Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Raya Lenteng Agung 99
Jakarta - Selatan























PERJUANGAN MEREBUT BENTENG KEADILAN

Bagian IX

Menguak Misteri Penyerbuan

Berbagai versi tentang siapa pelaku (dan siapa yang berdiri dibalik kisah) penyerbuan, telah beredar luas menjadi buah bibir masyarakat. Kisah itu dapat diakses lewat internet, satu-satunya media yang sulit dikontrol pemerintah. Meski sisi kebenarannya secara hukum mungkin tidak sepenuhnya bisa dipertanggung- jawabkan, paling tidak informasi itu ibarat seteguk air di tengah gersangnya arus informasi yang (sejak peristiwa 27 Juli) terasa semakin ketat dikontrol penguasa. Bahkan seorang wartawan media cetak (untuk pertimbangan karir jurnalistiknya terpaksa tidak kami sebut medianya) mengeluh karena hasil investigasinya tidak boleh dimuat oleh pemimpin redaksinya.

Namun karena didorong rasa ingin tahu, siapa sih sebenarnya yang melakukan penyerbuan kantor DPP PDI yang kemudian dikenal dengan istilah Sabtu Kelabu itu? Berbagai informasi itu kami saring, kami cocokan dengan hasil investigasi dan studi kepustakaan, diantarany Buku Laporan HAM dari lembaga HAM Robert Kennedy Jr, buku Pantang Surut Langkah terbitan ISAI dan sejumlah sumber lain. Berbagai informasi yang beredar itu semakin menegaskan fakta, bahwa penyerbuan itu memang melibatkan (sebagaimana dalam pleidoi TPDI) kelompok Soerjadi dan petugas keamanan. Dan menariknya ada hal baru yang mungkin belum diketahui masyarakat luas. Ternyata si penyerbu sebagian besar mengaku terkecoh janji palsu, sebelum- nya sama sekali tidak tahu menahu akan didrop di jalan Diponegoro dan diadu dengan pendukung Mega yang ditugaskan partainya mempertahankan sekretariat dari gelagat penyerbuan kelompok Soerjadi yang sebelumnya dilansir pers secara besar- besaran.

Selengkapnya ikuti laporan yang kami bagi dalam dua bagian: bagian A. Kesaksian penyerbu dan bagian B Kesaksian tiga pendukung Megawati yang berada di lokasi saat terjadi kerusuhan 27 Juli.

A. TERKECOH JANJI PALSU

Misteri 'pasukan' Soerjadi yang menghilang kini terkuak. Berdasar investigasi serta data -baik primer maupun sekunder- yang berhasil kami kumpulkan, mereka bukan massa yang benar-benar loyal ter- hadap kepemimpinan Soerjadi. Bahkan sebagian besar diantaranya, kendati mengaku diupahi Rp 40.000 per orang (bukti ini diperkat kesaksian Deddy Sentani di PN Jakarta Pusat) mereka, menyesal telah (menurut istilah mereka) diperalat orang-orang besar.

Sebagian besar diantara penyerbu, terdiri dari ratusan rakyat jelata yang sama sekali tidak tahu menahu tentang konflik PDI. Keter- libatan mereka dalam penyerbuan 'Sabtu Berdarah' sebenarnya karena terkecoh janji-janji yang sama sekali tidak berkait urusan politik. Mereka diambil dari beberapa tempat di Jakarta. Berdasar data yang terkumpul mereka berasal dari Pasar Induk Kramatjati, Jembatan Dua, Muara Angke, dan Kapuk, Cengkareng. Umumnya mereka berprofesi pekerja informal. Diantaranya buruh lepas, tukang parkir, pedagang kecil dan keamanan kampung. Beberapa preman juga dimanfaatkan. Misal preman Pasar Induk Kramatjati yang merasa dikecoh pengurus ormas di kawasan Pasar Induk.

Para preman dan buruh bongkar muat di Pasar Induk Kramatjati, sudah dikumpulkan sejak Jum'at (2517196) pukul 16.00 WIB. Dengan dikoordinir seorang tokoh ormas yang cukup disegani di kawasan itu, mereka (kurang lebih sekitar 200 orang) diangkut dengan tujuh buah mobil. Katanya akan diajak ke diskotik, nonton dangdut. Saat itu mereka menerima uang Rp 15.000 plus makan dan rokok. Tapi ternyata bukan alunan musik dan gemerlap lampu diskotik yang mereka rasakan. Mereka malah. dikumpulkan di sebuah gedung di belakang Polda Metro Jaya. Mereka pun diberi kaos merah bertuliskan 'Pendukung Hasil Kongres IV Medan'. Beberapa yang sadar dirinya diperalat akhirnya berhasil meloloskan diri. Belakangan beredar kabar, kios milik si tokoh tadi dihancurkan para preman dan kuli yang merasa dibohongi.

Lain lagi cerita mereka yang tinggal di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Saat itu mereka ditawari pekerjaan oleh seseorang untuk menjaga sebidang tanah di daerah Sentul, Bogor, dengan iming-iming uang sebesar Rp 70.000. Untuk ukuran mereka (yang sehari-harinya bekerja serabutan) uang sebesar itu begitu punya arti. Wajar saja, sebab kebanyakan warga yang tinggal disitu adalah buruh upahan yang hanya berpikir bagaimana ia dan keluarganya besok bisa makan, selebihnya disisihkan untuk kontrakan rumah dan sukur-sukur masih ada sisa untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Bahkan satu diantara warga Kapuk yang berhasil dibohongi itu tewas menjadi korban. Tetangga-tetangganya memanggil dengan sebutan Juju. Ia menambah daftar korban meninggal yang mungkin tidak akan pernah ada di catatan resmi pemerintah. Kata beberapa orang temannya Juju mati saat penyerbuan 27 Juli. Dadanya terkena lemparan batu. Sebelum dimakamkan, kata Abah (60 th) dan Ny. Riri (32), istri korban, pihak keluarga korban hanya mendapat santunan uang Rp 1.500.000 dan dua karung beras. Namun berasnya bau apek, sama sekali tidak bisa dimakan. Memang, karena miskin mereka mudah tergiur tawaran pekerjaan apapun.

Saat investigasi, wajah kemiskinan menyeruak diantara rumah petak yang berhimpit satu sama yang lain, Masing-masing petak berukuran 4 x 6. Kondisi di daerah ini sangat tidak layak untuk dihuni. Jalanannya becek. Tak jauh dari sana nampak gunungan sampah yang baunya sangat menyengat.

Selain itu ada pula kejadian menarik. Berdasar, kesaksian Ny Riri, Soerjadi datang menemuinya dan berjanji akan membiayai sekolah anak-anaknya. Berarti, Soerjadi memang aktor intelektual dibalik penyerbuan berdarah 27 Juli yang telah menimbulkan banyak korban. Sementara si penyerbu hanyalah orang-orang yang terkecoh janji- janji palsu. Maka tidak heran jika diantara penyerbu pada akhirnya sadar. "Mungkin karena orang menganggap orang: miskin itu selalu berbuat jahat, ya.... Lantas orang yang punya duit itu datang dan menyuruh kami berbuat jahat," ungkap Zubet, satu diantara penyerbu.

Setelah tahu dirinya diperalat, pada umumnya mereka sangat menyesal. "Kalau tahu begini terus terang saya tak mau ikut," ujar Yusuf. "Dibayar sejuta pun saya ogah," sambung Idang, rekannya yang sehari-harinya menjadi keamanan kampung di kawasan Kapuk. Bahkan banyak diantara mereka yang stres lantaran merasa berdosa telah melakukan perbuatan yang biadab itu. Yusuf, salah seorang penyerbu, bercerita bahwa malam setelah penyerbuan ia bermimpi bertemu dengan Fatmawati, Istri Proklamator RI Bung Karno. Dalam mimpinya Bu Fat --panggilan almarhumah - wanti-wanti agar ia tidak ikut-ikutan. Lantas ia pun meminta maaf dan bersalaman dengan Megawati.

Mereka juga tidak mengira, apa yang diperbuat akan berbuntut kerusuhan yang meluas pada sore harinya. Saat sedang ramai- ramainya nama PRD (Partai Rakyat Demokratik) dituding sebagai dalang kerusuhan oleh pemerintah, hati mereka pun menjadi was- was. Mereka mengira yang dimaksud PRD oleh pemerintah adalah dirinya. Akibatnya banyak yang kemudian menghilang untuk ber- sembunyi lantaran takut dituduh PRD.

Pengakuan mereka pada umumnya mempertegas kesaksian 124 korban 27 Juli yang tiga diantaranya dicakupkan dalam beberapa kesaksian yang sebagian besar dirangkum dari pihak penyerbu. Berikut pengakuan dari beberapa penyerbu (bermukim di daerah Kapuk) dan korban 27 Juli. Tulisan serupa pernah dimuat di tabloid Adil. Untuk menjaga keselamatan mereka, semua identitas penyerbu terpaksa kami samarkan.

Idang (Petugas Keamanan Kampung)

Kisahnya bermula pada Kamis pagi, 25 Juli 1996, ketika di perkampungan kumuh itu muncul orang bernama Hartono dan Ragiman. Keduanya mendatangi saya, orang itu mengaku mem- butuhkan banyak orang untuk mengamankan 400 hektar tanah yang sedang dalam sengketa di Sentul, Bogor. Kalau ada yang mau, upahnya per malam Rp 20.000. Bila siangnya mau kerja, akan diberi imbalan Rp 70.000.

Jelas tawaran itu sangat menggiurkan. Maka, saya pun segera mendatangi tetangga dan menyodorkan tawaran itu. Kamis pagi itu juga, ada sekitar 50 orang menyediakan diri. Maklum, sebagian besar penduduk di daerah saya adalah buruh lepas yang selalu butuh pekerjaan.

Selanjutnya, kami disuruh berkumpul di sebuah pasar, masih di Kelurahan Kapuk. Sekitar pukul 11.00 siang, kami dibawa ke Cengkareng Kota. Ternyata di sana sudah berkumpul sekitar 300-an orang. Saat terdengarAdzan Maghrib, semua yang ada disitu diangkut dengan tujuh kendaraan kecil, menuju arena Balap Sepeda Pulomas, Jakarta Timur. Dan di arena itu, bergabung dengan 200-an orang yang mengaku berasal dari Cibubur, Tanjung Priok, Kramatjati, Jelambar, Jembatan Besi dan Jembatan Tiga.

Hingga tengah malam tak kunjung ada komando. Apa yang mesti kami kerjakan tak jelas. Semuanya hanya duduk-duduk, saling bertanya asal masing-masing. Sepertinya kami tak diurus. Ya, akhirnya teman-teman banyak yang pulang Jumat pagi (26/7), tinggal 30 orang yang tersisa. Masing-masing lantas diberi Rp 20.000 untuk pulang, termasuk saya.

Jumat malam ada perintah lagi agar orang-orang yang tadinyaa ikut ke Pulomas berkumpul lagi di pasar. Maka sayapun mengum- pulkan teman-teman yang lain. Sekitar puku 22.00 WIB, dengan menggunakan delapan mobil kecil, kami diangkut ke Gedung Artha Graha, jalan Sudirman. Nah di basement gedung itulah, kami dikumpulkan. Dan seperti halnya di Pulomas, di situ sudah ada banyak orang Kira-kira ada 500-an orang.

Malam itu yang ada disitu dijamu makanan dan minuman secara berlebihan. Tapi, toh mereka masih bertanya-tanya, kenapa sampai malam belum juga diberangkatkan ke lokasi tanah sengketa. Semua cuma bisa menggerutu, lantas tidur.

Sekitar pukul 04.00 WIB Sabtu 27/7, mendadak semua dibangunkan. Disuruh berbaris, dan dibagi dalam delapan kelompok. Masing- masing kelompok, dikawal oleh beberapa petugas yang tak jelas asal kesatuan dan pangkatnya. Kebanyakan dari kami heran, kok disuruh memakai kaos merah bertuliskan 'PDI Pendukung Kongres'.

Begitu jam menunjuk angka setengah enam pagi, terdengar perintah agar kami naik ke tujuh truk dan satu bus. Konvoi segera melesat menembus pagi. Pada waktu itu semua bingung. Kalau mau jaga tanah saja masak mesti dikawal tentara, mana semua lampu merah diterjang, lagi.

Kendaraan yang membawa kami akhirnya berhenti di jalan Diponegoro. Jam menunjuk angka 6 ketika itu. Segera semua diperintahkan turun. Kami disuruh berbaris dan berjalan mendekati Kantor DPP PDI. Sampai saat itu saya belum tahu apa yang sebenarnya mesti diperbuat. Wong perjanjiannya untuk menjaga tanah, kok!.

Ketika terdengar aba-aba, "Serbuuu!", perang batu antara barisan penyerbu dengan orang yang ada di halaman kantor pun terjadi. Dalam situasi seperti itu, teman saya yang bernama Sujarwo bertanya kepada seorang petugas. "Katanya disuruh menjaga tanah sengketa, Pak. Kok dibawa ke mari?" Jawaban petugas itu begitu mengecewakan. ''Nglemparin batu kan kerja? Kamu mau nuntut pemerintah, hah!" teman saya pun lantas diam.

Saat itu kami tak punya pilihan. Sebenarnya ingin lari saja. Tapi di belakang kami jalan sudah tertutup barisan petugas lengkap dengan senjatanya. Lha, kalau kami diam di situ, nasib saya kann bisa seperti Juju (penyerbu yang tewas tapi oleh pemerintah disebut kena serangan jantung). Saat itu kami dihadapkan pada pilihan yang sama sulitnya. Mundur takut kena tembak, maju terus, orang-orang di halaman kantor sudah mengacungkan tombak.

Akhirnya, banyak orang di barisan penyerbu roboh diterjang batu. Termasuk Juju yang mendadak roboh dan pingsan setelah batu menerjang punggungnya. Situasi memang betul-betul menegangkan. "Semua yang berkaos merah mundur!" terdengar suara perintah menggema Semua mundur. Lantas giliran pasukan berseragam hitam yang maju.

Pasukan itulah yang mendorong pagar kantor hingga roboh. Baru setelah itu, pasukan berkaos merah diperintahkan menerobos masuk.

Kira-kira pukul 10.30 WIB tugas itu selesai. Terus terang saya menyesal. Kalau tahu disuruh begini dibayar sejuta pun saya ogah.

Yusuf (buruh lepas)

Kalau tahu bakalan begini, terus terang saya tak mau ikut. Ini sangat saya sesalkan. Orang mulanya disuruh bekerja, kok malah diadu. Hasilnya, jidat saya bocor dan bahu kanan saya juga masih sakit.

Malam hari setelah kejadian, saya bermimpi bertemu dengan Bu Fatmawati (Istri Bung Karno). Saat itu beliau sedang berbaring di kamar, dan berpesan pada saya, "Kamu jangan ikut-ikutan, ya." Kok, setelah itu saya bermimpi lagi ketemu Bu Mega. Saya me- nyalaminya dan menyatakan minta maaf. Saya menangis sampai tersedu-sedu. Saat saya mendadak terbangun, tangis itu masih saya dengar.

Mungkin ada yang menuding, kalau orang miskin yang tinggal di perkampungan miskin begini lantas mudah berbuat jahat. Tapi, kami kan masih punya hati. Masak kami disuruh melempari orang- orang, yang juga saya yakin juga sama miskinnya, sama menderita- nya dengan saya.

Mamad (veteran)

Saya memang ikut-ikutan teman waktu ditawari kerja di Sentul itu. Begitu pun, saya juga ikut nggrumbul di gedung sebelah Komdak, pada Jum'at malam. Ketika paginya semua diangkut dengan truk dan disuruh turun di jalan Diponegoro, saya juga kaget. Wong katanya mau diajak ke Sentul kok malah di ajak ke rumah bos saya, Mien Sugandi (rumah Mien bersebelahan dengan kantor DPP PDI).

Tapi saya cuma tercengang ketika melihat massa saling melempar batu. Eh setelah itu saya dan beberapa teman dibawa ke Komdak. Saya ditanya macam-macam, termasuk siapa yang membayar, berapa bayarannya. Karena merasa pusing ya sudah saya lemparkan saja kartu veteran saya dan kartu anggota MKGB. Polisi lantas mem- bolehkan saya pulang. Dan baru sekitar jam 10 malam, saya tiba di kelurahan Kapuk, Cengkareng.

Zubet (buruh lepas)

Pagi buta dalam keadaan perut kosong, dari gedung Artha Graha kami semua memang diangkut ke kantor PDI dengan truk dan bus. Nah, bis yang dibakar itu bis yang sebelumnya kami naiki. Saya juga termasuk yang heran ketika jam 4 pagi itu disuruh baris, disuruh pakai kaos PDI pendukung Kongres Medan dan diberi sepotong kayu.

Ketika tiba-tiba kami disuruh turun dan diperintahkan berbaris, saya sempat berkata agak keras? "Lho Kok disuruh menyerbu kantor bapak gue. Ini khan kantor bapak Gue, kok diserbu?" Disitulah saya baru menyadari kalau ternyata saya hanya dijadikan umpan dan ditipu orang-orang besar. Akhirnya, ya saya berlindung di pos keamanan. Ternyata di situ ada teman kita yang pingsan, si Juju. Ketika Juju di bawa kerumah sakit saya ikutan juga. Kalau nggak ketemu Juju saya belum bisa keluar dati tempat itu. Wong mau minum saja nggak boleh kok, sama yang berbaju hijau.

Soal duit terus terang saya dikasih Rp 40.000.

Tanjung (keamanan dan tukang parkir Pasar Alam, Kapuk)

Ketika itu ada tiga orang datang ke rumah kami. Kalau tidak salah namanya Pak Harto dan Pak Ragiman, dan yang satu lagi saya tidak tahu namanya. Mereka menawarkan pekerjaan. Nah, saya diminta untuk mencarikan tenaga kerja, katanya hanya untuk menjaga tanah seluas 400 hektar di kawasan Sentul yang status- nya masih sengketa. Sebagai orang awam tentu saja tawaran itu saya sambut dengan baik. Apalagi dijanjikan honornya Rp 30.000 per hari.

Beberapa hari sebelum peristiwa 27 kelabu memang ada pertemuan di Hotel Dhaici, Senen. Yang hadir antara Pak Harto, Pak Ragiman, Pak Letkol. Budi, dan Pak H. Tabol beserta temannya. Di sana hanya makan malam dan membicarakan soal ketenagakerjaan untuk proyek. Saya sendiri terus terang tidak ikut angkat bicara. Sebab saya ini kann orang awam dan rakyat kecil.

Nah pada tanggal 25 hari kamis Malam, sekitar 50 orang diajak berangkat, anehnya kami di bawa ke kawasan Pulo Mas. Di sana yang kami lakukan hanya menunggu dan menunggu hingga pagi hari. Ternyata batal dan pekerjaan itu ditunda. Terpaksa saya dan teman-teman pulang diberi uang Rp 20.000. Jumat malam (26 Juli), sekitar pukul 23.30 WIB kami diangkut kembali, tapi entah lewat mana. Yang jelas pada hari Sabtu 27 Juli rombongan kami berada di kawasan jalan Diponegoro. Disitulah saya menyadari bahwa ini tipuan.

Soal penyerbuan saya tidak tahu menahu dan tidak ikut-ikutan. Pokoknya saya tidak menyadari kalau ternyata waktu itu berada di kawasan Diponegoro. Yang tak habis pikir, justru kenapa kok begitu sampai di kawasan itu kami langsung dihujani batu.

Teman-teman akhirnya berantakan. Masing-masing mencari perlindungan, untuk menyelamatkan diri. Kalau saya tidak berlindung, barangkali saya sudah mati. Karena ada orang berkaos merah yang mau menombak perut saya. Dan ketika saya berlindung di balik pohon, entah dari mana dada saya terkena lemparan batu. Akibatnya dada saya membengkak. Malah di antara teman saya ada juga yang giginya rontok semua. Ada juga yang kepalanya bocor dan bahunya berdarah. Pokoknya bila teringat masa itu terus terang saya menyesal. Terlebih di antara teman kami Juju telah meninggal akibat kebrutalan 27 Juli itu.

Pada waktu itu kami berjumlah sekitar 50 orang, tapi saya tidak kenal semua. Teman-teman di lingkungan saya hanya beberapa gelintir saja. Selebihnya bertempat tinggal di Jelambar, Jembatan Dua, dan sekitar 30 orang di Jembatan Besi. Nah, karena belakangan ini ada isu akan ada razia, maka teman-teman yang semula tinggal di sini sekarang pada pindah entah ke mana. Mereka tinggal di sini hanya mengontrak saja.

Muhamad (buruh tinggal di Pedong Relan Sawah)

Pada dasarnya apa yang dikatakan Bang Tanjung itu sama dengan pengalaman saya. Sebab, waktu itu memang bersama-sama dalam satu truk. Hanya saja, pada Kamis malam itu saya tidak ikut. Nah, saya hanya hari Jumat malamnya saja. Ternyata hasilnya jidad saya bocor dan bahu kanan saya juga. Kalau tahu bakalan begini terus terang saya tak mau ikut. Dan ini sangat saya sesalkan. Orang mulanya disuruh bekerja, kok malah diadu.

Abah (tokoh kampung)

Saya tidak ikut waktu orang-orang di sini ditawari kerja ke Sentul, yang ternyata diajak menyerbu kantor PDI itu. Tapi, kebetulan sayalah yang mengurus jenazah Juju.

Betul, keluarga Juju diberi santunan Rp 1.500.000 dan beras dua karung. Tapi anehnya, berasnya tidak bisa dimakan. Pokoknya, beras itu tidak bisa dimasak. Jangankan untuk nasi, untuk kue saja tidak bisa.

Sebagai orang dituakan di sini, saya amat menyesalkan kejadian ini. Penduduk di sini terus terang memang kaum lemah. Barangkali karena itulah mereka mudah diajak kesana-kemari. Begitu men- dengar ada tawaran menggiurkan, langsung saja oke. Tanpa dipikir dulu akibatnya. Akhirnya, ya begini ini. Semua hancur. Ada keluarga yang hancur, karena ditinggal mati suaminya. Ada keluarga yang terpaksa pulang kampung, akibat merasa ketakutan.

Ny. Riri (istri Juju)

Saya merasa amat sedih, begitu mendengar suami saya dikabarkan tewas. Saya tidak yakin kalau ia tewas karena sakit jantung. Waktu saya lihat jenazahnya, saya tahu ada darah banyak mengering di pundaknya. Itu mungkin penyebab kematiannya. Saya tidak mau mempersoalkan penyebab kematian suami saya, saya pasrah menghadapi cobaan ini.

Sewaktu saya mengambil jenazah suami saya, saya disuruh bertemu dengan orang yang saya tidak kenal. Ia waktu itu ngasih uang Rp 1.500.000. Lantas bantuan saya terima lagi ketika Pak Soerjadi datang ke rumah kontrakan saya ini. Saya menerima Rp 1.500.000 dari dia, dan sekuintal beras. Pak Soerjadi juga berjanji bakal menyekolahkan dua anak kami sampai selesai. Ya, saya bersyukur sih atas bantuan itu.

Tapi kini, tiap hari menjelang petang, masih saja terbayang-bayang wajah suami saya yang begitu bersemangat menerima kerjaan yang ditawarkan itu.

B. BRUTAL DAN KEJAM

Kalau para penyerbu (yang ternyata bukan massa riil pendukung Soerjadi) mengungkap telah dikecoh janji-janji palsu, sebaliknya berdasar pengakuan 124 korban 27 Juli yang kami himpun tegas menyatakan berdiri di belakang kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Mereka bersedia mempertahankan kantor PDI bukan didasari janji akan mendapatkan sesuatu, namun karena berangkat dari kesadaran hati. Boleh jadi karena melihat dan merasakan begitu banyaknya terjadi something-wrong, diantaranya kasus pendongkelan kepemimpinan Megawati yang dilakukan dengan mengabaikan etika dan akal sehat. Dengan kata lain, mereka bersikap karena tergerak situasi yang semakin menjauh dari cita-cita 'pendiri republik' (beberapa diantaranya diilhami ajaran Bung Karno yang berpihak pada Marhaen) yang kesemuanya ter- cakup dalam pembukaan UUD 1945.

Justru saat mereka ditahan, disidik sebagai tersangka dan kemudian diadili, keyakinan telah terjadinya something-wrong semakin menegas di kalbu mereka; Bahkan diantara mereka, ketika kami temui saat acara Ulang Tahun berdirinya DPP PDI Mega ke-3 di Kebagusan, mengungkapkan bahwa persoalannya bukan lagi sekedar antara DPP Mega versus DPP Soerjadi. Meski tetap bersikeras (membenci Soerjadi) dan berkesan emosi saat kami pancing bukankah Soerjadi juga dapat dikatakan sebagai korban sistem, namun bapak setengah baya yang ikut terjaring diantara 124 korban 27 Juli telah punya pandangan menarik yang (untuk sementara) tidak bisa dimuat dalam bab ini. Dengan demikian proses peradilan justru lebih membuka mata dan telinga mereka tentang logika aneh tapi nyata yang terjadi di bumi yang mereka cintai ini. Kondisi-kondisi itu semakin mempertebal kecintaan mereka pada Bung Karno yang diyakini mereka sebagai peletak batu Menuju Indonesia Berkeadilan.

Dalam proses penyidikan banyak terjadi pemutarbalikan fakta. Bahkan, tak seorangpun diantara massa penyerbu (yang telah dikecoh janji-janji palsu itu) disidik sebagai tersangka. Padahal, merekalah biang keladi terjadinya kerusuhan 27 Juli. Berbagai pertanyaan terus menggelegak di dasar hatinya. Benarkah mereka massa Soerjadi yang berdasar pengakuan Buttu R Hutapea di harian Merdeka telah dilatih selama 4 bulan di Cibubur? Pengakuan ini pun sebenarnya dapat menjerat Buttu R Hutapea ke meja hijau. Namun nampaknya pihak penyidik berpikiran lain. Saat pendapat umum keras bertiup ke arah kelompok Soerjadi yang dituding (baik secara perorangan maupun kelompok) harus bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi 27 Juli, buru-buru Kassospol ABRI Letjen Syarwan Hamid menilai Soerjadi adalah asset nasional. Bagaimana kalau Buttu R Hutapea ternyata bohong (karena ingin menunjukan sikap arogansi bahwa Soerjadi juga didukung massa)? Dan ternyata massa pendukungnya sendiri mengaku ditipu (karena sebagian besar diantaranya dijanjikan diberi pekerjaan). Kendati pulangnya diberi upah Rp 40.000 per orang, mereka tetap me- nganggap tindakannya salah. "Saya takut kualat telah menyakiti hati keluarga Bung Karno yang telah berjuang untuk rakyat kecil!" aku satu diantara penyerbu.

Namun karena masih dalam kendali kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, pendukung Mega dengan sadar berikrar tidak berniat melakukan tindak kekerasan. "Kalau mau apa sih susahnya mengejar mereka-mereka yang berangkat ke Medan? Tapi Ibu Mega selalu bilang. Gerakan kita harus konstitusional," ujar bapak berambut putih yang acap terlihat di Kebagusan. Kalau menjelang akhir Desember lalu massa pendukung Mega sempat keliling Jakarta, bahkan berhasil menggembok kediaman Soerjadi, menurut bapak berambut putih, kejadian itu sekedar unjuk kekuatan sekaligus membuktikan ke penguasa bahwa Megawati (meskipun telah didongkel Kongres Rekayasa) tetap tumbuh dan bersemi didukung arus bawah. Kalau Soerjadi keluarpun tidak akan diapa-apakan. Paling cuma dimaki sekitar dua ribu pendukung Mega yang datang berbekal telur busuk. Kalau niatnya membuat kasus kekerasan, tentunya yang dibawa semacam klewang, pedang, pentungan atau bom molotov seperti yang dibawa 'massa pendukung' Soerjadi. "Kami hanya membawa telur busuk. Berpawai secara tertib, karena pada dasarnya kami tidak menyukai jalan kekerasan," imbuh pak berambut perak yang bersama jutaan pendukung Mega lainnya bertekad menjadikan tahun 1997 sebagai tahun perjuangan demokratisasi.

Bagaimana kesaksian mereka? Ikuti sajian (diantaranya berdasar kesaksian di pengadilan dan hasil wawancara) yang karena pertimbangan teknis, kami pilih 3 kesaksian yang mudah-mudahan 'cukup mewakili' kesaksian yang lain.

1. Sandra (Dapur Umum)

Pukul 6 pagi itu saya berada di dapur. Mengambil susu dan telur untuk keperluan satgas PDI Jakarta Pusat. Tiba-tiba terdengar teriak panik massa PDI pendukung Megawati yang pagi itu berada di markas DPP PDI, Jl. Diponegoro 58. Kami diserang 'pendukung' Soerjadi dengan semprotan gas air mata dan batu. Mereka datang menggunakan truk, mengenakan kaos merah bertuliskan 'Pendukung Hasil Kongres IV di Medan'. Sementara satgas di pihak kami sedang lelah, lengah dan sebagian masih tertidur.

Sayapun panik. Berusaha mencari-cari tas, kemudian menyelinap ke kamar yang digunakan sebagai tempat menyimpan makanan. Karena kamar itu pengap, saya kembali keluar mencari tempat yang lebih aman. Terdengar jeritan, "Mama... mama... mama Sandra. Tolong ada yang terluka." Saya pun trenyuh. Tas langsung saya taruh dan saya rangkul teman-teman yang terluka akibat kena lempar batu. Sebisanya saya obati mereka dengan obat-obatan seadanya. Diantaranya betadin, obat merah, perban, plester, anti- biotik, dan rheumason yang memang tersedia di ruang poliklinik DPP PDI. Darah terus mengalir dari korban, diantaranya mengalir dari muka, kepala, pelipis, kaki, lengan dan bibir. Belum selesai korban yang satu saya tangani, datang lagi korban yang lain. Terus silih berganti.

Saat itu dr. Jarot yang biasa menjaga poliklinik belum datang. Sementara korban terus berjatuhan. Saya tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Diantara korban ada yang muntah-muntah dan sesak napas akibat semprotan gas air mata yang disemprotkan oleh kubu Soerjadi. Jerit tangis dan minta tolong, serta menyebut kebesaran Allah SWT terucap dari mulut saya dan rekan- rekan yang lain. Genangan darah bercecer di ruangan kantor DPP, terutama di dapur. Memang, semua korban saya amankan di dapur hingga ia sadar dan berhenti pendarahannya. Saya tidak sempat lagi melongok keadaan di luar, karena saya memang sibuk merawat korban.

Antara pukul 08.00 hingga 09.00 WIB dr. Jarot datang. Alhamdulillah, kami semua agak tenang. Saya membantu dr. Jarot menolong para korban dan memindahkannya ke ruang photo copy yang suasananya kami anggap lebih aman dan tenang. Saat membantu menangani korban itu saya mendengar teriakan, "Suasana sudah aman, harap saudara-saudara yang berada di halaman kantor keluar semua. Karena ibu Megawati akan datang." Mendengar ketua umum kami akan datang, kami gembira. Saya beserta teman-teman yang tidak terluka keluar dari dapur menuju halaman kantor. Batu tidak lagi beterbangan. Karena melihat petugas anti huru hara bersenjata- kan tameng membuat pagar betis, maka kami berani keluar dari ruang kantor. Sambil menunggu Ibu Mega, saya dan kawan-kawan me- nyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Hati saya menjerit. Perlahan-lahan air mata terus menggenang di pipi. Haru!

Di luar pagar, wajah-wajah petugas nampak berkesan beringas. Sama sekali tidak merasa trenyuh dan kasihan melihat kondisi kami. Saya naik ke bangku mendekati tembok pembatas antara jalan dan halaman kantor. Saya berteriak, "tolong kami bapak petugas, kami jangan diserang. Kami tidak punya senjata!" Memang, saat itu saya masih berharap para petugas melindungi kami yang ada di dalam. Saat itu pula saya melongok ke jalan Surabaya. Masya Allah, saya lihat dengan mata kepala sendiri, dua buah truk tronton mengangkut 'massa pendukung' Soerjadi yang mengenakan kaos dan ikat kepala merah. Hati saya bertanya, kenapa truk ABRI membawa pendukung Soerjadi? Apakah mereka sesungguhnya aparat berkaos merah? Sejak itu saya tidak lagi berharap petugas akan menolong kami. Mereka ada di pihak Soerjadi.

Seusai kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, tiba-tiba aparat membuka pagar betisnya dan memberi jalan bagi pendukung Soerjadi untuk yang kedua kalinya menyerang kami dengan batu. Kami langsung menutup pintu. Namun petugas anti huru hara dengan beringas mendobrak pintu itu. Kami berlari ke arah dapur dan petugas terus mengejar.

"Semua diharap tiarap! Jangan bergerak! Diam! Jangan coba melawan!" teriak petugas.

Kami pun mencari-cari tempat duduk untuk diam. Kebetulan saya tidak kebagian tempat duduk. Terpaksa berdiri dekat jendela ruang makan. Tiba-tiba kami yang berada dalam lingkar pagar betis petugas, dikejutkan teriak pendukung Soerjadi yang muncul membawa sebilah parang. "Bunuh PKI-PKI yang ada di dapur!" teriaknya seraya menebaskan parang ke meja dan kaca-kaca. "Prang! Prang!" Semua hancur. Saya hanya bisa istighfar dan memohon perlindungan. Mungkin karena saya seorang wanita, lelaki itu tidak membunuh saya. Petugas yang melihat kebrutalan- nya hanya menegur lirih, "Sudahlah". Tapi pendukung Soerjadi cuek dan melanjutkan kebrutalannya. Masya Allah!

Selanjutnya kami yang selamat diangkut ke Polda. Ternyata sejak itu kami ditahan dan diinterogasi tanpa didampingi pengacara. Padahal, sebagaimana saya ungkap pada Kapten Hutabarat, saya ini korban penyerangan kok malah jadi terdakwa. Jawab petugas itu sungguh mengerikan, "Saya sekedar menjalankan tugas!" Saya berpikir, bagaimana kalau petugas itu diperintahkan, misal membunuh? Tapi apalah artinya saya yang cuma rakyat kecil dan sering ditakut-takuti ini. Di sel Polda itu banyak penga- laman menarik bagi saya. Diantara petugas memang tidak sedikit yang bersikap santun dan manusiawi. Tapi tidak sedikit pula yang bersikap judes. Memandang kami seperti ibu-ibu yang habis melakukan tindak kriminal.

Ada pengalaman pahit yang sulit saya lupakan. Seusai kunjungan Komnas HAM, 5 Agustus 1996, Kaditserse Polda Metro Jaya Kolonel Paimin mengacung-acungkan jari berbentuk kuku bima yang berarti simbol pelecehan seks dengan berkata, "Begini saja 'kan enak!" Kami berempat berteriak, "Porno!" Selain pengalaman kurang mengenakan itu, pernah juga saya dikecoh petugas secara halus. Katanya saya harus menandatangani secarik kertas. Karena status saya, kendati masih ditahan di Polda, adalah tahanan kejaksaan saya menolak. Setelah didesak, dengan syarat agar secarik kertas itu tidak mempersulit posisi saya di pengadilan dan Kapten Hutabarat setuju, saya tanda tangani juga. Ternyata isinya adalah pernyataan penolakan untuk didampingi pengacara saat pemeriksaan. Ya, saya terkecoh.

Kini, meski saya sudah bebas, saya masih tidak bisa menerima vonis yang dijatuhkan kepada saya. Saya banding karena saya memang merasa tidak bersalah. Tapi meskipun empat bulan dua minggu saya dipenjara saya tetap mencintai Ibu Mega. Berniat untuk terus berjuang di belakang barisan Ibu Mega. Merdeka!

2. Muslimin (komandan Jaga)

Hari itu saya bertugas menjadi komandan jaga, sekaligus menjadi komandan satgas. Pengaturan jaga kita bagi dalam tiga shift. Shift pertama, yaitu siang hari (bertugas sejak pukul 06.00 - 18.0 WIB) diserahkan ke Posko Jawa Barat dan dibantu beberapa anak buah yang lain. Shift kedua (bertugas sejak 18.00 hingga 00.0 WIB) dikoordinir Pak Didit dari Jakarta. Sedangkan shift ketiga bertugas sejak jam 24.00 hingga jam 6 pagi yang saya pimpin sendiri, yang boleh dibilang pasukan inti. Pasukan inti ini berjumlah sekitar 50 orang.

Pagi itu, saya perkirakan ada 150-an orang yang menginap di kantor DPP. Tapi saya kurang mengerti kenapa yang berhasil ditangkap cuma 120-an, dan saya tidak tahu kemana selebihnya. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri dari kantor DPP yang terkepung rapat? Ya, saya tidak tahu pasti bagaimana nasib 30-an orang yang tidak ikut dibawa ke Polda.

Kami tidak tahu pasti bagaimana nasib mereka, karena pas jam kejadian itu kita menguasai medan depan. Dalam menguasai medan depan, saya mengutamakan pertahanan. Jadi yang bisa menjelaskan berapa korban luka dan sebagainya itu Pak Didit. Pak Diditlah yang yang bertugas menyelidiki keadann di dalam. Penyerbuan berlangsung sejak jam 06.00 WIB.

Saat sebagian besar dari kita masih tertidur. Ternyata di luar pagar sudah ada kurang lebih tujuh truk polisi warna kuning dan mereka yang datang dengan menggunakan kaos merah. Semula kita tidak menduga, karena begitu turun dari truk mereka meneriakkan yel-yel, "PDI... PDI... Mega... Mega...." Setelah itu baru terdengar aba-aba, "Serbu... !" Tentu saja kami yang berada di dalam kelabakan. Sejak itulah batu-batu terlempar ke arah kita. Dari batu-batu yang mereka lempar itu kami membalas. Sebagai pimpinan satgas saya sempat hilang keseimbangan. Bingung melihat temanteman lain sebagian masih tertidur. "Lho kok begini," pikir saya. Baru setelah melihat jatuh korban, kawan saya berteriak, aduh kena! Saya sadar penyerbuan akhirnya dilaksanakan juga.

Melihat cara-caranya turun dari truk yang nampak terlatih, saya tidak tahu pasti apakah mereka tentara. Namun ketika kaos merahnya dilepas, saya melihat mereka menggunakan kaos berlogo Brimob dan Kostrad. Saya lihat sendiri kejadian itu dan beberapa teman sempat juga ada yang melihat.

Polisi ada, tapi mereka berlagak acuh. Diantaranya dari kesatuan anti huru hara yang hanya terdiam di luar pagar. Setelah dua jam menyerbu, ternyata pasukan Soerjadi tidak bisa membobol masuk kantor DPP. Kemudian datang polisi huru-hara yang datang mem- blokir lokasi. Kita tetap berada didalam pagar ini. Pasukan Soerjadi ada disini (menunjuk denah). Dari arah sana muncul Dandim dan Kapolres. Beberapa perwira berpakaian preman memakai HT mengisyaratkan agar lemparan batu dihentikan. Saya tanggap dan meloncat dari pagar dan berusaha menghentikan lemparan pem- balasan dari kawan-kawan.

Saya berteriak ke kawan-kawan, "hentikan... hentikan... hentikan!" Kemudian saya dan beberapa perwira, Dandim dan Kapolres berada di depan sebelah pintu utama masuk sebelah Timur. Saat saya longok, pasukan Soerjadi sudah sedemikian banyak. "Untuk menghindari banyaknya jatuh korban hendaknya saudara saya amankan," kata perwira yang ada di sana. Perwira itu berjanji akan mengundurkan pasukan Suryadi hingga ke jalan Surabaya. Pasukan yang ada di dalam gedung DPP dinyatakan vakum dan dikuasai oleh polisi. Hal ini tentu saja bertentangan dengas tugasnya sebagai Satgas DPP-PDI.

Dalam negoisasi itu saya mewakili Satgas DPP PDI, sedang kubu Soerjadi diwakili Erwal. Terjadilah silang pendapat. Erwal berpendapat supaya gedung ini diserahkan, saya tetap tidak mau karena saya hanya bertugas sebagai komandan keamanan. Sedang disini ada pimpinan, saya patuh pada pimpinan. Maka saya kembali masuk ke dalam, minta waktu untuk berhubungan dengan DPP. Beberapa nomor yang saya hubungi terputus. Nah, di pos logistik itu saya ada terima telpon dari Audri yang berada dalam kendali Ibu Megawati Soekarnoputri. Ibu sudah hampir selesai (melakukan sesuatu yang penting), Ibu berpesan supaya kita tetap tinggal di dalam gedung, tetapi jangan melakukan perbuatan apa-apa hingga menunggu tim pembela datang. Kemudian saya keluar untuk menyampaikan pesan pimpinan. Saya keluar dari posko, ke belakang 'Mimbar Demokrasi' karena pintu utama masih saya tutup. Dari sana saya lihat polisi sedang latihan berusaha mendobrak pintu.

Pintu utama itu bobol karena didobrak polisi dengan lima kali hitungan. Setelah polisi bisa masuk, pasukan Suryadi mengikuti. Anak-anak berlarian ke dalam hingga ke ruang makan. Anak-anak saya suruh duduk. Begitu kami sedang memberi aba-aba duduk, pintu ditendang polisi lagi. Memang, anak-anak itu saya yang memerintahkan masuk. Supaya tidak terjadi bentrokan dengan polisi. Tapi polisi terus mengejar dan memburu kita.

Setelah itu pintu didobrak, saya bilang, "tolong pak.. kawan-kawan jangan disiksa dan biar saya yang tanggung jawab. Sayalah koman- dannya." Lalu saya langsung dipegang dan ditangkap. Kedua tangan saya dirantai dan diseret ke kekendaraan. Sejak dari ruang makan hingga keluar saya dihujani pukulan oleh anak buah Soerjadi. Setelah itu saya dan sekitar 120-an orang dibawa ke Polda.

Selain menganiaya, merusak dan membongkar 'Mimbar Demokrasi', saya juga melihat pasukan Soerjadi membakar bendera. Tak hanya itu, pasukan Soerjadi juga menyiram bensin kemudian melempar rokok yang masih menyala. Akibatnya spanduk dan sebagainya terbakar. Bahkan pakaian saya ikut terbakar habis. Kalau tidak diberi bantuan pakaian mungkin sampai sekarang saya masih pinjam sama teman.

Pada waktu penyerbuan saya tidak melihat diantara kawan-kawan ada yang kena luka tusuk, tapi kalau kena batu banyak. Saya juga tidak mendengar letusan senjata api.

Sesuai hasil negoisasi semuanya dibawa ke polisi untuk diamankan. Makanya ketika bertemu Reserse saya kaget. Ternyata dua perwira itu ingkar janji, katanya diamankan nggak tahunya dimasukan kepenjara. Kita betul-betul dijebak.

3. Agus Siswantoro (Satgas PDI)

Pagi itu saya di posko. Sedang sarapan, spontan menoleh kebelakang karena ada teman-teman yang berteriak. Beberapa kawan dari posko Jakarta Selatan masuk gedung. Sedang saya tetap di halaman. Nampak beberapa diantaranya dari mahasiswa diantaranya mahasiswa Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.

Seketika saya menoleh, melihat ada tiga truk langsung berhenti di seberang DPP mengangkut kurang lebih 200-an orang. Jalanan (depan kantor DPP) seketika dipenuhi orang-orang berkaos rnerah. Lalu nggak berapa lama truk balik lagi pulang. Saat itu kita masih menganggap mereka teman karena berteriak "PDI... PDI... Mega, Mega!" Tapi mendadak datang lemparan-lemparan batu. Saya kira hanya bercanda, sebelum saya dengar teriakan-teriakan, "ada penyerbuan!" Ada teman yang berteriak, "musuh!" Otomatis kita menarik diri. Kita bertahan dibalik pintu posko masuk (dekat posko mahasiswa). Mengintip semua kejadian.

Saat kita bertahan disitu, rupanya banyak teman yang kena lemparan. Saya kemudian menolong, menariknya ke dalam dan membantu untuk mendapatkan perawatan hingga kaki saya pada akhirnya juga kena lempar. Korban berjatuhan. Lemparan batu begitu deras seperti hujan. Saat itu saya bingung. Kalau orang-orang biasa melempar seperti kita, saya rasa nggak akan bisa begitu. Apa saja yang dihantam lemparan itu pasti ada bekasnva. Tembok saja hancur, apalagi kaca. Orang-orang yang kena batu yang saya ingat diantaranya Joko, Sukarno. Pak Tua, Muhammad, dan Erwin. Muhammad sampe bocor kepalanya. Sedang Erwin itu kita tarik ke dalam sementara yang lain bertempur. Setelah beberapa lama, kurang lebih satu jam pertempuran, terjadi negosiasi. Kita disuruh hentikan pertempuran. Dan saya tetap berada di depan pintu itu.

Setelah menolong para korban umumnya kita berkumpul di pintu untuk berlindung dari lemparan batu. Tidak ada yang berani men- coba mendekat. Kita berusaha memepet di koridor. Tapi saya masih sempat mencoba maju ke depan membalikkan semua meja-meja untuk dijadikan tameng. Saya lihat meja tebal-tebal saja tetap jebol tertimpuk batu jenis paving block dan batu bata. Ada juga batu koral dan cornblock. Kalau batu-batu yang mereka lempar langsung menghantam kita, pasti akan jatuh. Tapi kalau membentur tanah, batu itu langsung pecah. Jadi kekuatan lemparnya bisa kita bayangkan, betapa kuatnya! Makanya saya katakan, ini bukan lagi orang-orang seperti kita yang mengadakan penyerangan. Pada dasarnya kalau hanya pasukan berkaos merah saja mereka tidak akan pernah mampu menjebol DPP PDI. Ada satu dua orang saya lihat berusaha melompat pagar. Tapi nggak jadi.

Sistem penyerangan mereka bergelombang. Kalau yang di depan capek gantian yang di belakang. Sementara kita semalaman nggak tidur, masih pada ngantuk. Itu yang luka kebanyakan mereka yang kelelahan. Melihat mental dan keganasan mereka, saya tidak yakin itu rakyat-rakyat biasa. Masak kalau rakyat biasa sampai hati melempari kita dengan bom-bom molotov yang banyak mem- bakar tenda-tenda. Saya yakin mereka bukan manusia-manusia normal. Betul-betul tidak ada perikemanusiaan sama sekali dalam serangan itu. Kita sudah berusaha untuk membalikkan meja untuk menahan serangan. Ada bom molotov yang sumbunya lepas tumpah kena baju Pak Muslim. Akibatnya Pak Muslim terbakar badannya. Saya lihat Pak Muslim berusaha membuka bajunya yang terbakar.

Kita hentikan serangan balasan setelah mendengar aba-aba berhenti dari Pak Muslim. Bukan dari aparat! Petugas tidak pernah rnemberi aba-aba (sebagaimana kesaksian petugas kepolisian di pengadilan) ke kita. Akibat lemparan bom molotov saya lihat motor-motor terbakar. Dan saya lihat jip merah punya teman di sini hancur kena batu. Setelah terjadi perundingan dan kita disuruh meninggalkan DPP PDI, saya sempat katakan,"kami tidak akan pernah meninggalkan DPP PDI hingga titik darah terakhir". Itu saya katakan, dan "tidak akan pernah ada perjanjian apapun. Biarkan pimpinan kami memutuskan". Setelah negosiasi itu Pak Muslim masuk. Terjadi perundingan seru. Pasukan Soerjadi sengaja dilepas untuk memulai serangan kedua, semacam show of force-lah!

Saya lihat panser-panser diparkir di depan PPP, saya sudah katakan kepada polisi jauhkan mereka. Jauhkan! Maksudnya supaya tak terjadi pertempuran. Tapi saya lihat kenapa ini agak direnggangkan? Seola-olah mereka dikasih kebebasan. Kelihatan- nya memang sengaja diberi kesempatan (atau polisinya sendiri memnag takut kepada mereka). Kenapa polisi itu kok kayaknya tidak berani tidak seperti ngadepin rakyat biasa. Nah itu tanda tanya besar dibenak saya. Siapa sebenarnya meraka? Saat proses negosiasi belum selesai, datang serangan kedua. Polisi yang tadinya berjajar membentuk barisan mulai mendobrak pintu Menendang pintu hingga terbuka.

Setelah itu kita coba masuk. Pintu-pintu semua kita tutup. Ada satu dua pintu kita tutup. Kita semua masuk ke dalam, menembus kedapur. "Ayo-ayo kita kedapur semua!", ajak saya. Setelah itu kita dengar hantaman pintu lagi, ya tendangan kaki-kaki yang bersepatu tebal! Hanya orang bersepatu tebal yang kuat menendang pintu ini hingga jebol. Mereka nampüaknya terus mengejar kita. Kita mencoba menerobops melalui pintu ke arah dapur. Rupanya orang-orang itu betul-betul sadis. Kayaknya orang itu nggak tanggung- tanggung, seolah betul-betul menginginkan nyawa kita.

Sekelebat saya melihat ada yang mengayunkan kelewang. Saya tidak memperhatikan orang mambawa kelewang itu. Setelah kita di didapur, saya sempat menghalangi teman-teman yang ingin memanjat tembok. "Jangan-jangan!", teriak saya. Pada saat itu saya tidak sampai hati meninggalkan teman-teman yang di bawah, apapun yang terjadi kalaupun kami akan dibunuh semuanya, saya akan ikut! Itu tekad saya waktu itu. Saya tidak tahu apakah ada yang lolos lewat tembok. Tapi saya melihat ada yang mencoba memanjat, saya suruh turun, "Turun-turun!" Apapun yang terjadi harus tetap sabar! Saya larang orang-orang naik. Pada waktu itulah kita "diamankan".

Saya diseret pertama, saya nggak mau, saya minta kalau saya diseret harus semua diseret. Lalu klta digiring melalui pintu utama. Saat berjalan, saya melihat di dalam gedung terjadi penghancuran- penghancuran. Saya dibawa ke truk dan bergabung dengan Pak Muslim. Kami diangkut oleh sekitar tiga truk. ,Jika satu truk me- ngangkut 50 orang, berarti ada sekitar 150 orang. Tapi ternyata (yang ada hingga saat ini) hanya 124 orang. Dan saya tidak men- dengar tembakan atau melihat orang kena luka tusuk. Tapi entah. Suasananya begitu ribut. Kalaupun ada tembakan mungkin tidak terdengar. Tapi sewaktu kita digiring itu saya melihat cukup banyak genangan darah. Jadi apapun yang terjadi saya pikir kita hanya bisa menebak, tidak berani mengatakn yang pasti. Suasananya memang serba tidak pasti.

Saya juga tidak bisa memastikan berapa jumlah korban yang ter- kurung di dalam gedung. Yang saya lihat korban yang kita tarik- tarik dan kita coba selamatkan kedalam, yang tidak bisa bergerak lagi (kemungkinan besar meninggal) ada dua orang. Yang luka- luka saya taksir ada sekitar 15 - 20 orang. Tapi yang betul-betul tidak bisa bergerak itu dua orang, sudah nggak bisa apa-apa, mungkin karena lemparan batu atau karena apa, saya tidak tahu. Saya sempat trauma. Sebenarnya kenapa sih bisa sebegitu kejam. Kenapa yang namanya aparat tidak mau mencoba meredam atau menghalangi agar tidak terjadi hal-hal seperti itu! Saya melihat aparat bener-bener seperti boneka. Prinsip saya saat itu sepertinya ini memang ada aturan-aturan tertentu yang dimainkan disini. Jika mempunyai kebebasan berbicara, saya katakan pelakunya adalah ABRI. Kalau saya lihat, kenapa polisi anti huru-hara ikut mendobrak saat terjadi perdamaian? Atau keanehan lain yang bagi rakyat kecil seperti saya, cukup tahu sama tahulah!

******

(bersambung)