Megawati
Chairwoman
DPP PDI Perjuangan
Jl. Raya Lenteng Agung 99
Jakarta - Selatan























PERJUANGAN MEREBUT BENTENG KEADILAN

TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia)

Juli 1997 @ TPDI
PERJUANCAN MEREBUT BENTENG KEADILAN
Penyunting : Marlin Dinamikanto
Reporter : Andryanto Rianty Bachtiar Wandi Nicodemus
Disain Cover: Yoes Nugroho
Illustrasi : Sumartono
Produksi : Nova K. Natanegara
Diterbitkan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
Dipersiapkan oleh PERNIK Indonesia

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih ........................................... i
Marlin Dinamikanto

Sambutan ............................................... vi
DPP PDI 1993-1998

Kata Pengantar ...................................... xv
RO. Tambunan

Bagian I: Pembuka

Aneh Tapi Nyata

Bagian II: Dakwaan

Bagian III: Eksepsi

Bukan Negara Kekuasaan

Bagian IV: Putusan Sela

Bagian V: Fakta Persidangan

a. Saksi Memberatkan (A Charge)
b. Saksi Meringankan (A de Charge)
c. Keterangan Terdakwa
d. Barang Bukti

Bagian Vl: Tuntutan

Bagian VII: Nota Pembelaan

Rasa Keadilan Menggugat
a. Pengantar
b. Pendahuluan
c. Tentang Surat Dakwaan dan Requisitoir
d. Analisa Fakta
e. Analisa Yuridis
f. Kesimpulan
g. Penutup

BaganVIII: Putusan

Bagian IX: Menguak Misteri Penyerbuan

Bagian X: Penutup Jalan Masih Panjang

Lampiran :

O Daftar nama 124 tersangka.
O Gugatan Seno Bella dkk.
O Surat Pernyataan Maaf Penyerbu Kantor DPP PDI


SEKAPUR SIRIH

Peristiwa 27 Juli memang masih menyimpan sejumlah misteri. Terutama bila dihadapkan pada pertanyaan, siapakah sebenarnya pelaku penyerbuan yang berkaos merah bertuliskan 'Pendukung Hasil "Kongres Medan" dan bercelana hitam? Benarkah mereka pendukung Soerjadi yang dilatih selama dua bulan di Cibubur? Namun misteri itu sebenarnya, meski tidak seluruhnya nampak, sedikit demi sedikit akan terkuak jika kita men- cermati sejumlah kesaksian --baik yang diproses melalui peradilan maupun yang didapat dari masyarakat yang berada di tempat kejadian. Paling tidak, penampakan fisik yang mereka lihat (kendati memunculkan persepsi dan interprestasi yang beragam) akan memperkaya perbendaharaan data (kuantitatif maupun kualitatif) mengenai peristiwa yang acap kali disebut SABTU KELABU itu.

Toh demikian, maksud dari diterbitkannya buku ini bukan 'sekedar' bernostalgia mengenai proses peradilan korban penyerbuan 27 Juli yang didakwa melakukan tindak pidana kerusuhan. Maksud dari diterbitkan- nya buku ini tidak terlepas dari upaya perjuangan DPP PDI pimpinan Megawati dalam membuka mata masyarakat secara luas terhadap munculnya situasi politik dan proses penegakan hukum yang kurang kondusif bagi proses pelembagaan politik yang demokratis dan proses pelembagaan hukum yang berkeadilan. Dengan harapan agar masyarakat semakin terbuka cakrawala kesadarannya tentang hal aneh tapi nyata yang akan kami paparkan di bagian pembuka.

Dengan didasari maksud itu pula, para pengacara yang bergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) setuju untuk menerbitkan buku yang berkenaan dengan peristiwa 27 Juli. Dan kami sangat berterimakasih atas kepercayaan TPDI untuk melakukan penyuntingan buku tersebut. Setelah berkonsultasi, terutama dengan Bapak RO. Tambunan, selanjutnya kami pilih judul: Perjuangan Merebut Benteng Keadilan. Judul itu sengaja dipilih, karena TPDI berpandangan berkumpulnya massa pendukung dan simpatisan Mega di sekretariat DPP bukan semata-mata menjaga simbol keberadaan DPP Mega melainkan juga didorong oleh suatu gairah melawan ketidak-adilan. Kebetulan saat peristiwa itu terjadi, simbol perlawanan terfokus pada satu nama: Megawati Soekarnoputri yang didongkel secara vulgar oleh kekuatan yang secara anarkis menggunakan kekuasaannya.

Kami berpandangan, 124 korban 27 Juli adalah miniatur kecil dari keinginan masyarakat luas yang menginginkan perubahan, dari sistem yang eksploitatif menuju sistem yang lebih adil. Yang lebih membuka peluang bagi tiap warganya untuk berekspresi dan mengartikulasikan keinginannya, di hadapan aturan dan proses penegakan hukum yang berlaku sama tanpa membedakan ras, suku, agama, status dan kedudukan (sebagaimana ditegaskan pasal 27 UUD 1945, ). Korban 27 Juli bersama dengan TPDI dan PDI Megawati Soekarnoputri telah melakukan Perjuangan Merebut Benteng Keadilan dalam persidangan pengadilan maupun di luar pengadilan.

Pada dasarnya hukum memang harus mengacu kepada rasa keadilan. Hukum diciptakan bukan semata membatasi aturan tentang kebolehan dan ketidak-bolehan tanpa didasari pencapaian tujuan yang jelas. Hukum diciptakan justru karena adanya potensi menindas dari tiap individu, sehingga diperlukan pengaturan yang sedapat mungkin menjangkau kepuasaan masyarakat banyak. Kepuasan masyarakat itulah satu-satunya kriteria yang mungkin sebagai tolok ukur ada tidaknya rasa keadilan.

Bahkan bila berbicara dalam lingkup politik (kenegaraan), pilar pokok tegaknya negara hukum adalah rule of law. Tanpa rule of law, kekuasaan akan berjalan anarkis. Yang kuat akan semena-mena menekan yang lemah. Struktur dan infrastruktur politik akan terasa gersang dan menakutkan, karena di setiap sudut 'domba-domba' harus berhadapan dengan 'taring srigala' (meski hanya dalam bayangannya saja). Sedang secara kultural, dipertahankan-nya kondisi saling menekan dan menindas itu akan terus mengekalkan tradisi kekerasan. Hati nurani dan akal sehat lambat laun akan terkubur penampakan. fisik yang melahirkan pemahaman, hidup ini hanya menyisakan dua pilihan diserang atau menyerang!

Nah, dalam buku ini kami (selaku tim penyunting) akan paparkan eksepsi dan pleidoi (dengan bahasa yang kami coba mudah dimengerti) agar pembaca secara gamblang dapat menilai dan menganalisis kejadian 27 Juli yang memang menyimpan sejumlah misteri. Kami juga tidak menutup mata --sejumlah buku yang berkait dengan peristiwa 27 Juli telah diterbitkan. Dan kami tidak menganggap buku ini sebagai yang terbaik, terlengkap dan tuntas. Namun kami berharap dapat melengkapi kepustakaan itu. Setidaknya menawarkan dokumentasi proses peradilan, khususnya yang melibatkan tim pengacara TPDI. Cakupan yang terdapat dalam Surat Dakwaa, Eksepsi, Pleidoi serta Fakta Persidangan dan Putusan Hakim yang kami hidangkan dalam buku ini mudah-mudahan dapat digunakan sebagai satu diantara sumber dalam melihat peristiwa 27 Juli dan proses peradilannya.

Sebelumnya, dalam BAB Pembuka kami tawarkan pembaca untuk melihat konteks politik yang mendahului; lahirnya suatu peristiwa. Di samping berisi kronologi 'AduBanteng' (meminjam istilah Ruslan Abdulgani), kami juga mencoba melakukan analisa untuk mempertajam pemahaman tentang proses politik dan penegakan hukum yang dirasakan banyak pihak menjauh dari cita-cita yang menjadi alasan keberadaan negara dan bangsa Indonesia. Tentunya bukan menjadikan Republik ini bertampang seram dan menakutkan, yang jalan-jalannya dihias ribuan rambu larangan (untuk sebagaian besar rakyatnya) dan seribu satu kebolehan yang tidak dibatasi simbol dan kata-kata (untuk sebagian kecil lainnya).

Banyak kejadian menarik sekaligus membuat kita mengurut dada apa bila menelusuri fakta persidangan yang kami cakupkan dalam Bagian VI. Paling tidak ada empat catatan yang perlu kami garis-bawahi. Pertama, hampir seluruh saksi memberatkan/saksi a charge (kecuali dua saksi yang diajukan jaksa sebagai pendukung Soerjadi) adalah polisi. Kedua, berdasar keterangan saksi (terutama yang meringankan) serta terdakwa, diperoleh fakta, terdakwa adalah korban penyerbuan. Kesaksian ini tidak disanggah oleh keterangan saksi memberatkan. Bahkan saksi memberatkan tidak dapat memastikan asal-usul baik alat yang digunakan dalam penyerbuan maupun pihak yang memulai pelemparan. Ketiga, baik saksi meringankan maupun terdakwa tidak satupun yang mendengar perintah pembubaran diri, baik oleh Wadansat Brimob maupun Wakapolsek. Oleh karenanya sudah seharusnya mereka tidak bisa dikenai tuduhan pelanggaran pasal 218 KUHP. Dan keempat, bila dicermati secara detail, berdasar fakta yang mengemukan di persidangan terdapat berbagai kaitan yang mempertegas pernyataan beberapa individu maupun lembaga (diantaranya Komnas HAM) yang menyatakan, 'Peristiwa Sabtu Kelabu' itu memang hasil rekayasa yang melibatkan unsur-unsur aparat pemerintah, sipil maupun militer.

Karena dalam proses persidangan 124 terdakwa korban 27 Juli dibagi dalam 10 tim (masing-masing tim membuat eksepsi dan Pleidoi sendiri), maka dalam BAB II (Eksepsi) dan BAB II-I (Pleidoi) terpaksa dipilih satu sarnple yang (mudah-mudahan) substansi persoalannya tidak ber- tentangan dengan yang lain. Tindakan itu dipilih semata-mata untuk memudahkan proses penulisan, kendati mungkin kurang lengkap (terutama dalam hal keterangan saksi dan terdakwa).

Karena kesaksian Dudy Suntani tidak bisa ditampilkan secara utuh, sebagai gantinya dalam BAB IV (Kesaksian) diungkap hasil investigasi tentang siapa, bagaimana dan apa latar belakangnya melakukan penyerbuan 27 Juli. Mudah-mudahan keterangan pihak penyerbu yang berasal dari kantong kemiskinan wilayah Kapuk, Jakarta Barat ini, lebih dapat melengkapi informasi seputar 27 Juli.

Selain itu, maksud dari diterbitkannya buku ini kami harapkan akan menjadi media penyadaran ke masyarakat luas. Sehingga dengan membaca buku ini, sekecil apapun perannya, kami berharap munculnya partisipasi yang sadar di kalangan masyarakat tentang segala persoalan aktual bangsanya. Buku ini sama sekali tidak bertujuan memobilisir sikap dan pendapat umum. Kami sadar, mobilisir pada akhirnya hanya menem- patkan masyarakat sebagai sekedar instrumen dari tujuan yang hendak dicapai. Bukan sebagai subyek untuk menjadi dirinya yang berjuang dengan penuh kesadaran.

Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada seluruh personil TPDI yang telah menyusun Eksepsi dan Pleidoinya. Rasa hormat yang besar kami tujukan kepada Ibu Mega dan Bapak RO. Tambunan. Juga kepada Rianty Bachtiar dan Andy Yoes Nugroho yang bergerak mobile menyiap- kan penerbitan buku ini. Salam spesial untuk Hera Aviyuni, Yulianti, Nita Metro, Emi Palembang, Amin Baharudin, mas Gatot, Dwi dan Tri Hastadi. Langsung atau tidak langsung, kalian telah membantu proses penulisan buku ini.

Jakarta, Juli 1997

Marlin Dinamikanto
Penyunting

Sambutan

Dewan Pimpinan Pusat PARTAI DEMOKRASI INDONESIA
1993 - 1998

Merdeka!

Hari-hari panjang sejarah bangsa kita dan sejarah umat manusia telah, sedang, dan akan terus berjalan sesuai kehendak yang maha kuasa. Sejarah yang panjang, penuh liku dan pasang surut diberi makna dan arti oleh manusia sebagai pelakunya. Dari moment yang satu ke moment berikutnya, dengan arah yang jelas. Menuju masa depan bersama yang lebih baik agar dengan begitu yang khalik dimuliakan.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai salah satu aset dan modal dasar pembangunan nasional lahir di dalam sejarah bangsa Indonesia dan telah ikut menghiasi lembaran sejarah bangsa selama kurang lebih 23 tahun terakhir ini. Pasang surut dan dinamika perjalanan PDI ini adalah bahagian tak terpisahkan dari kemajuan yang telah membanggakan bangsa. Tawanya adalah cermin kebahagiaan dan keinginan bangsanya. Kesulitan serta keprihatinannya adalah juga kesulitan dan keprihatinan bangsa.

Ketika partai ini dibentuk pada 1973, ada sejumlah cita-cita dan harapan rakyat Indonesia terpatri di sana bagi usaha meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi bangsa, agar dapat ikut di dalam pergaulan antar bangsa.

Namun apa yang kami alami kurang lebih 3 tahun terakhir ini sangat mem- prihatinkan kami sebagai pimpinan warga partai. Keprihatinan ini juga dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia dan masyarakat internasional.

Secara khusus apa yang PDI alami akhir-akhir ini, khususnya dengan peristiwa 27 Juli 1996 beserta semua rangkaian peristiwa di sekitarnya, adalah suatu keprihatinan yang perlu dikaji dan dipikirkan agar tidak terulang lagi di dalam sejarah bangsa kita.

Sebagaimana diketahui, setelah DPP PDI 1993-1998 dibawah pimpinan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dikup melalui apa yang disebut "Kongres IV Medan" oleh warga dan pihak luar PDI, maka DPP PDI mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum (legal action). Tindakan ini diambil untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas hak-hak kedaulatan DPP PDI 1993-1998 sebagai wujud hak kedaulatan PDI yang merupakan salah satu organisasi sosial politik dan asset nasional bangsa.

Ketika keputusan upaya hukum ini diambil, banyak pihak meragukan efektifitas dan kredibilitas lembaga peradilan untuk mengambil keputusan secara adil dan benar. Banyak pertanyaan yang muncul menyangkut kredibilitas lembaga peradilan kita ini, antara lain, apakah pengadilan berwenang mengadili perkara ini? Apakah lembaga peradilan di Indonesia saat ini berada dalam situasi bebas dan mandiri tanpa tekanan dari pihak manapun untuk mengambil keputusan yang adil dan benar sebagai mana dimaksudkan UUD 1945? Bahkan ada pertanyaan yang lebih ekstrem, apakah dengan demikian DPP PDI 1993-1998 sedang keluar dari sistem? Namun, kami tetap memandang perlu dan bertekad untuk tetap menempuh jalur hukum dengan motivasi dan pertimbangan- pertimbangan pokok sebagai berikut:

1. Masalah ini bukan lagi masalah internal PDI semata-mata, karena jelas terlibat di dalam kasus ini, sejumlah pihak di luar PDI (eksternal), oleh sebab itu tidak dapat diselesaikan secara internal.

2. Apabila ingin diselesaikan secara internal melalui pendekatan konstitusi partai (AD/ART PDI) maka sudah sangat jelas bahwa pertemuan Medan itu tidak sah dan ilegal sebagai suatu kongres partai, sebagaimana telah diputuskan dalam rapat DPP PDI tanggal 4 Juni 1996.

3. Apabila ingin diselesaikan secara internal melalui forum tertinggi partai, ialah kongers partai adalah juga sangat tidak mungkin, karena justru "Kongres IV PDI" itulah yang sedang digugat/diperkarakan.

4. Apabila akan diselesaikan, meIalui Kongres PDI tahun 1998 yang akan datang, atas dasar konstitusi partai mana hal itu diadakan. Apakah Konstitusi 1994 (hasil Munas 1993) ataukah tahun 1996 (hasil pertemuan Medan)? Kalau dasarnya konstitusi partai produk pertemuan Medan maka kongres partai 1998 yang akan datang itu tetap menjadi kongres yang bermasalah, tidak legal dan inkonstitusional.

5. Karena eksistensi PDI juga dijamin dan dilindungi oleh undang- undang negara, maka apabila ada masalah yang tidak dapat lagi diselesaikan dan dijangkau oleh konstitusi internal partai maka demi kepastian hukum harus diselesaikan lewat pengadilan.

6. Masalah yang menimpa DPPPDI 1993-i998, tidak dapat lagi dilihat sebagai masalah intern PDI semata-mata, tetapi sudah menjadi masalah bangsa dan masalah demokrasi Indonesia. Bahkan kasus ini mendapat perhatian masyarakat internasional. Misalnya, masalah kemanusian partai terkait dengan amanat GBHN 1993 maupun W No.3 tahun 1985, tentang parpol dan Golkar.

7. Dengan membawa kasus ini ke pengadilan sekaligus kita uji, apakah peradilan kita saat ini sedang berada sebagai peradilan yang bebas sebagaimana diamanatkan UUD 1945, ataukah benar anggapan masyarakat bahwa lembaga peradilan sedang berada di dalam situasi ketidakberesan yang terintervensi pihak luar, baik itu kekuatan uang maupun kekuasaan.

8. Sekaligus dengan itu dapat kita uji, apakah kita masih tetap negara hukum (Rechsstaat) ataukah sedang tergelincir menjadi negara kekuasaan belaka ?

9. Kalaupun saat ini lembaga peradilan kita sedang berada di dalam suasana tidak bebas dan terbelenggu dan dapat diatur oleh kekuasaan, maka dengan kasus ini kita dorong, kita budayakan, kita perkuat lembaga- lembaga peradilan kita, para hakim kita, agar dapat berdiri teguh sebagai benteng terakhir mempertahankan keadilan, kebenaran, dan demokrasi di negeri kita ini.

10. Dengan seluruh upaya ini kami berharap rakyat semakin sadar dan berani untuk untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak politik, melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada. Dengan demikian kepercayaan rakyat terhadap hukum melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada dapat kita pulihkan. Dengan demikian rakyat diharapkan dapat lebih berani lagi memperjuangkan hak-hak mereka, melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada.

11. Kesemuanya itu pada gilirannya akan ikut membangun dan menumbuh- kan kehidupan bernegara hukum yang lebih baik, sebagai bagian dari upaya pembangunan hukum dan demokrasi negeri kita sebagai-mana diamanatkan oleh GBHN 1993 dan citacita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Dengan seluruh motivasi pokok di atas maka dihubungi sejumlah pengacara senior dari beberapa lembaga bantuan hukum yang ada untuk membantu membawa gugatan kami ke pengadilan. Ternyata respon dari para pengacara hukum ini sangat positif. Puluhan bahkan ratusan pengacara menyatakan kesediaan mereka untuk ikut dalam upaya ini.

Maka atas kerjasama DPP PDI dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan Yayasan Lembaga Keadilan Indonesia (LKI); dibentuklah sebuah tim yang diberi nama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada tangal 27 Juni 1996 di Jakarta. Segera setelah itu dibentuk juga tim yang sama di seluruh Indonesia dimana di dalamnya bergabung seluruh pengacara Indonesia, yang prihatin terhadap apa yang menimpa DPP PDI dan PDI secara keseluruhan sebagai wujud concern dan commited mereka pada kasus diperkosanya Demokrasi Indonesia.

Segera setelah itu mulailah dilakukan gugatan DPP PDI 1993-1998 melalui TPDI terhadap pelaksanaan 'Pertemuan Medan' tanggal 20-22 Juni 1996, yang jelas direkayasa secara paksa menjadi apa yang disebut "Kongres IV PDI". Gugatan yang diberi judul "Demokrasi Indonesia Menggugat" itu, DPP PDI melalui TPDI menggugat semua pihak yang diduga terlibat dan bertanggung jawab dipaksakannya 'Pertemuan Medan' itu sebagai "Kongres IV PDI". Untuk itu TPDI selain menggugat 16 fungsionaris DPP PDI yang membelot yakni, Soerjadi dkk, juga pemerintah (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Panglima ABRI, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia). Dan serentak dengan itu pula, di seluruh Indonesia DPD dan DPC melalui TPDI masing- masing melakukan gugatan terhadap mereka yang menamakan dirinya "Utusan Daerah dan Cabang ke Kongres Medan''.

Pada sidang pertama, gugatan itu harus ditunda karena hakim ketua tidak dapat hadir dengan alasan 'sakit gigi'. Peristiwa yang langka ini mendapat respon dan tanggapan dari masyarakat dan pers. Karena dianggap sebagai "lelucon pengadilan". Peristiwa 'sakit gigi' ini oleh. sementara kalangan dianggap salah satu indikator bahwa kemungkinan besar pengadilan ini tidak akan bebas untuk menilai dan memutuskan perkara ini. Dugaan ini semakin diperkuat dengan keputusan majelis hakim pada persidangan- persidangan berikut, dimana dalam keputusan selanya memutuskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini karena merupakan masalah intern partai.

Terhadap keputusan sela ini, DPP PDI melalui TPDI menyatakan naik banding ke pengadilan tinggi. Sampai saat naskah ini ditulis belum ada berita lebih lanjut tentang nasib perkara ini. Dan hal yang sama ingin dijadikan acuan bagi semua gugatan DPD dan DPC ke pengadilan diseluruh tanah air.

Namun ditengah situasi ini, Pengadilan Negeri Ambon yang menyidangkan gugatan DPD PDI Maluku dan DPC PDI Kodya Ambon, majelis hakim dalam putusan selanya tertanggal 5 desember 1996 memutuskan bahwa Pengadilan Negeri Ambon berwenang mengadili perkara ini. Itu berarti bukan lagi masalah intern sehingga pengadilan melanjutkan persidangan untuk mengadili perkara ini.

Lain lagi yang terjadi di Pengadilan Negeri Semarang, majelis hakim dalam putusan selanya menyatakan, pertama, kehadiran utusan PDI Jawa Tengah ke apa yang disebut Kongres Medan itu adalah tidak sah atau tidak sesuai dengan AD/ART PDI. Namun mengingat kepentingan yang lebih besar maka pengadilan menolak mengadili perkara ini, karena ini adalah masalah intern PDI. Putusan ini menjadi pertanyaan, sebab apakah yang dimaksud dengan 'kepentingan yang lebih besar'? Apakah benar benar dapat diuji bahwa kepentingan itu adalah kepentingan yang lebih besar? Terhadap keputusan ini DPD PDI di Semarang melalui TPDI setempat menyatakan naik banding.

Sementara gugatan ini bergulir di pengadilan, Lembaga Pemilihan Umum (LPIl) menyerahkan formulir Daftar Calon Sementara (DCS) kepada apa yang menamakan dirinya "DPP PDI 1996-1998", hasil "Kongres IV Medan" dibawah pimpinan Soerjadi dkk. Atas tindakan LPU ini, DPP PDI protes keras dan melalui TPDI menggugat LPU ke pengadilan. Alasan kami karena LPU menyerahkan formulir DCS 1997 kepada pihak yang tidak berhak serta diterimanya DCS dari pihak Soerjadi dkk oleh pihak LPU.

Di daerah dan cabang-cabang kami yang masih setia pada konstitusi partai, saat ini-telah mulai dilakukan gugatan terhadap Panitia Pemilihan Daerah I dan II (PPD I & II) atas diterimanya DCS dari pimpinan PDI yang tidak sah dan inskontitusional dan ditolaknya DCS dari pihak kami. Itu berarti, bahwa hak kami untuk dipilih sebagai warga partai di dalam pemilu 1997 dicekal oleh LPU.

Yang menarik dari seluruh proses peradilan ini adalah proses peradilan terhadap 124 orang kader PDI yang ditangkap di kantor DPP PDI J1. Diponegoro no. 58, Jakarta Pusat. Mereka ditangkap ketika berusaha mempertahankan kantor tersebut dari apa yang menamakan dirinya "Kelompok Satgas PDI Soerjadi" pada pagi hari tanggal 27 Juli 1996. Akibat penyerbuan itu banyak jatuh korban yang dirawat di rumah sakit. Bahkan diduga keras ada yang meninggal ditempat. Sebagian lagi sempat meloloskan diri dari bagian belakang kantor tersebut. Ke 124 kader yang berasal dari berbagai daerah di seluruh tanah air ditahan selama lebih kurang 4 bulan dan diadili melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mengenai penyerbuan tanggal 27 Juli 1996 pagi itu yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial di siang harinya di Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai "Sabtu Berdarah atau Sabtu Kelabu", menurut Kelompok Soerjadi dilakukan oleh Satgas PDI Pro Soerjadi tanpa menggunakan alat apapun alias tangan kosong. Namun dari keterangan sejumlah saksi di pengadilan, terungkap secara transparan bahwa yang menyerbu itu bukan hanya kader-kader PDI, tetapi lebih banyak orang-orang di luar PDI termasuk sejumlah oknum aparat dan orang-orang non PDI yang dibayar. Para penyerbu dipersenjata~i dengan sejumlah alat seperti tongkat pemukul dari kayu, besi, dan sebagainya. Semua ini sangat menusuk rasa keadilan warga PDI, para praktisi hukum dan masyarakat luas. Lantas timbul pertanyaan: Mengapa justru orang yang diserbu yang diadili, sementara pihak yang menyerbu sama sekali tidak terjamah hukum?

Walaupun terhadap peristiwa penyerbuan tanggal 27 Juli 1996 pihak DPP PDI melalui Sekjen DPP PDI Alexander Litaay dan Komandan Satgas Agung Imam Sumanto pada tanggal 7 Agustus 1996 telah melaporkan hal itu kepada pihak Polda Metro Jaya, namun sampai saat ini laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak Polda Metro Jaya.

Selain itu KOMNAS HAM di dalam rekomendasinya mengenai peristiwa 27 Juli 1996, yang dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1996, telah meminta kepada pemerintah untuk segera mengusut peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI J1. Diponegoro No.58, Jakarta Pusat, pada Sabtu pagi tanggal 27 Juli 1996 tersebut. Namun sampai saat ini rekomendasi itu belum juga ditindaklanjuti oleh Pemerintah.

Sampai saat ini kami belum tahu persis nasib dari seluruh proses hukum yang kami tempuh ini karena belum ada keputusan akhir dari seluruh proses hukum tersebut. Di dalam rentang waktu itu, bisa saja masyarakat diprovokasi melalui media massa bahwa kamilah justru yang berada di pihak yang salah. Kebenaran bisa diputarbalikkan oleh penguasa, dan apabila setiap hari itu dilakukan masyarakat umum bisa menerima kebohongan sebagai kebenaran.

Agar hal itu tidak terjadi, kami sajikan buku ini ke hadapan para pembaca, masyarakat umum, bangsa Indonesia, sebagai catatan historis yang belum selesai, sekaligus sebagai pertanggung jawaban kami kepada masyarakat dan bangsa kita. Kami yakin bahwa sebagaimana sejarah bangsa-bangsa telah membuktikan bahwa pada akhirnya kebenaran itu akan muncul dan menang. Di dalam keyakinan itulah maka kami akan terus berjuang bersama- sama dengan seluruh rakyat dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia untuk secara bersamasama membangun suatu kehidupan masyarakat, bangsa dan negara kita ke atah yang lebih baik, sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa tetap meridhoi perjuangan kita.

Merdeka!

Jakarta, 11 Maret 1997

DPP Partai Demokrasi Indonesia 1993-1998

Ketua Umum ` Sekretaris Jenderal

Megawati Soekarnoputri Alexander Litaay

MENGEMBALIKAN SUPREMASI HUKUM

Kata Pengantar RO. Tambunan, SH

Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Demikian bunyi penjelasan Undang Undang Dasar 1945. Kalimat konstitusi itu merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan bukan negara kekuasaan. Selanjutnya, pada pasal 27 ayat 1 ditegaskan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Dua penegasan dalam konstitusi kita tersebut menjadi patokan dasar dan pilar yang begitu penting dalam penerapan hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan sebagai negara hukum di satu pihak dan kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, mengandung arti bahwa negara akan memberi perlindungan hukum dan keadilan bagi semua warga negara.

Berdasar konstitusi itu, jelaslah bahwa para pendiri republik yang kita cintai ini menghendaki terwujudnya sistem kenegaraan dengan ciri-ciri yang digolongkan oleh sejumlah ahli sebagai negara demokrasi konstitusional. Yaitu negara yang tunduk terhadap supremasi hukum di atas kekuasaan. Dengan dasar ini pula, tidak dikenal adanya hak previlese yang memunculkan diskriminasi penegakan hukum. Di hadapan undang-undang, segala warga negara berkesamaan kedudukan. Tidak ada yang lebih tinggi dibanding yang lainnya. Oleh karenanya di negara bercirikan demokrasi konstitusional dikenal adanya istilah 'rule of law'. Aturan main yang mengikat seluruh warga negara, baik penguasa maupun rakyat. Karena dengan adanya 'rule of law' diharapkan mampu mencegah munculnya tindakan sewenang- wenang dari penguasa, maupun perbuatan anarkis dari rakyat.

Sudah barang tentu, untuk tegaknya rule of law maka mensyaratkan adanya peradilan yang bebas dan mandiri. Dengan adanya peradilan yang bebas dan mandiri, diharapkan hakim-hakim bisa bersikap mandiri dan tidak memihak dalam mengambil putusan. Karena dengan adanya kekuasan kehakiman yang bukan sub-ordinat kekuasaan pelaksana pemerintahan (eksekutif, bisa dicegah munculnya peluang kekuasaan bersifat absolut (diktator, totaliter) yang menurut Lord Acton cenderung korup. Dari sana pula dapat dicegah munculnya, diktator mayoritas maupun tirani minoritas.

Prinsip-prinsip kehidupan bernegara dan bermasyarakat (maupun interaksi antara keduanya) yang dibangun negara bercirikan demokrasi konstitusional selalu dikaitkan dengan nilai dasar yang melekat dengan gagasan demokrasi itu sendiri. Secara singkat, nilai dasar yang dikandungnya adalah persamaan dan kemerdekaan manusia. Dan, demokrasi, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ia dibangun atas dasar asumsi bahwa pada hakekatnya manusia itu sama derajatnya, sama rasionalnya, sama pula kemampuannya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama melalui kehidupan bernegara. Rekayasa Kongres Medan dan lahirnya TPDI

Rekayasa Kongres Medan dan Lahirnya TPDI

Negara kita adalah negara demokrasi, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana hal itu tercantun dan diakui secara tegas dalam UUD 1945. Kedaulatan rakyat dan aspirasi rakyat itu disalurkan melalui partai politik.

Sebagai penyalur dari aspirasi dan kedaulatan rakyat maka partai politik adalah pilar demokrasi dan sebagai pilar demokrasi, partai politik selain harus berwibawa tetapi juga harus mandiri. Dengan perkataan lain kewibawaan dan kemandirian partai politaik adalah syarat utama terlaksanannya kedaulatan dan aspirasi rakyat. Apabila partai politik tidak berwibawa dan tidak mandiri maka prinsip yang mengatakan "Kedaulatan ada ditangan rakyat ", hanya merupakan semboyan belaka. Apabila kita melihat sejarah kepertaian dalam dekade 30 tahun terakhir ini maka tipe ideal dari suatu partai politik sebagai penyalur aspirasi dan kedaulatan rakyat sama sekali tidak terwujud dalam kehidupan politik di Indonesia.

Dua partai politik dan satu golongan karya sebagai satu-satunya organisasi sosial politik yang berhak hidup berdasarkan undang-undang yang berlaku, kesemuanya tidak dapat dikatakan sebagai orsospol yang berwibawa dan mandiri. Apabila Golongan Karya sebagai organisasi sosial politik yang berdasarkan kepada karya dan kekaryaan, mustahil dapat melepaskan diri dari kekuasaan birokrasi maka kedua partai politik PPP dan PDI, sulit untuk dikatakan bisa mandiri dan berwibawa. Pengaruh pemerintah dan penguasa terhadap kehidupan kepartaian sudah sangat jauh dan sangat dalam, terutama dalam menentukan kepengurusan dan kepemimpinan partai.

Hampir dalam setiap kongres atau munas atau muktamar dari orsospol dan ormas dicampuri oleh pemerintah dan kekuatan-kekuatan eksternal lainnya. Dengan ,nenamakan dirinya sebagai "pembina politik" pemerintah di pusat dan di daerah dapat mencampuri setiap kegiatan orsospol dan ormas, padahal lembaga "pembina politik " sama sekali tidak dikenal dalam sistim perundangan kita. Sebaliknya dari segi orsospol dan ormas itu sendiri sudah menjadi tradisi bahwa dalam menentukan kepengurusan selalu berkonsultasi terlebih dabulu dengan pembina politik tersebut. Dengan sistem seperti itulah kehidupan partai politik, praktis dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah sehingga orsospol mana yang kebetulan memegang kekuasaan eksekutif, maka dialah yang mengendalikan kehidupan kepartaian di Indonesia dan dalam sistim seperti itu sudah tentu peranan partai politik selaku penyalur aspirasi rakyat dan. kedaulatan rakyat praktis tidak berfungsi.

Campur tangan secara eksternal seperti itulah kemudian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap tubuh Partai Demokrasi Indonesia dengan merekayasa sebuah kongres di Medan. Dengan melibatkan "pembina politik" di pusat dan daerah serta jajaran aparat lainnya jelas bahwa "Kongres Medan" adalah suatu rekayasa politik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah dengan bekerjasama dengan oknum-oknum partai yang kurang mempunyai kepribadian dan kemandirian.

Dalam menjalankan kongres tersebut ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dikesampingkan. Kesewenangan dan keleluasaan yang besar pada pembina politik dalam kurun waktu yang cukup lama, menyebabkan semakin ia berani jauh memasuki kehidupan kepartaian seperi yang dilakukannya terhadap Partai Demokrasi Indonesia. Sudah tentu tidak saJa dari segi politik hal itu tidak dibenarkan, akan tetapi, Juga dari segi hukum sangat tercela karena anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dengan semena-mena dikesampingkan dan legalitas serta keabsahan kepemimpinan partai semata-mata ditentukan oleh pengakuan pemerintah, bukan lagi oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.

Keadaan seperti itu sangat bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dimana dalam konstitusinya secara jelas menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan.

Dari segi ini advokat dan pengacara Indonesia merasa terpanggil. Kesadaran hukumnya dan kepekaanya terhadap keadilan tersentuh sehingga pada saat Megawati Soekarnoputri mengumumkan bahwa PDI yang dipimpinya akan menempuh legal-action dalam memper- tahankan hak-hak politiknya yang telah dirampas secara semena-mena, maka para advokat dan pengacara Indonesia dengan spontan menyambut legal action itu. Lalu lahirlah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), yang serta merta menyiapkan dirinya berada di belakang DPP PDI Megawati Soekarnoputri dalam mempertahankan hak-haknya melalui saluran hukum. Dari hanya 7 orang pendirinya (Amartiwi Saleh, RO. Tambunan, Max Junus Lamuda, Tumbu Saraswati, Luhut M. Pangaribuan, Bambang Widjojanto, Nusyirawan A. Tabrani) sekarang sudah mencapai ribuan pengacara yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pembentukan TPDI dibidani oleh IKADIN-LKI dan YLBHI akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya anggota TPDI di seluruh Indinesia sudah terdiri dari hampir semua unsur organisasi profesi hukum. Mengapa begitu besar antusias dan dukungan TPDI terhadap perjuangan DPP PDI Megawati, hal itu semata-mata didasarkan pada keyakinan bahwa persoalan yang menimpa PDI pada waktu ini bukan lagi semata-mata hanya kepentingan PDI atau DPP PDI Megawati saja, akan tetapi sudah menjadi kepentingan semna orang, kepentingan bangsa dan negara sehingga mana- kala TPDI dalam menjalankan profesinya membela DPP PDI Megawati begitu gigih dan bersemangat bukanlah didasarkan pada kepentingan politik melainkan karena dorongan dari kesadaran hukum, keadilan dan kebenaran yang terkandung dalam lubuk hati TPDI secara nasional.

Kasus 124 Pendukung Mega

Kapanpun dan siapapun di republik tercinta ini akan sulit melupakan lembaran hitam yang dikenal dengan peristiwa 'Sabtu Kelabu' 27 Juli 1996. Berdasar fakta yang terungkap, baik di dalam maupun di luar persidangan, jelas penyerbuan 27 Juli itu dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Kenapa?

Pertama, keberadaan pendukung Megawati Soekarnoputri di sekretariat DPP-PDI sepenuhnya dijamin pasal 28 UUD 1945 yang menegaskan adanya hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Siapapun yang bertindak sehingga mengakibatkan tercabutnya jaminan atas hak warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat jelas bertentangan dengan konstitusi dasar (yang maknanya sudah jelas dan tidak perlu lagi direduksi dengan peraturan- peraturan di bawahnya yang justru menghilangkan substansi kalimat dalam pasal itu).

Kedua, tindak penyerbuan itu tidak sah karena tidak disertai dokumen legal yang dikeluarkan pejabat berwenang, yaitu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berupa perintah pengosongan gedung.

Ketiga, perintah pembubaran oleh pejabat yang berwenang seharusnya ditujukan kepada massa "pendukung" Soerjadi yang bergerombol memacetkan jalanan, bukan ditujukan kepada pendukung Mega yang justru berada di sekretariat.

Dan keempat, penyerbuan yang dilakukan secara ilegal itu berakibat jatuhnya korban. Berdasar temuan Komnas HAM yang diumumkan pada 10 Oktober 1996, korban meninggal 5, hilang 23 dan luka-luka 149. Karena tindakan itu telah menyebabkan adanya korban, sudah seharusnya Soerjadi dan para pendukungnyalah yang dikenai tuduhan pasal 170 ayat 1 dan 2 KUHP.

Kenapa justru 124 kader-kader PDI Pro Megawati (yang berada di kantor DPP PDI dan menjadi korban penyerbuan) yang ditangLap dan diadili? Padahal mereka sedang melaksanakan tugas yang legal, yaitu mengamankan sekretariat. Mereka dianiaya, digebuk sehingga ada yang cacat. Bahkan banyak diantara rekan mereka yang meninggal, terluka dan dinyatakan hilang. Sekali lagi, kenapa justru mereka? Sedangkan si penyerbu tidak satupun ditangkap dan diadili. Berdasar fakta ini jelas terlihat, peristiwa 27 Juli telah menambah daftar 1embaran hitam tradisi penegakan hukum di republik tercinta ini Di sana nampak, kendati dibungkus dengan dalih apapun, adanya diskriminasi penegakan hukum. Kenyataan ini tentu saja bertolak belakang dengan prinsip-prinsip negara hukum menempatkan supremasi hukum di atas kekuasaan.

Sejak semula telah terlihat bahwa aparat keamanan bukan hendak men- jalankan hukum melainkan hendak menjalankan kekuasan. Tindakan hukum yang dilakukan terhadap 124 orang tersebut hanya sekadar sebagai upaya pembenaran terhadap penyerbuan itu seolah-olah ke-124 orang itu telah terbukti bersalah oleh sebab itu penyerbuan itu secara hukum adalah sah dan dapat dibenarkan. Hukum ternyata memang tidak berpihak kepada yang lemah karena hukum telah digunakan sebagai alat pemukul semata. Sejak ke-124 orang itu diangkut ke Polda Metro Jaya yang kemudian ditahan dan diproses sebagai tersangka sudah terlihat suatu keganjilan bahkan suatu keajaiban dalam penerapan hukum di Indonesia karena mereka yang menjadi korban penyerbuan yang seharusnya dilindungi oleh hukum malah dijadikan sebagai tersangka, untuk kemudian sebagai terdakwa dipengadilan, sedangkan "gerombolan" Soerjadi yang melakukan penyerbuan, penganiayaan dan pengrusakan sama sekali tidak disentuh oleh hukum. Rasa keadilan kita sudah jelas tidak dapat menerima keadaan tersebut.

Begitu perkaranya dilimpakan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka mulailah suatu babak baru dalam penjuangan merebut keadilan dan kebenaran dalam forum pengadilan yang sering disebut sebagai "BENTENG KEADILAN" itu.

Apabila waktu di kepolisian dan di kejaksaan mereka tidak mendapat perlakuan hukum secara adil dan patut maka perjuangan terakhir yang dilakukan oleh mereka adalah merebut benteng keadilan agar pengadilan kiranya dapat memeriksa perkaranya secara seksama dan memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum dan kebenaran. Para terdakwa dengan dibela oleh 50 orang Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan mendapat dukungan moril yang kuat dari Megawati Soekarnoputri dan seluruh jajarannya berjuang keras di forum pengadilan untuk merebut "Benteng Keadilan" itu. Dengan suka dan duka mereka bersama TPDI menghadapi tuduhan-tuduhan yang ditujukan terhadapnya. Dipaparkan dalam persidangan terbuka itu bahwa penyerbuan 27 Juli adalah suatu rekayasa atau persekongkolan antara kelompok Soerjadi dengan aparat untuk merebut kantor DPP PDI J1. Diponegoro 58 tersebut sedangkan mereka, 124 orang yang menjadi korban penyerbuan itu adalah sekedar tumbal yang dikambinghitamkan.

Dalam suasana hiruk pikuk persidangan masal itu mereka berjuang menuntut dan berharap agar hakim pemegang palu itu dapat kiranya memberikan putusan yang adil sesuai hukum dan kebenaran. Akan tetapi rupanya benteng keadilan itu terlalu tangguh untuk dapat direbut. Segala fakta dan bukti, argumentasi dan jeritan hati nurani yang di- perdengarkan di persidangan dari yang histeris sampai pada yang syahdu dan memelas, tidak sanggup meruntuhkan benteng keadilan itu. Sebaliknya keangkeran dari Benteng Keadilan itu serta-merta diperlihatkan oleh hakim dengan putusan-putusannya yang sudah diseragamkan yaitu menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan dihukum dengan hukuman penjara yang diklopkan dengan masa tahanannya yaitu 4 bulan 3 hari.

Kenapa hukumannya 4 bulan 3 hari? Hal itu disebabkan karena pada hari itu, hari dijatuhkannya putusan itu, masa tahanan mereka sudah 4 bulan 3 hari sehingga dengan putusan seperti itu mereka dapat di- bebaskan dari tahannya. Disini sekali lagi terlihat bahwa penjatuhan hukuman itu bukan karena mereka bersalah akan tetapi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan lain, sehingga putusan lebih didasarkan pada pertimbangan lain dan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan hukum secara murni. Dengan perkataan lain putusan hakim sama sekali tidak adil dan tidak pada tempatnya.

Kalau demikian adakah yang salah dalam sistem peradilan kita? Disinilah letak persoalannya. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka dan tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah dan oleh siapapun juga, begitu secara jelas diatur dalam konstitusi serta perundang-undangan kita. Dengan prinsip kemandirian seperti itu dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan me- mutuskan perkara dapat dengan leluasa mempertimbangkan dengan seadil-adilnya sesuai dengan hukum dan kebenaran. Itulah tipe ideal dari suatu negara hukum di mana yang berlaku adalah supremasi hukum, bukan supremasi kekuasaan. Akan tetapi seperti telah dipertontonkan secara jelas dalam adeganadegan persidangan dan kemudian lebih nyata dari putusan-putusan hakim yang sangat tidak pada tempatnya itu, maka hakim ternyata tidak mampu menyuarakan hati nurani dan kesadaran keadilan yang ada pada dirinya dalam bentuk putusan yang benar dan adil, melainkan dia ternyata hanya sekedar instrumen dari alat kekuasaan yang sedang berkuasa. Hakim tidak berdaya mengahadapi pengaruh- pengaruh politik dan kekuasaan sehinga adigium yang mengibaratkan pengadilan sebagai benteng keadilan ternyata hanya sekedar semboyan belaka.

Dengan keadaan seperti itu sudah tentu kita sangat kecewa terhadap dunia peradilan kita, sebab keadilan dan kebenaran, khususnya dalam kasus-kasus yang bermuatan poltik, sulit tercipta dalam putusan-putusan hakim. Kalau demikian kemana lagi rakyat harus mengadu manakala mereka berhadapan dengan perampasan dan perkosaan terhadap hak-hak mereka. Apakah mereka akan tetap mengadu ke pengadilan sedang mereka tahu bahwa pengadilan tidak mampu memberikan putusan yang adil pada mereka? Inilah persoalan politik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu ini. Di satu pihak dengan bangga kita menyatakan bahwa negara kita adalah negara hukum akan tetapi di pihak lain rasa malu selalu mencekam mengingat wajah hukum dan peradilan kita yang coreng- moreng tidak karuan

Jakarta, Mei 1997

RO. Tambunan

(bersambung)