Bagian IV
Putusan Sela
Terhadap eksepsi dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia tersebut kesepuluh majelis hakim telah memberikan putusan sela yang intinya adalah:
1. Menyatakan keberatan dari tim penasehat hukum tidak dapat diterima.
2. Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara.
3. Menangguhkan biaya perkara dalam perkara ini sampai putusan akhir.
Dengan adanya putusan sela tersebut maka pemeriksaan terhadap 124 terdakwa dilanjutkan dan diteruskan.
Bagian V
Fakta Persidangan
Bila dicermati, proses peradilan 124 korban penyerbuan 27 juli, dimulai sejak 9 Oktober 1996 dan berakhir 27 November 1996, lebih berkesan politis ketimbang yuridis. Tidak aneh, bila dalam proses persidangan yang berjalan maraton itu, ada satu anggota majelis hakim, entah karena kesal atau bagaimana, keceplosan bicara, "Proses peradilan ini sudah berantakan sedari awal". Bukti lain dari pernyataan di atas, yaitu kesaksian 12 anggota polisi dengan status saksi memberatkan. Sementara, saksi dari pihak Soerjadi hanya 2 orang, yaitu Dedy Sentani dan Nurcahyo. Itupun tidak dihadirkan di semua persidangan dengan alasan sulit dihubungi. Padahal, kesaksian mereka penting untuk dijadikan pertimbangan hakim dalam menentakan keputusan. Lebih berharga dibanding saksi dari kepolisian dengan logika kesaksian dari seorang anggota polisi sulit dikatakan sebagai kesaksian yang bersifat individual, karena ia adalah bagian dari lembaga yang menerapkan disiplin komando begitu ketat (hirarki militer) sehingga sulit bersaksi sesuai apa yang mereka lihat dan/atau mereka dengar.
Tidak berlanjutnya kesaksian Dedi Suntani dan Nurcahyo dari kubu Soerjadi, terlalu naif jika hanya dinyatakan jaksa sulit menghubunginya. Namun majelis hakim nampaknya menerima alasan pihak jaksa penuntut umum dengan alasan kesaksian mereka dianggap sudah cukup. Padahal, sebagaimana diekspos oleh pers, diantaranya harian Kompas, pada kesaksian mereka di hadapan Majelis Hakim terungkap bopeng-bopeng yang menjelaskan bukti keterlibat aparat ekstra yudisial dalan pengambil-alihan markas DPP PDI, Jalan Diponegoro No 58 yang membuahkan tragedi 27 Juli. Diantaranya, fakta berdasar kesaksian Dedi Sentani bahwa semula, sebelum terjadinya penyerbuan 27 Juli, mereka direkrut untuk menjaga tanah dengan imbalan Rp 15.000 per hari. Namun di luar sepengetahuan mereka, mereka dikumpulkan di gedung dekat Markas Polda Metro Jaya, Jl. Jenderal Soedirman dan pagi harinya diperintahkan menyerang Markas DPP PDI. Dalam penyerangan itu, Dedy Sentani mengaku semula menerima imbalan Rp 15.000. Namun setelah dikonfrontir lebih jauh, Deddy menyebut mendapat imbalan Rp 40.000. Dengan demikian, kesaksian Deddy Sentani memang menegaskan bukti adanya campur tangan militer dalam persoalan konflik PDI. Selain itu kesaksian Deddy Sentani dianggap secara politis kurang menguntungkan posisi dalang sebenarnya yang mendorong terjadinya "Kongres Medan" sehingga Deddy tak perlu tampil lagi dalam persidangan yang lain.
Bila ditelusuri lebih jauh, dalam proses penangkapan hingga pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian terdapat kejanggalan yang dinilai Tumbu Saraswati, Republika 9/10, tidak transparan sebagaimana prinsip KUHAP. Dalam persidangan, sebagaimana diungkap dalam eksepsi TPDI, waktu penyidikan terdakwa tidak didampingi penasehat hukum. Padahal mereka diancam hukuman atas 5 tahun. Sesuai Pasal 56 ayat 1 KUHAP, dakwaan itu harus dinyatakan batal, tegas TPDI yang mendampingi para terdakwa. Pasal 56 ini, diungkap oleh TPDI, pernah digunakan majelis hakim untuk membebaskan para terdakwa. Misal dalam kasus penyelundupan kayu di PN Tegal dan kasus pemalsuan uang di PN Payakumbuh. Namun 10 majelis hakim yang menangani kasus pemidansan 124 korban 27 Juli nampaknya tidak menghiraukan sederet kejanggalan yang diurai TPDI. Kasus pemidanaan 124 korban 27 Juli tetap diteruskan.
Demikian gambaran umum yang terungkap dalam persidangan 124 aktifis PDI yang didakwa menyerang pendukung Soerjadi. Bagaimana proses persidangan mereka? Berikut kami paparkan kronologi persidangan yang kami rangkum dari berbagai sumber. Selain pers, juga sejumlah keterangan dari anggota TPDI dan hasil pengamatan kami, yang karena keterbatasan ruang dan waktu sulit menjangkau kesemuanya jika tanpa dibantu hasil liputan dari kawan- kawan pers. Beberapa sumber yang menjadi landasan penulisan, diantaranya: surat kabar harian Kompas, Media Indonesia, Merdeka Jayakarta dan Republika. Sementara untuk majalah mingguan berita, kami kutip berita-berita dari Majalah Forum Keadilan, Tiras dan Sinar. Selanjutnya rangkuman fakta persidangan ini kami rangkum dalam bentuk kronologi.
Rabu, 9 Oktober 1996
Secara umum, persidangan 124 korban penyerbuan Juli yang di- sidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dibagi dalam 10 berkas. Pada sidang hari pertama Rabu 9 Oktober 1996, PN Jakarta Pusat menyidangkan secara serempak 64 terdakwa yang dibagi dalam 5 berkas masing-masing dipimpin pleh ketua majelis hakim: Ny. Nurhayati SH, Gatam Taridi, PA Sianipar, Atjo Darso dan Soehardjo. Sedang jaksa penuntut umum, adalah Syamsuddin Syam, Suhaemi, Yusita Mantir, YW Mere dan Tonny Spontana. Para terdakwa dituduh oleh jaksa penuntut umum melanggar Pasal 170 ayat 2 (1) KUHP, berbunyi "Yang bersalah dipidana dengan pidana penjara tujuh tahun kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan orang mendapatkan luka". Pasal ini, kata seorang pengunjung sidang, sebenarnya cocok untuk massa pendukung Soerjadi. Bukan ditujukan ke korban penyerbuan atau 124 terdakwa yang saat dibawa ke polda diantaranya dalam keada terluka.
Dalam eksepsinya, TPDI minta agar majelis hakim menangguhkan penahanan terdakwa. Apalagi proses penyelidikannya sudah selesai. Namun permintaan itu belum dikabulkan majelis hakim, dengan alasan hanya disampaikan secara lisan. Selain itu, TPDI mencermati bahwa dalam dakwaannya jaksa tidak menjelaskan jumlah korban yang jatuh di kubu Megawati. Padahal, pengungkapan korban dari kubu Megawati ini penting untuk membuktikan secara materil tentang siapa yang sebenarnya harus dituduh melanggar Pasal 170 ayat 2 (1) dan dakwaan subsider Pasal 218 jo Pasal 55 ayat 1 (1) KUHP. Oleh karenanya TPDI menilai dakwaan jaksa tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sesuai Pasal 143 ayat 2 KUHAP. Sidang diundur hingga 16 Oktober 1996, dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi tim penasehat hukum
Dalam sidang yang dihadiri sekitar 2000 pengunjung itu, para terdakwa (63 orang karena 1 terdakwa dengan status tahanan luar tidak hadir) mengenakan setelan hitam-hitam dan merah hitam, di dada kiri terpampang foto Megawati Soekarnoputri. Selain itu, sidang hari pertama itu dihadiri ketua DPP PDI Megawati Soekarnoputri, Sekjen Alex Litaay, Soetardjo Soerjoguritno, Sukowaluyo dan sejumlah aktifis LSM. Saat terdakwa hendak keluar dari persidangan, satu diantaranya mengungkap tidak menyesal dengan keberadaannya di kursi pesakitan. "Karena saya telah menjadi bagian dari perjuangan demokrasi. Ya, sampai kapanpun kami setia untuk berdiri di belakang kepemimpinan Ibu Mega," ucapnya.
Senin, 14 Oktober 1996
Sidang gelombang kedua kasus 27 Juli kembali digelar dengan meng- hadirkan 60 terdakwa. Mereka di bagi dalam lima berkas, masing- masing dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Abas Sumantri dan Jaksa J. Kamar untuk Terdakwa Darmadi bin Husni dkk (12 orang) Hakim Sartono dan Jaksa Lukimanto untuk Terdakwa Susilo Muslim dkk (12 orang), Hakim Madnyono dan Jaksa Hanif Suleman untuk Terdakwa Noval Arafah dkk (1 orang), Hakim Asmar Ismail dan Jaksa M. Yusuf untuk Terdakwa Oyo Suhara dkk (11 orang) serta Hakim Sjoffinan Sumantri dan Jaksa Fauzi Yunus untuk Terdakwa Aidin Nursalim dkk (12 terdakwa).
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menuntut mereka dengan dakwaan primer, melanggar Pasal 170 ayat 1 dan 2 (1) KUHP dan dakwaan subsider, Pasal 218 jo Pasa 55 ayat 1 (1) KUHP. Mereka dituduh melakukan aksi pelemparan sehingga melukai 2 anggota rombongan yang luar pagar, yaitu Dedy Sentani dan Nurcahyo serta melukai anggota polisi I Made Wiranata dan Edy Sularso. Namun, sebagaimana dalam sidang gelombang pertama, tim penasehat hukum terdakwa langsung membuat eksepsi yang menyatakan surat dakwaan disusun tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga harus dibatalkan demi hukum. Guna memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk menanggapi eksepsi pembela dan mendengar putusan sela dari majelis hakim, sidang ditunda hingga 21 Oktober 1996.
Rabu, 16 Oktober 1996
Kegaduhan terjadi, baik di dalam maupun di luar ruang persidangan. Kegaduhan di ruang persidangan terjadi saat Hakim Gatam Taridi dinilai oleh RO. Tambunan koordinator TPDI, telah mengabaikan hak Asep Gani - satu diantara 11 terdakwa di ruangan itu - yang bermaksud mengajukan pembelaan. Namun majelis hakim yang dipimpin Gatam Taridi buru-buru menutup sidang. Maka, para terdakwa di ruangan itu segera melampiaskan kekesalan dengan memukul-mukul meja dan menghentak-hentakan kaki. Dan RO. Tambunan yang kebetulan ada di ruang persidangan langsung mengajukan protes ke Majelis Hakim. Di luar sidang, kepada wartawan RO. Tambunan menyerukan agar ketua PN Jakarta Pusat mengganti Gatam Taridi dari kapasitasnya sebagai ketua majelis hakim dalam perkara itu. "KUHAP memungkinkan adanya pergantian ketua majelis. Apalagi jika ada gelagat hakim tidak menghargai hak terdakwa," ungkapnya.
Selain itu, di semua ruang persidangan, TPDI sebagai penasehat hukum terdakwa tidak diberi kesempatan menyampaikan duplik secara lisan. Majelis hakim hanya memberi kesempatan kepada TPDI untuk membuat surat penangguhan penahanan terdakwa. Memang, dalam sidang yang dihadiri ratusan aktifis PDI pendukung Megawati itu, para terdakwa dan massa yang hadir di persidangan tetap meneriakkan yel-yel Megawati. Aura perlawanan menyeruak diantara ratusan massa dan 64 terdakwa. Mereka, sebagaimana diungkap salah satu pengunjung sidang, belum bisa menerima secara akal sehat, kenapa mereka yang menjadi korban penyerbuan diadili, sementara massa yang menamakan Pendukung Konggres Medan dibiarkan raib begitu saja. Padahal merekalah biang terjadi- nya kasus kerusuhan 27 Juli. Bukan PRD atau siapapun yang dijagal untuk dijadikan korban konspirasi elite kekuasaan dalam kasus penjegalan Mega, termasuk 124 aktifis PDI yang kini diadili di PN Jakarta Pusat ini.
Seusai sidang, saat para terdakwa memasuki mobil tahanan massa berkerumun mendekat dan menggedor-gedor bodi mobil dengan yel-yel hidup Mega. Sopirnya panik. Karena panik ia langsung tancap gas. Rupanya ia lupa, pintu mobilnya belum terkunci. Karena lalai, Wakapolsek Gambir, Kapt. Pol. Mulyono mengejarnya sendirian. Sedang anggota Brimob yang berkerumun di pelataran tetap adem ayem saja. Nampaknya tidak ada koordinasi antara Polres Metro Jakarta Pusat dan Satuan Brimob. Melihat komandan- nya kalang kabut, anak buah Kapten Mulyono ikut mengejar. Sopir tetap tancap gas. Namun ia dicegat anggota Polres Metro yang berjaga-jaga di jalanan. Hampir saja ia terkena bogem mentah Mulyono kalau saja emosinya tidak diredam anak buahnya. Toh begitu, sopir mobil tahanan itu sempat kena ludah petugas berpakaian sipil
Rabu, 23 Oktober 1996,
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim A Gatam Taridi diwarnai protes oleh penasehat hukum Trimedya Panjaitan dari TPDI. Setelah hakim membuka sidang, Tri Medya langsung menyampaikan surat pengunduran diri, sebagai protes belum digantinya A. Gatam Taridi sebagai ketua majelis hakim. "Berhubung surat permohonan kami kepada ketua Pengadilan Negeri Jakart Pusat mengenai usulan mengganti ketua majelis hakim yang mengadili terdakwa dalam perkara ini belum dipenuhi maka secara resmi saya menyatakan mundur sebagai penasehat hukum dalam sidang ini," ucapnya seraya meninggalkan ruang sidang. Sedang terdakwa, melakukan protes dengan aksi bungkam. Namun ketua majelis hakim tetap melanjutkan persidangan.
Dalam persidangan itu dibacakan putusan sela dari masing-masing majelis hakim. Pada intinya, majelis hakim menolak eksepsi yang disusun TPDI. Alasannya, dakwaan jaksa terhadap terdakwa memiliki kekuatan hukum sehingga sidang harus dilanjutkan. Selain itu, majelis hakim juga menolak permohonan penangguhan penahanan. Maka, selama sidang belum selesai para terdakwa diharuskan menginap di rumah tahanan negara. Setelah palu hakim diketuk, para terdakwa yang tidak puas dengan keputusan sela ini mulai berteriak-teriak. "Hakim tidak adil, pengadilan telah direkayasa. Kenapa kami yang diserang, kami yang diadili. Kenapa bukan pendukung Soerjadi!" teriak terdakwa. Dan Permadi yang hadir di persidangan dan sejumlah pengacara TPDI ikut menenangkan para terdakwa yang merasa dikebiri hak-haknya. Kepada Permadi satu diantara terdakwa mengungkap, ia mau mengikuti prosedur persidangan, asal dilakukan sebagaimana mestinya. "Dihukum matipun kami bersedia, kami tidak takut mati, yang kami inginkan keadilan,'' ucap satu diantaranya.
Di ruang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Hj. Nurhayati, Amartiwi Saleh dari TPDI ditolak ketua majelis hakim untuk menjadi tim penasehat hukum terdakwa. Pengacara perempuan ini pun dipersilakan meninggalkan bangku yang disediakan untuk penasehat hukum. Maka Amartiwi Saleh beringsut ke deretan kursi pengunjung. Memang, dalam persidangan yang dinilai banyak khalayak tidak fair ini, berlangsung ricuh. Sidang terkesan dikebut. Tanpa alasan yang jelas, majelis hakim menerima dakwaan jaksa penuntut, kendati di sana banyak ditemui logika yang kacau. Diantaranya dengan pene- rapan Pasal 170 ayat 1 dan 2 (1) KUHP yang semestinya diberlaku- kan untuk massa penyerbu. Karena diperlakukan tidak adil, terdakwa sulit menekan emosinya hingga RO. Tambunan harus turun untuk menenangkan, baik terdakwa maupun massa PDI yang nampak memenuhi ruangan sidang. "Kalian harus sabar, perjuangan kita masih.panjang. Kita tetap mencari keadilan," uJar RO. Tambunan.
Kamis, 24 Oktober 1996
Dalam sidang yang mengadili kelompok 11 (60 terdakwa) ini, sebagaimana persidangan sebelumnya, kelima majelis hakim juga menolak eksepsi dan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan TPDI. Majelis hakim menjelaskan, "para terdakwa dalam pembuatan BAP di Polda Metro Jaya menolak didampingi pengacara. Dakwaan jaksa sudah jelas dan sempurna. Sehingga hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan'" ujar Hakim Asmar Ismail. Pernyataan ini, kata anggota TPDI jelas mengabai- kan beberapa fakta yang diajukan TPDI dalam eksepsinya. Diantaranya dalam proses pemeriksaan yang berlangsung secara tidak transparan, serta adanya bujukan, intimidasi dan tekanan sehingga ada dari sebagian terdakwa yang terpaksa menanda- tangani surat pernyataan untuk tidak didampingi penasehat hukum. Sementara, RO. Tambunan kepada wartawan mengatakan sebenarnya yang menjadi pokok persoalan selama ini Soerjadi, dalang pemicu kerusuhan tersebut tidak bis dimeja-hijaukan. Sebenarnya tidak ada kesulitan politik dari pemerintah untuk meminta pertanggung-jawaban darinya. Namun, sampai sekarang tidak ada tinda lanjutnya.
Dalam persidangan itu juga diumumkan oleh majelis hakim, mulai minggu depan sidang kasus 27 Juli diintensifkan menjadi seminggu dua kali. Sidang untuk kelompok 60 terdakwa dilakukan setiap Senin dan Kamis. Seda untuk kelompok 64 terdakwa, sidang dilakukan tiap Selasa dan Rabu.
Senin, 28 Oktober 1996
Sejumlah anggota polisi didengar kesaksiannya. Diantaranya Waka Brimob Polda Metro Jaya, Mayor Sunaryo, I Made Wiranata, Rahmani, Soeharto, Sri Wirianto, Wagiranto, Suwarno, Agus Purwanto dan Antonius Pasaribu. Dalam sidang itu, hadir 76 tersangka yang dibagi dalam 6 ruang. Masing-masing ruang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PA Sianipar, Atjok Sudarsono, Nurhayati, Gatam Taridi, Soehardjo dan Abbas Soemantri.
Dalam persidangan yang dihadiri ratusan massa pendukung Megawati itu, terungkap banyaknya kesenjangan antara keterangan saksi di BAP dan di persidangan. Disamping itu juga terdapat kejanggalan yang ditolerir majelis hakim, misal saat kesaksian Rahmani seusai kesaksian Soeharto. Padahal, saat Soeharto diperiksa Rahmani berada di ruang sidang. Sedang pertanyaan yang harus dia jawab sama dengan pertanyaan yang diajukan untuk Soeharto. Maka, TPDI dengan berbekal keterangan KUHAP yang menyatakan saksi harus berada di luar sidang sebelum memberi kesaksian, menolak ketika Rahmani akan diambil sumpah oleh majelis hakim. Namun protes TPDI tidak digubris majelis hakim dengan alasan yang janggal tapi seolah- olah masuk akal,menurut majelis hakim yang diketuai Abbas Soemantri, pemeriksaan kali ini untuk mencari kebenaran materi.
Kejanggalan keterangan saksi antara di BAP dan di persidangan, terkuak saat I Made Wiranata diancam melakukan sumpah palsu. Di BAP ia melihat peristiwa pengambil alihan kantor DPP PDI oleh kelompok pendukung Soerjadi pada pukul 06.00 WIB, padahal di persidangan ia mengaku datang ke TKP pukul 07.00 WIB. Pengakuannya ini sekaligus menggugurkan BAP. Karena dengan yakin saksi Wiranata baru berangkat dari markas bersama 100 orang lainnya pada pukul 06.00 WIB dan baru tiba di TKP sejam kemudian. Di TKP Wiranata mengaku terkena lemparan batu . Namun ia tidak tahu menahu mengenai maksud pengambil alihan kantor DPP PDl oleh kelompok Soerjadi dan maksud penangkapan terhadap pendukung Megawati.
Dalam sidang itu juga terkuak kebohongan polisi. Saksi Soeharto, anggota Brimob, mengaku tidak hanya menangkap pendukung Megawati. Namun juga menangkap sebagian pendukung Soerjadi. Jawaban itu segera dijawab serempak oleh terdakwa Firzen Saleh dan 11 rekannya "Tidak benar itu. Tidak satupun massa Soerjadi yang diangkut bersama kami ke polda," ujar terdakwa, Firzen juga menolak keterangan Soeharto yang menyatakan sebelumnya massa pendukung Megawati sudah diperingatkan untuk menghentikan aksinya membalas lempara dari luar.
Keterlibatan aparat keamanan dalam penyerbuan 2 Juli, secara implisit juga terkuak. Diantaranya keteranga saksi Soeharto yang menyatakan, pada saat terjadi saling lempar batu antara massa Soerjadi dan massa pendukung Megawati, saksi melihat sejumlah petugas ikut dalam menjebol pintu gerbang kantor DPP PDI. Selain itu, saat terdakwa menanyakan adakah saksi Rahmani - anggota polisi - melihat massa Soerjadi membakar bendera merah putih, saksi menjawab tidak tahu dengan alasan saat datan ke TKP keadaan sudah hangus. Jadi tidak tahu siapa pelaku pembakaran itu. Terdakwa juga menolak keterangan Rahmani. Saat ditanya TPDI, "Kenapa anda tidak mengamankan pendukung Soerjadi yang juga melakukan pelemparan terhadap pendukung Mega?" Saksi hanya menyatakan tidak ada instruksi dari atasan. Padahal, sebagaimana kesaksian Wagiranto - anggota polisi - saksi mengetahui pendukung Soerjadi juga melakukan pelemparan ke kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati. Bahkan, kalau diusut berdasar azas kausalitas (sebab akibat), pelemparan batu yang dilakukan terdakwa tidak akan pernah terjadi kalau sebelumnya tidak didahului penyerangan yang dilakukan oleh kubu Soerjadi.
Selasa, 29 Oktober 1996
Dalam persidangan ini, para saksi yang dihadirkan mengaku jauh dari lokasi. Sehingga mereka tidak melihat dengan jelas keberadaan terdakwa yang dituduh melakukan pelemparan terhadap massa Soerjadi dan dua anggota Brimob. Saksi juga tidak mengenali terdakwa, karena sangat banyak dan dengan pakaian yang mirip sama. Tentang barang bukti berupa senjata tajam dan batu, saksi mengaku tidak menangkap basah terdakwa, karena saksi tidak ikut masuk ke gedung DPP. Saat terjadi perang batu, saksi juga sulit memastikan, apakah batu yang dilempar dan mengenai anggota Brimob berasal dari kubu Soerjadi atau dari kubu Megawati.
Saksi Soeharto (anggota Polisi) dalam persidangan mengaku tidak tahu dari kelompok mana batu yang mengenai kepala anggota Brimob, kendati dalam BAP ia mengaku melihat dengan baik siapa yang melempar batu. Tentang barang bukti, saksi baru mengetahuinya setelah barang-barang itu dikumpulkan petugas. Sedang Supandio dengan tegas bersaksi, ia melihat dua terdakwa melakukan pelemparan. Yaitu Ali Husin yang mengenakan baju hitam dan celana hitam serta Abdul Mansyur yang mengenakan kaos hitam dan celana hitam. Saat terdakwa ingin menyangkal mengenai pakaian yang dikenakannya hakim mencegah karena ada waktunya terdakwa membela diri. Menurut hakim, yang berhak menilai benar salahnya kesaksian adalah majelis hakim.
Di ruang empat, seorang anggota majelis hakim menyatakan, kasus ini berantakan sedari awal. Bahkan di depan wartawan ia menyatakan agar pernyataannya ditulis. Pasalnya, majelis hakim kesal karena jaksa penuntut umum tidak bisa menghadirkan saksi yang hari itu dijadwalkan memberi kesaksian.
Rabu, 30 Oktober 1996
Saat ditanya tentang siapa-siapa pendukung Megawati dan siapa- siapa pendukung Soerjadi, umumnya saksi menjawab dengan jawaban, tidak tahu, tidak ingat ata tidak tahu persis. Jawaban ini segera ditukas RO. Tambunan, saat hadir dalam sidang yang dipimpin A. Gatan Taridi. Ia dengan lantang menyerukan, agar saksi dikenai sanksi sumpah palsu, karena tidak konsisten antar keterangannya di BAP dan di persidangan. Namun majelis hakim tidak menggubris seruan RO. Tambunan, kendati pernyataan RO. Tambunan bisa dibuktikan secara materil
Kamis, 31 Oktober 1996
Saksi yang dihadirkan kembali memberi keterangan yang dinilai terdakwa bertolak belakang dengan logik kejadian. Misal kesaksian Suko Anggoro Triyanto - anggota polisi - yang mengaku berada di depan markas PDI. Padahal, "kalau saksi berada di depan markas PDI pasti jug kena lemparan batu," elak satu diantara terdakwa. Satu diantara terdakwa yang merasa tidak dikenal oleh saksi juga menolak kalau pada saat kejadian saksi mengenalnya Katanya, saksi baru mengenal terdakwa saat berada di Polda Metro Jaya. Bahkan terdakwa tidak merasa melempar batu, karena saat kejadian ia sembunyi di kolong meja.
Di ruang terpisah, Deddy Sentani yang adalah satu diantara dua saksi sipil dengan status memberatkan, mengaku semula ia bersama 200-an orang lainnya ditawar untuk menjaga sebidang tanah. Namun ternyata ia dibawa ke sebuah gedung lantai tiga, berdekatan dengan kantor; Polda Metro Jaya. Pagi harinya ia dan 200-an massa dengan diberi kaos merah dan ikat kepala. Selanjutnya dibawa oleh 10 buah truk ke kantor DPP PDI, jalan Diponegoro. Mereka dipaksa menyerang kantor itu. Saat didesak TPDI, Deddy Sentani semula mengaku diberi imbalan Rp. 15.000. Dalam penyerangan itu Deddy mengaku kena lemparan batu, begitu pengakuannya di hadapan Ketua Majelis Hakim Madnyono Widiatmadja.
Senin, 4 November 1996
Dalam persidangan ini diwarnai berbagai adegan. Diantaranya mengamuknya 76 terdakwa, sebagai protes atas terjadinya beberapa keganjilan. Disamping diwarnai letupan yang tidak sempat merembet menjadi kerusuhan, di ruang sidang terutama yang menghadirkan kesaksian Deddy Sentani diwarnai tawa pengunjung. Karena dengan lugu saksi ini menyatakan sebagai orang upahan dan tidak menyangka kalau disuruh menyerang kantor DPP PDI. Ia, seperti kesaksian sebelumnya, semula oleh orang yang bernama Tandjung direkrut untuk menjaga tanah. Orang-orang sekampungnya, di kawasan Kapuk, juga banyak yang ikut. Namun ia ternyata diinapkan di sebuah gedung samping markas Polda Metro Jaya. Dari gedung ini ia dan 200-an orang lainnya dibekali pakaian merah bertuliskan Pendukung "Kongres Medan". Kemudian diangkut dengan 10 truk dan dibenturkan dengan massa pendukung Mega. Semula ia hanya mengaku diupah Rp 15.000, kini ia mengaku diupah Rp 40.000.
Selasa, 5 November 1996
Secara terpisah, empat jaksa penuntut umum menyatakan kesaksian memberatkan dianggap cukup, sehingg beberapa saksi lainnya yang belum memberi keterangan di persidangan tidak perlu lagi dihadapkan untuk 4 terdakwa yang saat itu disidang. Pernyataan itu segera diprotes TPDI, karena dinilai merugikan hak-hak klien nya. "Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka saksi korban harus didengar kesaksiannya," kata Turman M. Panggabean, satu diantara pengacara TPDI. Untuk mendapatkan kebenaran materiil, kesaksian Deddy Sentan dan Nurcahyo harus didengar. Kedua kesaksian ini penting, karena dalam persidangan lain mereka dihadirkan dan dari mereka terkuak fakta-fakta yang sulit ditutup tutupi mengenai peristiwa 27 Juli, awal dari persoalan yang menjerat terdakwa berada di tempat ini.
Di ruang terpisah, dalam sidang yang dipimpin Madnyono, TPDI yang terdiri dari Max Junus Lamuda Pantas Nainggolan dan Terkelin Brahmana juga protes atas disetopnya kesaksian Deddy Sentani dan Nurcahyo. Berdasar KUHAP, ungkap mereka, saksi korban sebenar- nya harus terlebih dahulu diperiksa ketimbang saksi pelapor atau saksi lainnya. Namun, majelis hakim nampaknya dalam menangani perkara ini lebih berpijak pada intruksi dari atas ketimbang KUHAP. KUHAP hanya digunakan selama mendukung skenario persidangan. Bahkan, saat TPDI mengajukan masing-masing 10 saksi meringan- kan, majelis hakim hanya dengan berdasar pertimbangan surat edaran Mahkamah Agung, membatasinya hanya 5 orang.
Dalam persidangan ini masih didengar kesaksian dari polisi. Hari itu persidangan di ruang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sjoffinan Sumantri memeriksa kesaksian Kasatserse Polres Jakarta Pusat, Edward Syahpernong. Dalam kesaksiannya, Edward mengungkap kenapa massa yang di luar tidak ditangkap karena mereka mematuhi himbauan Wakapolres untuk bubar. Sedang massa yang di dalam tidak. Ia juga melihat asap dari dalam kantor itu. Namun keterangan ini segera dibantah para terdakwa. Menurut para terdakwa, asap itu berasal dari massa pendukung Soerjadi yang melempari bom molotov ke dalam gedung. "Kami tahu persis, karena kamilah yang mengambil air dari kamar mandi untuk memadamkan asap," kata seorang terdakwa.
Dalam sidang itu, TPDI merencanakan akan menghadirkan Megawati Soekarnoputri sebagai saksi meringankan.
Rabu, 6 November 1996
Delapan saksi meringankan dihadirkan TPDI dalam persidangan ini. Mereka yang dihadirkan, yaitu dr. Djarot E Subroto, H. Basir, Mulyono, Subakat, Anton S, Suparman, Hamdan Udin dan Irianto Sitompul. Dalam kesaksian mereka, terungkap, penyerbuan 27 Juli dilakukan dua babak. Babak pertama berlangsung sekitar pukul 06.15 hingga 07.30 WIB dan babak kedua berlangsung sekitar pukul 08.30 WIB. Subarkat mengaku melihat dengan mata kepala sendiri, ada bola api yang dilemparkan dari luar gedung DPP PDI. Di dalam, menurutnya sama sekali tidak terdapat bom molotov. Saat diserang dengan bola api, massa pendukung Mega tidak membalas. Bola api yang dilempar massa Soerjadi berhasil membakar spanduk, tenda, bendera merah putih dan panggung yang terdapat di pelataran kantor DPP PDI. Empat gigi Subarkat rontok karena terkena lemparan batu cornblock yang dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi.
Sedang dr. Djarot, tenaga kesehatan sukarelawan DPP PDI Megawati, di hadapan Ketua Majelis Hakim PA Sianipar mengatakan, melihat belasan orang pendukung Mega berlumur darah setelah kepala dan bagian tubuh lainnya terlempar batu. Sebelum petugas memerintahkan mengosongkan ruang, ia sempat menjahit luka- luka tiga korban. Korban yang luka-luka itu digiring ke truk. Katanya dibawa ke RSCM. Saat dicek ke sana korban tidak ditemukan. "Yang ada di rumah sakit itù hanya pasien yang digigit anjing," ujarnya memancing tawa pengunjung. Diantara 12 terdakwa yang dikenalinya, dr. Djarot hanya menunjuk Sandra. "Karena dia cantik dan genit," tambahnya
Dokter Djarot datang ke DPP saat terjadinya serangan babak ke-2. Ketika memasuki kantor DPP, setelah lolos dari pagar betis petugas, dr. Djarot merasa menginjak dua sosok tubuh yang sudah tidak bereaksi di dalam gedung. Keadaan di dalam gelap. Melihat banyaknya petugas yang mengawal pagar kantor DPP, saksi tidak menyangka kalau massa Soerjadi yang berseragam merah hitam menerobos barikade dan memasuki gedung tanpa dihalangi petugas. Baik dr. Djarot, Anton, maupun Subarkat menegaskan tidak mendengar ada peringatan dari petugas dengan meng-gunakan megaphone, yang memerintahkan agar massa yang berada di dalam gedung DPP PDI membubarkan diri. Lemparan batu sempat terhenti saat negosisasi antara wakil massa yang berada dalam gedung dengan petugas, namun usai negoisasi lemparan batu kembali berulang.
Kamis, 7 November 1996
Sidang mendengar kesaksian, diantaranya: Imam Mahmudi (28), simpatisan PDI Jawa Timur; Efendi, Komandan Satgas Posko Jakarta Utara dan Azis Buang, Wakil Ketua DPD PDI Jakarta. Dalam kesaksiannya, Imam Mahmudi menolak sebongkah batu yang diperlihatkan jaksa sebagai barang bukti. Namun batu cornblock yang diperlihatkan, memang serupa dengan batu yang digunakan dalam tawur 27 Juli. "Batu yang ini tidak ada, pak!" ujarnya seraya menyingkirkan sebongkah batu berwarna putih kehitam-hitaman yang ditunjukkan jaksa dalam sidang yang dipimpin Hakim Asmar Ismail. Atas pertanyaan TPDI, saksi mengakui hanya pecahan corn- block yang digunakan untuk melempari massa PDI pendukung Megawati Soekarnoputri. Meski dilempari batu, massa yang di dalam tidak membalas. Karena Pak Muslim, Komandan Satgas DPP PDI Mega menyerukan, "kita jangan melempar batu. Biar kita mati di dalam. Biar saja, ucapnya menirukan komandan satgas. Massa di dalam patuh. Dan mereka hanya bersembunyi.
Sedang Effendi yang bersaksi di hadapan Hakim Madnyono, menerangkan, saat terjadinya perebutan kantor itu ia melihat seseorang berbaju merah menusuk dada kanan salah seorang massa PDI yang berada di dalam DPP. Ia yakin, pelakunya massa berbaju merah yang ikut nimbrung aparat memasuki gedung DPP. Tentang isu penyerbuan, Effendi sudah mendengar sejak Jum'at (26/7) malam. Maka malam itu ia begadang. Diperkirakan penyerbuan akan berlangsung antara pukul satu hingga puLul tiga dini hari.
Ternyata serangan itu baru terlaksana pagi harinya. Saksi juga melihat, berdasar pengamatannya atas tanda pangkat dan badge nama, Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar berada diantara petugas yang bergabung dengan massa penyerbu. Saat diuji jaksa tentang penglihatannya, Effendi ternyata bisa membaca badge nama jaksa dalam jarak 6 meter. Pengunjung sidang bertepuk riuh.
Azis Buang bersaksi di hadapan Ketua Majelis Hakim Madnyono, saat massa berbaju merah ikut menjebol pintu I halaman gedung DPP ia segera menemui Kapolres untuk negosiasi. Dalam per- cakapan sekitar 15 menit, Kapolres meminta agar massa yang di dalam gedung mengosongkan gedung. Namun permintaan itu ditolak Azis, dengan alasan perintah pengosongan gedung bukan urusannya. "Itu kewenangan Ibu Mega," katanya.
Senin, 11 November 1996
Pengunjung sidang membludak. Hari itu sidang mendengar kesaksian Megawati Soekarnoputri, ketua DPP PDI periode 1993-1998. Dalam kesaksiannya yang berlangsung selama 30 menit, Ibu Mega, begitu ia akrab dipanggil massa pendukungnya menjelaskan bahwa ia tahu akan terjadinya pengambilalihan dengan kekerasan sejak dua hari sebelumnya. Informasi itu ia terima melalui telepon oleh orang penting yang tidak ia sebut identitasnya. "Ini demi kehormatan dan keselamatannya," ungkap Mega. Orang itu, ungkapnya, mengisyaratkan akan terjadinya kekerasan. "Saya bilang itu jangan sampai terjadi, karena akan menimbulkan tragedi nasional," pintanya. Namun orang penting itu tidak bisa berbuat banyak untuk menggagalkannya.
Informasi orang penting itu ternyata benar. Pada 27 Juli 1996, sekitar pukul 07.00 WIB ia mendapat telepon bahwa kantornya diserbu massa pendukung Soerjadi. Di telepon terdengar suara hiruk pikuk, pertanda adanya kerusuhan. Mendengar itu ia bermaksud ke kantor, namun si penelepon mencegahnya dan selanjutnya sambungan terputus. Tidak lama kemudian ia ditelepon Sandra. Melalui perempuan ini, Mega memerintahkan anggota PDI yang ada di kantor itu untuk tidak melakukan tindak kekerasan sampai masalahnya dapat terselesaikan. Selang tidak berapa lama, Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar Nataprawira meneleponnya. Menginginkan agar kantor DPP PDI dinyatakan status-quo, dikosongkan. Sebelum sempat menjawab telepon terputus. Padahal Mega ingin menjawab, "Status-quo yang saya inginkan adalah orang di luar tidak boleh masuk, dan orang di dalam tetap di dalam untuk mempertahan- kan kantor DPP sampai ada pembicaraan," ungkapnya. Megawati datang ke PN Jakarta Pusat tepat pukul 10.00 WIB. Di sambut sekitar 2000-an massa PDI yang mengenakan pakaian merah hitam dengan menempelkan foto Megawati di dada. Ruang sidang penuh sesak, hingga terdakwa sulit memasukinya.
Selasa, 12 November 1996
Susilo Muslim dalam pemeriksaan keterangan terdakwa mengungkap, "Kami ditangkap tanpa surat penangkapan. Surat penangkapan baru kami ketahui setelah di Polda. Penyidik memperlakukan kami seperti tawanan. perang. Baju kami dibuka, tangan ditaruh di atas kepala dan kami disuruh berjongkok." Keterangan ini dibenarkan 11 terdakwa lainnya pada sidang dihadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Sutarno. Menurutnya, penyidik tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk didampingi penasehat hukum. Namun saat Komnas HAM datang, penyidik buru-buru menyatakan para terdakwa tidak bersedia didampingi penasehat hukum.
Keterangan ini dibenarkan Arafah. Oleh karenanya ia mencabut keterangan dalam BAP. Alasannya, BAP itu dibuat saat terdakwa dalam kondisi tidak normal dan berada di bawah tekanan. "Kami menolak keterangan di BAP, karena tidak didampingi pengacara. Di Polda Metro Jaya kami juga dibujuk akan dibebaskan dalam tiga hari sesudah memberi keterangan," ucapnya. Memang, dalam per-sidangan hari itu semua terdakwa mencabut keterangan dalam BAP, dengan alasan selain tanpa didampingi penasehat hukum dalam pembuatannya mereka terkecoh janji petugas penyidik yang katanya akan membebaskan mereka sesegera mungkin setelah memberi keterangan. Selain itu ada pula terdakwa yang menanda- tangani sebelum membaca keseluruhan isi BAP.
Rabu, 13 November 1996
Dalam keterangannya di hadapan Ketua Majelis Hakim P.A. Sianipar, Sandra sempat menolong seseorang yang sekarat. Ketika dibawa ke pos kesehatan, orang itu masih bernapas. Bahkan masih berkata rela berjuang untuk Ibu Megawati. "Saya hanya mengurut dan meminta- nya istighfar," urai Sandra. Ia tidak sempat lagi mengurusnya karena korban yang lain berdatangan. Namun ia kembali melongok orang itu, ternyata sudah tidak bernapas. Sandra selanjutnya tidak tahu bagai- mana nasibnya, karena ia sendiri keburu diamankan petugas.
Disamping keterangan Sandra, di ruang lain yang dipimpin Hakim A. Gatam Taridi, Terdakwa Arnoldus Noldy mengaku melihat Buttu Hutapea. Ia mengungkap, Buttu saat itu mengenakan jas merah, celana panjang hitam dan topi hitam dengan lambang kepala banteng. Nampak berdiri lebih tinggi diantara massa berkaos merah dan aparat yang berada di sekelilingnya. Keterangan Noldy dibenarkan terdakwa Sumartono. Bahkan, Buttu tidak sekedar berdiri. Namun juga berpidato. Ya, saat itu Buttu berteriak, "Bunuh PKI-PKI yang berada di dalam gedung".
Sedang di ruang yang dipimpin Hakim Madnyono, terjadi peristiwa menarik saat hakim menginterogasi pemikiran terdakwa. "Apakah kalian menyesal hingga bisa disidang begini." Namun Terdakwa Ahmad Nurholil dan Muhamad Soleh menjawab, kalau untuk membela Megawati Soekarnoputri kami tidak menyesal. Hakim mengejar, bukan masalah Megawati tapi masalah pribadi terdakwa, dan dengan cerdik terdakwa menyahut yang kami sesalkan kenapa aparat dan pendukung Soerjadi tidak diadili. Untuk jaga wibawa, Hakim Madnyono sebelum mengetuk palu mengucap, "Saya tidak mengadili aparat dan pendukung Soerjadi. Yang saya adili adalah kalian."
Kamis, 14 November 1996
Dalam tuntutannya, Jaksa Fauzi Yunus, M Yusu Shariefudin Sham dan Toni Spontana serempak menunt bebas 4 terdakwa. Mereka yang dituntut bebas yaitu: Dadan alias Kebo, Daim bin Abas, Soekartono Widjojo dan Ray Maringin Tampubolon. Seorang terdakwa, Abdurahma dituntut 2 bulan penjara. Sementara 44 terdakwa lainny yang disidangkan hari itu masing-masing dituntut 4,5 bula penjara.. Dalam tuntutannya, jaksa menjelaskan 49 da 124 terdakwa kasus 27 Juli tidak terbukti melakukan tindak kekerasan yang mengakibatkan orang lain terluka Namun mereka terbukti tidak mengindahkan peringata petugas supaya me- ninggalkan kantor DPP PDI.
Selain itu, masing-masing terdakwa dimintakan ke majelis hakim agar diberi sanksi untuk dibebani biaya perkara. Dari tuntutan keempat jaksa dua jaksa meminta terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.000 per orang, sementara 2 jaksa lainnya menuntut lebih murah, masing- masing dikenai Rp 500. Faktor yang memberatkan, menurut jaksa, mereka tidak menyesali perbuatannya. Sedang yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum. Begitu mendengar tuntutan bebas, seusai sidang Sukartono langsung meluncur ke halte bis dengan senyum sumringah.
Jum'at, 15 November 1996
Dengan pertimbangan yang sama, Jaksa Penuntut Umum Y Mere, J Kamaru dan Lukimanto menuntut 37 terdakwa kasus 27 Juli dengan 4,5 bulan penjara. Hal yang memberatkan, para terdakwa dinilai memberi keterangan berbelit-belit, menyangkal keterangan di BAP serta tidak ada penyesalan. Sedang hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum. Untuk itu, jaksa juga menuntut agar terdakwa dikenai biaya perkara, masing-masing Rp 1000. Barang bukti yang disita agar tetap dilampirkan untuk digunakan dalam perkara yang lain.
Senin, 18 November 1996
Dua terdakwa, masing-masing Reonaldo dan Thomas Wakijo dituntut bebas. Keduanya tidak terbukti melanggar Pasal 170 ayat 1 dan 2 (1) serta Pasal 218 Jo Pasal 55 ayat 1 (1) KUHP. Reonaldo berada di kantor DPP tidak ada tujuan politis, selain menjajakan tikar dan kaos untuk membiayai sekolahnya di Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP). Sedang 34 terdakwa lainnya dituntut seperti terdakwa lainnya: 4,5 bulan penjara. Dalam sidang itu paPa terdakwa tetap memasang foto Megawati di dada.
Bahkan mereka tidak puas dengan tuntutan Jaksa. Katanya, mereka tidak bersalah, karena sudah kewajiban kader partai untuk menjaga sekretariatnya dari ancaman penyerbuan. "Kami yang diserang, tapi kenapa kami yang dihukum. Bagaimana dengan pendukung Soerjadi yang melakukan pe- nyerbuan?" teriak seorang terdakwa yang mengenakan pakaian kombinasi warna merah dan putih.
Selasa, 19November 1996
Di ruang sidang yang mengadili 23 diantara 12 terdakwa, TPDI meminta majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukuman. Sidang yang dihadiri Megawati Soekarnoputri itu padat dipenuhi simpatisan. Nampak Megawati dan RO. Tambunan berada di deret depan kursi pengunjung.
Dalam pleidoinya, TPDI menyoal bukti-bukti yang diajukan jaksa. Misal tentang megaphone yang katanya digunakan untuk membubarkan massa. Ternyata megaphone yang disebut jaksa itu milik Satgas DPP PDI dan dalam keadaan rusak, karenanya hanya digunakan bunyi alarmnya saja untuk membangunkan aktifis PDI yang menjaga sekretariat. Jadi, diragukan kebenarannya apa bila pernah digunakan Mayor Soenaryo untuk mengultimatum mereka yang ada di dalam sekretariat. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan. Nama baik terdakwa harus direhabilitasi sesuai dengan kemampuan kedudukan, martabat dan harkatnya di masyarakat.
"Ironis. Saya yang diserang, justru saya dan kawan-kawan yang diadili di sini. Padahal kami tidak melawan. Mereka yang menyerang tidak dijadikan tersangka," urai terdakwa Agus Widiarto dalam pembelaannya yang disampaikannya tersendiri. Pleidoi ini dibenarkan RO. Tambunan. Dengan melinangkan air mata ia berkata, kemana kelompok Soerjadi yang menyerbu kantor DPP Padahal, beberapa saksi melihat ada diantara mereka yan mengenakan baju merah dan ikut menyerbu. Belakangan hari, menurutnya, ternyata ada yang ikut melakukan penyidikan. Sambil terisak pula RO. Tambunan menegaskan, saat ini masih ada tembok arogansi kekuasaan.
Rabu, 20 November 1996
Dalam pleidoinya, TPDI menyoal barang bukti yang dihadirkan jaksa tidak sesuai dengan BAP. Diantaranya megaphone warna merah jambu yang ternyata rusak. Sedang megaphone warna krem adalah milik DPP PDI yang disita setelah kerusuhan. TPDI juga menyoal bambu runcing. Dalam BAP disebut 13, ternyata yang dihadirkan cuma satu. Sedang batu di BAP 137, sementara di persidangan hanya empat. Oleh karenanya, TPDI meminta agar terdakwa diputus bebas. TPDI juga menyoal adanya diskriminasi penegakan hukum. "Kenapa Soerjadi dan pendukunguya yang terbukti menyerang dan membuat orang lain terluka tidak dijangkau hukum?" ucap Terkelin.
Di samping itu, karena terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun, TPDI berpandangan mereka tidak perlu dihuku hingga jatuhnya putusan. Tapi lagi-lagi majelis hakim menolak penangguhan penahanan. "Soal tak terbukti melakukan perbuatan, itu baru pendapat jaksa. Jaksa boleh ngomong apa saja. Tetapi penangguhan penahanan sepenuhnya wewenang majelis," tegas Nurhayati
Kamis 22 November 1996
Dalam pembelaannya, Petrus Salestinus dari TPDI menegaskan, "Penempatan terdakwa sebagai korban dalam kasus ini adalah eror in persona sebagai akibat dari kenakalan Saudara Penuntut Umum. " Pelaku sebenarnya yang mestinya dikenai dakwaan oleh jaksa, tidak lain massa pendukung Soerjadi yang terbukti telah mengakibatkan adanya 5 korban meninggal, 23 hilang dan 140 terluka Merekalah yang menggunakan senjata pentungan dan batu. Oleh karenanya, majelis hakim harus membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.
Menurut Terdakwa S. Martalena Hutagalung dalam sidang yang dipimpin Atjo Darsono, sebelum kejadian 27 Juli keadaan ceria karena ribuan orang yang datang ke DPP membawa damai dan harapan cerah di masa depan. Satu dengan yang lain saling berbagi rasa. Terbangkan cita-cita yang selama ini dibungkam tirani kekuasaan, baik fisik maupun mental. Kemerdekaan itu hak segala bangsa, dan hak seluruh rakyat Indonesia yang dijamin keberadaan- nya, oleh Pasal 28 UUD 1945. Oleh karenanya, ia yang berada di tengah keceriaan cita-cita pembebasan itu harus dibebaskan dari segala tuntutan.
Rabu, 27November 1996
Setelah sidang yang berlangsung secara maraton dan melelahkan, majelis hakim akhirnya secara bersamaan memberi putusan terhadap 124 korban penyerbuan 27 Juli 1996. Diantara mereka 115 orang dikenai hukuman 4 bulan 3 hari, satu orang dikenai vonis 1 bulan 10 hari dan 8 lainnya dinyatakan bebas, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka yang divonis hukuman, kata majelis hakim, terbukti melanggar Pasal 218 jo Pasal 55 ayat 1 (1) KUHP yang berbunyi: secara bersama-sama berkerumun dengan sengaja tidak pergi setelah diperintahkan tiga kali oleh penguasa yang berwenang. Sedang bagi yang dibebaskan, hakim berkilah, saat ditangkap petugas, mereka (masing-masing bernama Marhendro bin Maksum, drh. Soekartono Widjojo, Daim bin Ambas, Raya Maringan Tampubolon, Dadang alias Kebo, Firzen Saleh, Reonaldo Harahap dan Joko Sukarno) berada di luar gedung DPP PDI, J1. Diponegoro 58 Jakarta Pusat.
Selain Wim Herman Tulis, semua terdakwa menyatakan banding. Luap kemarahan menyeruak hingga di luar sidang pengadilan. "Saya tidak banding karena saya tidak tahan: Kalaupun saya banding tetap saja direkayasa. Saya tidak tahan dengan tekanan-tekanan," ucap Wim Serentak semua penasehat hukum yang bergabung di TPDI melakukan banding. Alasan banding menurut Petrus Salestinu karena tim pembela berkeyakinan bahwa Pasal 218 KUHP tidak bisa dikenakan untuk menghukum terdakwa. Karena diantara mereka ada yang menjadi koordinator yan memang tinggal di situ, maupun ikut-ikutan, jelasnya Sedang RO. Tambunan mengulas, hukuman mereka bukan didasari oleh hukum tapi oleh lamanya masa penahanan Jadi disesuaikan dan pas, begitu putusan dijatuhka mereka keluar. Padahal mereka tidak terbukti secara meyakinkan telah melanggar Pasal 218.
Dalam persidangan itu, nampak Thomas Resmo membenturkan kepala ke dinding hingga berdarah. Ia tidak rela diputus hukuman 4 bulan 3 hari oleh majelis hakim. Bahkan Sandra Fertisari sempat ngamuk, tidak mengerti kenapa dihukum. Memang, para terdakwa umumnya marah karena memang merasa tidak bersalah "Saya di PDI kan bertugas sebagai Satgas," ucap Susil Muslim. Sedang yang lainnya tetap menuntut agar pendukung Soerjadi juga diadili. "Kami yang mencari keadilan justru jadi korban ketidakadilan," seru Agus. Sedang Arnoldus Noldy berteriak, "Saya saksi mata, dalam kerusuhan di kantor DPP ada yang dibunuh pakai sangkur ole pendukung Soerjadi!"
Dalam sidang itu juga terjadi keanehan, Thoma Wakidjo yang dituntut bebas dan telah menikmat penangguhan penahanan justru diputus 4 bulan 3 hari. Sementara Marhendro bin Maksum yang dituntut 4-bulan 2 minggu justru diputus bebas. Nasib Thomas Wakidjo sempat menjadi bahan polemik, apakah dia akan menjalani sisa masa penahanan atau tidak, sementara majelis hakin memerintahkan semua terdakwa dibebaskan setelah putusan dijatuhkan. Memang, banyak kejadian aneh dalan proses persidangan hingga jatuhnya putusan dalam perkara 27 Juli yang justru mengadili korban yang jelas jelas teraniaya oleh serbuan aparat keamanan dan pendukung Soerjadi.
Berdasar kronologi di atas, fakta persidangan yan terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama saksi memberatkan, kedua saksi meringankan, ketiga keterangan terdakwa, dan keempat barang bukti, dapat disimpulkan sebagai berikut:
A. Saksi Memberatkan (Saksid Charge)
Para saksi a charge ini hampir semuanya adalah aparat kepolisian dari berbagai kesatuan. Hanya dua yang benar-benar murni sebagai saksi korban, yaitu Deddy Sentani dan Nurcahyo yang tidak dimun-culkan di semua ruang persidangan. Dua warga kapuk ini (lihat fakta persidangan) tidak lagi dimunculkan dengan alasan jaksa penuntut umum merasa cukup dengan keterangan saksi memberatkan.
Para saksi dari kepolisian datang ke kantor DPP PDI atas perintah komandan masing-masing. Diantara mereka, kebanyakan berasal dari kesatuan Brimob yang langsung dipandu Wakabrimob Mayor (Pol) Soenaryo yang mengeraLkan 100 anggota. Menurut keterangan terdakwa, nampak diantara mereka Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar yang tidak ada dalam sederet saksi. Berikut ini rangkuman kesaksian mereka.
Saat tiba di tempat kejadian sudah terlihat tawuran massal antara yang berada di dalam dan di luar gedung. Pada waktu itu massa yang berada di luar berjumlah kurang lebih 100 orang. Mereka berpakaian warna- warni namur lebih banyak yang berpakaian hitam merah. Namun para petugas sama sekali tidak melerainya. Memang pada saat itu para saksi mengaku mendengar seruan dari Wadansal dan Kapolres yang isinya agar kedua belah pihak menghentikà n tindakan-nya.
Dalam kesaksiannya, para saksi menyebut lemparan batu berasal dari dalam yang diduduki orang-orang berpakaian merah (pendukung Mega). Akibat lemparan batu itu beberapa saksi ada yang terluka.
Para saksi mengakui berusaha masuk dengan cara kekerasan, yaitu merobohkan pintu pagar DPP PDI. Setelah pintu pagar roboh yang pertama masuk ke pekarangan kantor DPP adalah satuan Brimob. Namun, mereka jugä melihat massa yang diluar ikut masuk ke dalam. Pada saat itulah terlihat dari kubu Soerjadi ada yang melempar kaca gedung DPP hingga menyebabkan kerusakan. Saat berada di dalam saksi mengaku melihat ada banyak orang yang luka terkena lemparan. Namun mereka sama sekali tidak melakukan perlawanan.
Kendati saksi tidak melakukan penangkapan, namun dapat menjelaskan ditangkapnya massa Mega yaitu karena mereka melakukan pelemparan.
Saksi tidak tahu berapa truk yang digunakan mengangkut massa Soerjadi, walau begitu ia tahu yang digunakan adalah truk polisi. Saksi tahu ada korban namun tidak tahu dibawa kemana. Para saksi umumnya melihat spanduk dan motor yang terbakar akibat lemparan dari luar.
Para saksi mengaku melihat barang bukti ketika di Polda. Dan mereka tidak bisa memastikan apakah barang bukti tersebut digunakan terdakwa dan apakah barang bukti itu diambil dari luar atau dalam gedung.
Saksi mendengar seruan atasannya ditujukan untuk kedua belah pihak yang bertikai. Saksi tidak mengenal terdakwa dan tidak bisa menunjukkan siapa pelaku pelemparan.
8. Saksi Meringankan (A de Charge)
Para saksi a de charge ini umumnya telah berada di DPP PDI jauh hari sebelum penyerbuan berdarah yang dilakukan kubu Soerjadi. Mereka terdiri dari Satgas PDI, tim medis, serta simpatisan PDI.
Para saksi menyatakan bahwa penyerangan. yang dilakukan oleh kubu Soerjadi dilakukan dua kali. Serangan pertama terjadi sekitar pukul 06.15 sampai 07.30 WIB. Sedang serangan kedua pada sekitar pukul 08.15 hingga 09.00 WIB.
Pada saat serangan pertama para saksi melihat orang-orang berpakaian merah serta ikat kepala merah yang datang menggunakan lima buah truk. Diantara penyerang itu tampak Buttu Hutapea yang berdiri mengawasi jalannya penyerangan. Pada awalnya orang-orang tersebut berteriak "Hidup Mega", "Hidup Mega". Lantas tiba-tiba teriakan berganti dengan, "Keluar PKI!" disusul teriakan, "Serbu!" Bersamaan dengan itu terjadi lemparan batu dan bom molotov dari luar ke dalam. Akibatnya, menurut para saksi, banyak teman-teman saksi yang luka di sekujur tubuhnya.
Saat terjadi penyerangan, salah seorang saksi (Mahmud Basyir) men- dengar ocehan yang dilontarkan oleh penyerang, "Sialan Soerjadi, katanya ke sini untu kerja tapi kok ternyata begini!" saat orang itu berbalik tiba tiba dicegat orang berbaju hitam yang bilang, "Tidak bisa ! Kamu khan sudah dibayar!"
Serangan kedua diawali dengan lontaran gas air mata ke dalam pekarangan DPP. Kemudian, anggota Brimob secara bersama-sama menjejak pagar hingga roboh da masuk ke halaman diikuti pasukan merah sambil melempar batu ke arah dalam. Pasukan merah itu secara brutal memporak-porandakan gedung dan memukuli orang- orang yang berada di dalam. Saksi melihat beberapa temannya roboh di pintu tengah terkena sabetan pisau sangkur penyerbu.
Soal adanya korban yang luka parah dibenarkan oleh dr. Djarot. Menurut kesaksiannya ia sempat menginjak dua orang yang terbujur kaku di depan pintu masuk. Saat terinjak orang tersebut tidak bereaksi lagi. Saksi juga mengaku memberi pertolongan kepada tiga orang yang luka parah di bagian kepalanya akibat terkena lemparan batu dari luar.
Pada waktu terjadi penyerangan para saksi sama sekali tidak men- dengar seruan maupun peringata dengan pengeras suara dari pihak keamanan. Bahkan pihak keamanan tidak berusaha untuk melerai kejadian itu. Saksi juga menegaskan bahwa di halaman kantor DPP tidak pernah disediakan batu. Bila aparat kemanan melihat ada batu di pekarangan DPP itu dikarenakan lemparan dari luar yang dilakukan oleh penyerbu. Akibat penyerbuan itu menurut para saksi kantor DPP PDI hancur. Bendera, spanduk dan sebuah motor yang terletak di halaman terbakar habis. Selanjutnya para saksi itu menjelaskan bahwa pada saat Soerjadi melakukan penyerangan, para petugas keamanan samasekali tidak berusaha mencegahnya malah sebaliknya mereka bersikap melindungi dan memberikan kesempatan pada kubu Soerjadi tersebut.
C. Keterangan Terdakwa
Terdakwa semuanya berjumlah 124 orang. Mengingat jumlahnya yang terlalu banyak maka keterangan terdakwa pada bab ini adalah hasil suntingan.
Para terdakwa hampir semuanya berada di DPP PDI dalam tugas menjaga kantor DPP dari pengambilalihan secara paksa oleh kubu Soerjadi. Kedatangan terdakwa di DPP tanpa ada yang menyuruhnya apalagi dibayar. Semuanya itu dilakukan secara sukarela. Untuk menjaga DPP, para terdakwa mengaku mengetahui perintah dari Megawati Soekarnoputri untuk tidak melakukan kekerasan fisik dalam bentuk apapun.
Pagi itu sekitar pukul 06.15 WIB, para terdakwa yang masih beristirahat dan sedang menyiapkan makan pagi dikagetkan dengan adanya teriakan, "Keluar PKI!" oleh orang-orang yang mengenakan baju merah dan ikat kepala merah. Dengan beringas orang-orang itu melempar terdakwa yang ada di dalam. Bahkan beberepa diantara-nya tampak terlihat melempar bom molotov. Mendapat serangan mendadak tersebut beberapa terdakwa mengaku bingung dan lari ke dalam kantor kendati ada juga yang membalas serangan tersebut. Akibat serangan itu kaca kantor DPP pecah, bendera merah putih dan beberapa spanduk terbakar.
Serangan kembali dilakukan oleh kubu Soerjad sekitar pukul 08.15 WIB. Kali ini keadaan sangat tidak imbang. Sebab, orang-orang yang berada di dalam banyak yang terluka akibat serangan pertama tadi. Terdakwa Jimmy Aryana mengaku sempat terjatuh saat mencoba menghindar dari serangan tersebut. Menurutnya, ada genangan darah di dalam kantor DPP. Baik serangan pertama maupun kedua, menurut terdakwa, polisi sama sekali tidak berusaha melerainya. Oleh karena itu para terdakwa mengaku tidak mendengar seruan ataupun perintah dari pihak kepolisian.
Tak lama kemudian aparat keamanan mendobrak pintu pagar DPP yang diikuti oleh orang-orang yang memakai baju merah. Orang-orang berbaju merah itu melakukan pemukulan serta berteriak, "PKI keluar". Terdakwa Joko Sukarno mengaku mendapat lemparan batu di seluruh tubuhnya hingga tak sadarkan diri. Hal ini diperkuat oleh keterangan terdakwa Darmadi bin Husni.
Kemudian para terdakwa di bawa keluar. Saat di. halaman DPP ter- dengar teriakan "Bunuh PKI". Terdakwa Jimmy Aryana melihat Buttu Hutapea pidato dan teriak "PKI". Ia juga melihat dari depan DPP datang truk yang mengangkut orang-orang berkaos merah. Tiba-tiba di truk itu mereka mengganti kaos merahnya menjadi kaos hitam bertuliskan BRIMOB.
Kemudian para terdakwa di bawa ke Polda Metro Jaya menggunakan truk dengan dikawal polisi anti huruhara. Sesampainya di Polda terdakwa disuruh buka baju dengan tangan di atas kepala. Selanjutnya para terdakwa dibawa ke penyidik dan dijadikan tersangka. Beberapa terdakwa sempat bertanya pada polisi, "Kami diserang kok dijadikan tersangka?" Dijawab oleh polisi, "hanya sebentar kok. Paling lama dua atau tiga hari lagi dilepas." Setelah selesai di periksa terdakwa diwajibkan untuk menandatangani BAP tersebut tanpa boleh mem- bacanya. Terdakwa yang coba tidak mau menandatangani BAP di- ancam akan disebut tahanan liar. Saat penyidikan terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum. Beberapa terdakwa juga tidak mengakui melakukan tindak pelemparan namun yang tertulis di BAP adalah sebaliknya. Untuk itu terdakwa menolak semua tuduhan jaksa.
D. Barang Bukti
Barang-barang bukti yang telah diajukan oleh Saudara Jaksa Penuntut Umum di persidangan, merupakan barang-barang yang dijadikan pembuktian yang diambil dari dalam gedung kantor DPP PDI di J1. Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat.
Adapun barang-barang yang katanya disita oleh aparat dan didaftarkan sebagai barang bukti dalam berkas perkara a quo adalah sebagai berikut:
O 24 (dua puluh empat) tongkat kayu. O 80 (delapan puluh) tongkat besi diikat tali hitam O 9 (sembilan) tongkat rotan. O 1 (satu) buah tombak kayu. O 1 (satu) buah tongkat besi ukuran besar warna biru O 13 (tiga belas) tongkat bambu runcing. O 2 (dua) buah samurai. O 2 (dua) buah cangkul. O 4 (empat) buah pisau. O 1 (satu) buah sabit/arit. O 1 (satu) buah kampak tidak bertangkai. O 1 (satu) buah gunting. O 2 (dua) buah golok. O 2 (dua) buah gergaji. O 1 (satu) buah martil. O 1 (satu) buah pistol mainan. O 7 (tujuh) buah jerigen plastik putih berisi bensin 1 liter. O 2 (dua) buah jerigen berisi bensin 4 liter. O 1 (satu) buah jerigen putih berisi bensin 30 liter. O 3 (tiga) buah jerigen plastik bensin masing-masing ukuran 30 liter seperenambelas bagian, ukuran 10 liter isi sepertiga bagian, ukuran 4 liter isi kosong, dan 1 botol plastik kecil berisi lem/perekat. O 63 (enam puluh tiga) pecahan konblok berukuran lebih kurang lima kali empat senti meter. O 74 (tujuh puluh empat) buah batu kali berdiameter lebih kurang empat sentimeter. O Sebuah Megaphone merek TOA warna merah jambu.
Apabila menilik dari keterangan para saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang nota bene adalah para anggota Polri yang bertugas di tempat kejadian saat itu, dimana para anggota Polri tersebut menyatakan bahwa antara kedua kelompok (yakni kelompok Megawati Soekarnoputri versus kelompok Drs. Soerjadi) telah terjadi "saling lempar", maka penjelasan yang paling rasional dan logis adalah bahwa barang bukti tersebut adalah milik massa penyerang (kelompok Drs. Soerjadi) yang berada diluar gedung kantor DPP PDI dan yang melakukan penyerangan.
Lemparan dari arah luar akan menyebabkan barang atau benda yang dilemparkan jatuh di dalam, begitu pula sebaliknya, barang atau benda yang dilemparkan dari arah dalam akan jatuh dan berada di luar.
Barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan oleh Saudara jaksa penuntut umum tegas-tegas dinyataka di persidangan oleh para saksi yang anggota Polri da yang mengumpulkan barang bukti tersebut, tegas-tegas menyatakan dalam kesaksiannya bahwa dikumpulkan "dari dalam gedung" yakni setelah anggota Polri da Brimob mendobrak masuk ke dalam gedung kantor DP PDI tersebut.
Hal tersebut memberikan satu indikasi rasiona adanya barang-barang tersebut didalam kantor DPP PD karena telah dilemparkan dari luar, sebagai salah satu alat dalam melakukan penyerangan secara fisik. Ja secara probilitas maka barang bukti yang diperlihatka dan diajukan dipersidangan, jelas-jelas bukan milik para terdakwa ataupun rekan-rekan para terdakwa lainny yang juga berada dalam gedung kantor DPP PDI tersebut.
Adalah wajar apabila para saksi yang disamping par anggota Polri yang bertugas ditempat kejadian, juga yan mengumpulkan barang-barang tersebut, tidak sulit untuk mengenalinya.
Bukan satu hal yang aneh apabila para tersangka tidak dapat mengenali barang-barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan dipersidangan, karena memang bukan milik mereka.
Yang sangat aneh penyitaan barang bukti megaphone merek TOA berwarna merah jambu yang disebutkan dalam Berita Acara Penyitaan tidak sesuai dengan barang bukti yang di persidangan.
***
(bersambung)