KATA PENGANTAR
SESUDAH 3 tahun 3 bulan saya bertugas sebagai Duta Besar Rl di Moskow, pada bulan April 1967 kembali ke tanahair. Sebelum saya pulang, Menteri Luar Negeri Adam Malik datang ke Moskow dan menawarkan kepada saya pos baru sebagai Duta Besar di Stokholm. Tawaran ini saya tolak, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah minta kepada Adam Malik supaya masa tugas saya di luar negeri, tidak diperpanjang.
Setiba di Jakarta, saya berusaha melapor kepada Bung Karno yang mengangkat saya sebagai Duta Besar di Moskow. Saya berhasil menghadap di Istana Merdeka, meski pun singkat waktunya. Waktu itu, MPRS sudah meloloskan Ketetapan No. XXXIII yang mencopotnya sebagai Presiden. Tapi masih tetap diperlakukan sebagai Presiden tak berkuasa, karena yang menggantikannya, baru Pejabat Presiden, yaitu: SOEHARTO.
Bung Karno dalam pertemuan singkat itu menanyakan, bagaimana penilaian Uni Sovyet mengenai Gerakan 30 September 1965. Saya jawab: " Dinilai sebagai kontra revolusi". Spontan Bung Karno menanggapi: "Itulah yang benar!"
Bagi saya sendiri, penilaian Bung Karno mengenai G30S seperti yang disampaikannya kepada MPRS dalam "Pelengkap Nawaksara" yang ditolak oleh MPRS, merupakan tantangan untuk diteliti dan dilacak.
Bung Karno menilai, sebab-sebab terjadinya G30S ialah:
1. Keblingernya pemimpin-pemimpin PKI.
2. Lihaynya NEKOLIM.
3. Adanya oknum yang tidak benar.
Ternyata saya menemukan banyak hal mengejutkan yang mendukung penilaian Bung Karno tersebut. Itulah pula yang mendapat porsi besar dibahas dalam buku ini.
Sewaktu saya kembali dari Istana, di rumah sudah ditunggu oleh seorang perwira CPM, menanyakan apa saja yang saya bicarakan dengan Bung Karno.
Satu cermin kecurigaan.
Memang banyak pertimbangan ketika menyelesaikan penyusunan buku ini, terutama bagaimana menyesuaikan dengan kondisi politik dalam negeri yang tidak selalu mendukung pandangan yang berbeda dengan sikap yang formal.
Tapi bertiupnya sedikit angin "keterbukaan" sejak pertengahan 1993, diikuti upaya kelompok masyarakat yang meminta supaya Pemerintah mengadakan rekonsiliasi nasional untuk menyembuhkan luka nasional yang sudah berlangsung lebih dari seperempat abad karena akibat terjadinya "Gerakan 30 September 1965", cukup membantu meredam keraguan yang selama ini membayangi.
Meski pun demikian, masih banyak kendala teknis yang harus diatasi, mengingat masalah yang dibahas sudah dimakan waktu yang cukup lama, sehingga penelusurannya sering diselimuti kekaburan. Untuk menembus kekaburan ini, diperlukan studi yang kritis dan riset yang cermat.
Supaya tercapai hasil yang diharapkan, tentu saja memerlukan bantuan fakta yang telah didokumentasikan dan penuturan langsung dari para pelaku yang masih bisa dihubungi.
Sayangnya kedua cara ini, tidak bisa dilakukan dengan sempurna, karena berbagai kendala. Dokumentasi yang otentik, sulit didapatkan di dalam negeri, tapi sebagian bisa diperoleh di negeri Belanda. Copy dari dokumen-dokumen itu, berada di sana. Dengan bantuan kenalan di Nederland, fotocopy dokumentasi yang berasal dari Indonesia, bisa dikirimkan kepada saya.
Tidak kurang penting artinya, bantuan teman dari Amerika yang baik hati, mengirimkan fotocopy arsip dokumentasi dari "President Johnson Library" di Washington yang sudah terbuka untuk umum, memuat catatan tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai pergolakan di Indonesia, termasuk dalam "Gerakan 30 September 1965 ".
Juga mereka mengirimkan kepada saya beberapa makalah mengenai pembahasan "Gerakan 30 September 1965" yang ternyata menarik perhatian banyak akademisi di Amerika, bahkan di Eropa, yang dipresentasikan di berbagai forum terhormat di Amerika dan di Eropa.
Untuk semua kebaikan hati mengirimkan naskah yang sangat berharga itu, saya merasa berhutang budi sekali dan mengucap- kan terima kasih yang tiada terhingga.
Untuk mewawancarai bekas tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam gerakan, meski pun mereka umumnya saya kenal, karena tadinya kolega di Dewan Perwakilan Rakyat, Konstituante dan MPRS, tidaklah mudah. Terutama sekali karena tempat domisili mereka terpencar-pencar di berbagai kota di Jawa dan sulit menemukan alamatnya. Juga setelah diwawancarai, mereka agaknya tidak mengungkapkan semua, ada reserve dan tidak bersedia disebut namanya sebagai sumber keterangan karena berbagai pertimbangan security, sehingga keterangan mereka memerlukan penyaringan yang ekstra ketat.
Saya merasa beruntung karena masih berhasil mewawancarai 10 bekas tokoh PKI, baik bekas tahanan Pulau Buru atau yang bekas menjalani hukuman penjara yang rata-rata 20 tahun ke atas.
Di samping itu, berbagai buku bacaan baik terbitan dalam negeri mau pun luar negeri yang membicarakan masalah "Gerakan 30 September 1965", ikut membantu melengkapi pembahasan buku ini sebagai bahan perbandingan.
Ada pun tujuan penerbitan buku ini, ialah berusaha mengungkapkan bagian dari sejarah kita yang terasa kontroversial, meski pun beberapa fakta yang dikemukakan di sini mungkin terasa pahit bagi golongan tertentu. Namun kebenaran harus ditegakkan, kehormatan bagi pelaku sejarah, haruslah diberikan kepada yang berhak menyandangnya.
Seharusnya kita berani berkata "ya" terhadap yang benar dan "tidak" terhadap yang salah.
Manai Sophiaan
Jakarta, 5 September 1994.
(bersambung)