada 26 Juni 1996, ketujuh pengacara yang ditunjuk Mega diantaranya Amartiwi Saleh, Tumbu Saraswati, dan RO. Tambunan membentuk tim penasehat hukum yang dinamakannya Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Tanpa diduga, ribuan pengacara --baik yunior maupun -- yang sudah senior menyatakan berdiri di belakang TPDI. Sejak itu lahirlah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang berdiri dalam satu barisan DPP PDI Mega untuk berjuang merebut keadilan.

Bersama TPDI, Megawati bertekad akan memperjuangkan hak-hak DPP yang dipimpinnya sebagai DPP yang sah lewat jalur hukum. Secara serentak pembentukan TPDI disambut positif di daerah-daerah. Diantaranya Ujung Pandang, Menado, Denpasar, Surabaya, Bandung, Jakarta, Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Semarang, Ambon, dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia

Baru sekarang ini sejarah mencatat, ribuan pengacara bangkit dan berdiri di belakang kekuatan partai politik yang fungsionarisnya diacak-acak 'oknum' penguasa. Tentunya bukan karena 'numpang' popularitas sebagaimana dituduhkan satu diantara anggota DPR yang berasal dari Fraksi ABRI. Tapi memang karena mereka tergerak dalam tekad yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya yang ingin turut serta mengantarkan bangsa Indonesia menuju era yang demokratis dan berkeadilan. Tekad dan semangat pengacara-pengacara TPDI ini disebut majalah Newsweek (14 Oktober 1996 Hal. 28) sebagai 'Gerilya Hukum'.

Kendati tidak ada keuntungan materi yang dijanjikan, pengacara- pengacara TPDI yang dikoordinir oleh RO. Tambunan tetap setia men- dampingi --baik dalam hal gugatan maupun dalam hal pembelaan kasus pemerkaraan korban 27 Juli dan 'Insiden Gambir'. Aktifitas TPD bahkan meluas ke daerah-daerah. Kesemuanya, selain jug menghadirkan pengacara Jakarta juga melibatkan secar aktif pengacara-pengacara daerah. Kendati beberapa gugatannya sering kali dikandaskan dalih yang bersifat formal- prosedural, misal ucapan Majelis Hakim di PN Surakarta yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mencampuri urusan intern partai, namun pengacara pengacara TPDI pada umumnya optimis perjuangan lewat jalur hukum bukanlah sia-sia. "Justru sejarah akan mencaci kami yang nota bene sadar hukum apa bila kami diam dan tidak berbuat apa-apa melihat gejala kesewenang wenangan yang merajalela," ungkap satu diantar pengacara TPDI, enggan ditonjolkan identitasnya.

Tragedi 27 Juli

Ribuan massa yang prihatin atas kondisi demokrasi di Indonesia terus mengalir ke Jalan Diponegoro. Mereka larut dalam nada keprihatinan yang sama. Untuk mengakomodir rasa tidak puas itu, jajaran pengurus DPP yang tetap setia kepada Megawati memberi kanal pelampiasan berupa panggung di halaman kantor DPP PDI yang diberi nama Mimbar Demokrasi. Setiap hari mereka berkumpul berharap dan bermimpi datangnya Indonesia baru yang lebih demokratis dan berkeadilan. Setiap hari pula puluhan orang --dari pemuda hingga orang tua-- naik ke panggung. Menyuarakan hati nurani yang selama in dimampatkan bermacam aturan yang tidak mengacu kepada rasa keadilan. Beberapa diantaranya sempat terharu saat orang-orang menyanyikan, "Mega pasti menang ... pasti menang.. pasti menang..."

Pemerintah rupanya gerah melihat derasnya arus dukungan ke Megawati yang tidak saja didukung arus bawah, melainkan juga oleh kalangan menengah ke atas. Bahkan, putri proklamator Bung Hatta yang di- persunting ekonom Sri Eddy Swasono secara khusus mengirim ucapan simpati ke Megawati Soekarnoputri. Dapur umum senantiasa penuh menampung wujud simpati berbagai kalangan masyarakat yang datang membawa makanan seperti mie, beras, daging, telor hingga rokok dan sejumlah uang kontan dan cek. Kadang nampak pula pengendara BMW masuk kantor DPP, menyerahkan bantuan alakadarnya sebelum lenyap ditelan keramaian lalu lintas Jakarta. Arus dukungan Mega juga tercermin saat ratusan anak muda menggelar aksi simpatik. Bunga dipersembahkan ke polisi yang bertugas. Kain putih sepanjang 5 km direntangkan, menampung ratusan ribu tanda tangan dari masyarakat yang melintas di jalan raya. Sopir bajaj, penumpang bus kota dan yang berkendaraan pribadi turun dari kendaraan, sekedar untuk menanda-tangani dukungan untuk Megawati Soekarnoputri. Belum lagi pejalan kaki yang berkerumun di halte-halte dan di gang-gang pemukiman.

Mereka larut dalam mimpi yang sama. Ingin melihat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan..

Tidak lama setelah Soerjadi berjabat tangan dengan Pak Harto, serombongan massa berkaos merah bertuliskan pendukung hasil Kongres Medan dengan didukung ratusan aparat keamanan menyerbu pendukung Megawati Soekarnoputri yang bertahan di dalam kantor DPP. Hari itu, Sabtu 27 Juli 1996 Dua puluh empat anak bangsa (versi Komnas HAM) hilang, sebagian lagi menggelapar kaku, mati. Yang selamat diangkut petugas ke Polda. Ternyata korban-korban itu justru didakwa melakukan tindak kerusuhan. Sementara pendukung Soerjadi yang dengan logika apapun dapat dikatakan sebagai faktor penyebab utama terjadinya peristiwa 27 Juli justru tidak satupun ditangkap dan diproses ke pengadilan. Sekali lagi hal aneh tapi nyata dipertontonkan secara transparan dan vulgar.

Memang, target pendongkelan Mega sudah jauh-jauh hari dirancang. Persoalannya, apakah kesalahan Megawati dari kaca-mata undang- undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia sehingga harus dijegal? Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab tanpa melibatkan fenomena politik yang melatar-belakanginya. Kodifikasi hukum atau bahkan konstitusi bisa saja sarat dengan muatan moral dan etika yang mendekat ke rasa keadilan. Namun persoalannya, apakah peraturan itu ditaati ataupun tidak --dalam banyak hal kadang lebih banyak bergantung kepada kemauan politik seseorang yang sedang berkuasa. Bahkan tidak jarang, untuk melindungi dirinya sendiri 'penguasa' sering kali mereduksi makna agar sesuai dengan keinginannya. Kalau perlu membuat surat keputusan sendiri yang bersifat membatasi ruang gerak orang-orang yang dibawahinya, kendati secara substansial bertentangan dengan peraturan di atasnya. Istilah tepat untuk memaknai gejala di atas sebagaimana kami singgung di atas adalah anarkhokrasi, yaitu ketika hukum dan kekuasaan digunakan penguasanya secara anarkis.

Bila ditempatkan dalam konteks persoalan di atas, maka perjuangan anggota dan simpatisan DPP PDI pimpinan Megawati dalam mem- pertahankan kantor DPP dapat diartikan sebagai wujud kepedulian masyarakat atas persoalan bangsanya. Mereka merasa perlu terlibat, karena sesungguhnya merekalah pemilik kedaulatan yang sah. Termasuk berdaulat untuk menentukan sikap politik dan memilih pemimpinnya. Siapa bilang rakyat bodoh? Kalau sebelumnya mereka diam dan terkesan gampang dibodoh-bodohi, bukan berarti mereka tidak tahu berlangsungnya proses politik dan hukum yang berlangsung semakian aneh tapi nyata itu. Buktinya, dalam konteks yang lebih luas, rakyat semakin mudah meledak. Paling tidak, sepanjang tahun 1996 kerusuhan massa berlangsung susul menyusul --diantaranya Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya dan Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Begitu mudahnya persoalan sederhana menyebabkan rakyat menumpahkan jerit frustasinya, sehingga memunculkan korban yang tidak semestinya. Patut juga direnungkan, akankah budaya kekerasan itu akan terus men- tradisi dalam pola interaksi --baik di level masyarakat maupun negara?

Saat mendengar kantor DPP diserang pendukung hasil "Konggres Medan", tanpa komando ribuan orang berkumpul memenuhi jalan-jalan di sekitar Megaria. Mereka datang dari gang-gang pemukiman sekitar Matraman, Tambak, Salemba, Kramat, Pramuka dan sekitarnya. Begitu massa itu dibubarkan, mereka berlarian. Membawa takut, marah dan kesal. Beberapa diantaranya, boleh jadi ada yang memprovokasi, mulai mem- bakar gedung-gedung. Jakarta bergolak. Peluru muntah dari ujung senapan serdadu. Beberapa orang nampak merintih luka. Di dekat Pasar Burung Pramuka, lelaki setengah baya terkapar diraungi tangis istrinya. Darah muncrat dari dadanya. "Laki saya ketembak! Laki saya ketembak!" teriak istrinya.

Korban berjatuhan. Sebagian menyebut angka 100. Sebagian menyebut angka 48. Komnas HAM menyebut angka 74 yang selanjutnya setelah diprotes pemerintah, menurunkan estimasinya menjadi 24 dengan kategori hilang (yang katanya tidak selalu berarti mati). Sedan pemerintah bersikukuh menyebut angka 3. Setela ditambah korban penembakan di Pasar Burung Pramuka jumlahnya diralat menjadi 4. Sementara di Sekretari DPP PDI beberapa kader dan simpatisan yang selamat digiring ke Polda. Aneh tapi nyata, korban yang dalam posisi terkepung dan terancam keselamatan jiwanya selanjutnya disidik sebagai tersangka yang kemudian didakwa melakukan tindakan yang melanggar pasal 174 dan 218 KUHP.

Menuju Indonesia Berkeadilan

Di sini layak pula dicatat, perjuangan Megawati Soekarnoputri sebenarnya memiliki andil besar dalam hal mengalokalisir potensi konflik yang bersifat destruktif menjaidi konstruktif. Dengan adanya kepemimpinan Mega, maka tindakan massa pendukungnya menjadi terkontrol. Karena dari sana terbuka kemungkinan berlangsungnya proses pendidikan politik yang benar dan tidak manipulatif. Yang memiliki sasaran jangka panjang. Perjuangan Megawati, karena berlangsungnya proses pendidikan tersebut di atas, lambat laun akan disadari massa pendukungnya sebagai perjuangan moral yang akan berjalan secara simultan dan berkesinambungan. Target akhirnya, menuju Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.

Pengorbanan ke arah sana sudah mereka buktikan. Diantaranya dengan proses pemidanaan 119 (diantara 124) korban 27 Juli. Bahkan proses (sejak penyidikan hingga dakwaan) telah dinilai salah satu Majelis Hakim sebagai 'berantakan sedari awal.' Kenyataan itu membuktikan betapa banyaknya celah-celah hukum, sehingga memungkinkan pihak penyidik berbuat semau-maunya untuk mengorek pengakuan tersangka. Misal dalam hal penanganan 124 korban 27 Juli yang diantaranya, menurut pengakuan Sandra, satu diantara korban 27 Juli itu, melihat adanya tindak pelecehan seksual. Maka begitu vonis dijatuhkan para terdakwa menyatakan banding. Banyak hak-hak mereka yang terampas selama dalam proses penyidikan, misalnya tidak didampingi pengacara untuk sangkaan yang terhitung berat. Namun pemidanaan 124 korban 27 Juli ternyata tidak efektif dalam upaya menjegal arus dukungan yang tertuju ke sosok kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. "Bang, kami akan terus berjuang!" seru satu diantara 124 korban 27 Juli kepada pengacara TPDI saat berlangsungnya acara ulang tahun ke-3 berdirinya DPP Mega, di Kebagusan (23/12). Kenapa? Karena memang substansi persoalannya masih dibiarkan mengendap ke dasar kalbu rakyat kecil yang dianggap bodoh dan tidak tahu menahu berlangsungnya proses politik dan hukum yang aneh tapi nyata itu.***

(bersambung)