(c) 2001 edited by , PNSABK and compiled by



Oh NASIB ….. SUPERSEMAR …..
SEMINAR SUPERSEMAR, Jakarta 8 Maret 2001


Halaman 1
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Halaman 5
Halaman 6
Halaman 7
Lampiran 01
Halaman 8
Halaman 9
Lampiran 02
Halaman 10
Lampiran 03
Halaman 11
Lampiran 04
Halaman 12
Lampiran 05
Halaman 13
Halaman 14
Halaman 15
Halaman 16
NAWAKSARA
Halaman 17
Halaman 18
Halaman 19
Halaman 20
Halaman 21
Halaman 22
Halaman 23
Pelengkap
Halaman 24
Halaman 25
Halaman 26









(Halaman 15)

LAMPIRAN 05


Penguasa Gedung Putih mulai patah semangat. Tanda kekalahan kelompok yang dibantu, yang disebutnya 'patriot sejati' itu makin jelas. Tetapi CIA dengan intelijen AL AS tetap memasok informasi keliru. Dalam laporannya, kekalahan pemberontak antikomunis akan mengguncang Malaya, Thailand, Kamboja, dan Laos. Ini sangat berbahaya. Atas pertimbangan itu AS akhirnya tetap melanjutkan bantuan pada pemberontak, khususnya Permesta di Sulawesi Utara.

Belajar dari kekalahan PRRI di Sumatra, di Sulawesi Utara penerbang AS dan Taiwan memberi perlindungan payung udara bagi Permesta. Pesawat pembom malang melintang memutus jalur transportasi laut. Ambon, Makasar, bahkan Balikpapan dihujani bom. Korban terus bertambah. Namun, semua usaha ini juga menemukan kegagalan untuk menekan Jakarta. Ofensif dibalas dengan ofensif. Jenderal Nasution terus mengerahkan pasukan terbaiknya untuk merebut satu per satu pertahanan Permesta. Puncaknya ketika ALRI menembak jatuh pesawat pembom yang dikemudikan Allen Pope, warga negara AS, di Teluk Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat internasional. Apalago Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA. Kecaman terhadap agresi As mulai mengalir.

Tanpa sedikitpun merasa bersalah, AS kemudian dengan gampang putar haluan. Dari membantu peralatan perang dan menyebarkan informasi bohong mengenai ancaman kominis terhadap stabilitas Asia Tenggara jika pemberontak kalah. Gedung Putih kemudian memutuskan membantu ekonomi dan militer Indonesia. Namun kebijakan baru ini bukan berarti terputusnya hubungan dengan pemberontak yang disebutnya masih punya 'masa depan' itu. Melalui jaringan CIA, sejumlah senjata ringan masih dipasok bagi DI/TII di Sulawesi dan Aceh, serta Permesta di Sul.Utara. Pres. Eisenhower menyebutnya sebagai 'bermain di dua pihak'.

*******************************

Kebijakan bermuka dua ini, tanpa peduli apa dan berapa banyak korban jiwa dan harta benda. Lantas di balik selubung bahaya ancaman komunisme, AS selalu berhasil memperdayai elite militer dan politik Indonesia. Gambaran lebih jelas mengenai Indonesia dikemukakan Pres. Eisenhower dalam konferensi gubernur negara bagian AS tahun 1953. Ia mengatakan, sumbangan AS sebesar 400 juta dolar AS membantu Perancis dalam perang Vietnam bukanlah sia-sia. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, negara tetangganya akan menyusul pula. 'Kita tidak boleh kehilangan Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya', ujarnya.

Bagi AS, di dunia ini hanya dikenal dua blok, yaitu komunis dan liberal. Di luar jalur itu dikategorikan sebagai condong ke komunis. Maka dengan kosmetik demikianlah bagi AS tidak ada ampun untuk seorang nasionalis seperti Soekarno. Tahap pertama operasi intelijen dengan membantu dana dua partai politik besar yang disebutnya antikomunis, agar bisa merebut suara dalam Pemilu 1955. Perolehan suara ini diharapkan akan mengurangi dukungan bagi Soekarno. Perkiraan ini meleset. PKI yang paling tidak disukai AS dan dianggap loyal terhadap Soekarno, justru memperoleh jumlah suara mengejutkan, hingga menempatkannya di urutan kelima. Padahal tujuh tahun sebelumnya, atau tahun 1948, PKI sudah diancurkan dalam peristiwa Madiun.

_________________




 

Back

Forward