(c) 2001 edited by , PNSABK and compiled by



Oh NASIB ….. SUPERSEMAR …..
SEMINAR SUPERSEMAR, Jakarta 8 Maret 2001


Halaman 1
Halaman 2
Halaman 3
Halaman 4
Halaman 5
Halaman 6
Halaman 7
Lampiran 01
Halaman 8
Halaman 9
Lampiran 02
Halaman 10
Lampiran 03
Halaman 11
Lampiran 04
Halaman 12
Lampiran 05
Halaman 13
Halaman 14
Halaman 15
Halaman 16
NAWAKSARA
Halaman 17
Halaman 18
Halaman 19
Halaman 20
Halaman 21
Halaman 22
Halaman 23
Pelengkap
Halaman 24
Halaman 25
Halaman 26









(Halaman 7)


16. Puncak dari rekayasa politik untuk menjatuhkan Pres. Soekarno dengan menggunakan 'cara-cara konstitusional', tercapai pada waktu diadakan SI MPRS tanggal 7 - 12 Maret 1967, yang pada hari terakhir persidangan yaitu pada tanggal 12 Maret 1967 itu menelorkan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yang intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Dr.Ir. Soekarno, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Dengan TAP tersebut lengkaplah pengasingan/pengisolasian Bung Karno, tidak saja dicopot jabatan-nya, juga sejak itu beliau dimatikan hak-hak politiknya, dimana antara lain beliau dilarang melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum (Pasal 3).

17. Pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan dengan 'merayap penuh kesabaran, kejam dan terencana', memang telah mampu membius dan membuat takut rakyat dan bangsa Indonesia, seolah-olah segala sesuatunya adalah benar dan wajar sehingga tidak menyadari bahwa itu semua adalah rekayasa politik untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Selanjutnya dalam SI MPRS tersebut, TAP-TAPMPRS sebelumnya - yang ditelorkan setelah kita kembali ke UUD 45 - dicabut satu persatu, misalnya gelar Pemimpin Besar Revolusi, dll.

18. Tragedi yang dialami bangsa Indonesia sejak 1965 hingga 1967 sebenarnya merupakan pelaksanaan dari 'grand strategy, grand design' kaum imperialis. Sejak lama memang Bung Karno diincar oleh kaum imperialis (terutama AS) untuk disingkirkan atau dibunuh. Akhirnya terlaksanalah kehendak kaum imperialis itu dengan digulingkannya Pres. Soekarno 'secara quasi konstitusional' pada tanggal 12 Maret 1967.

Perlu pula disimak, bahwa pada waktu Pres. Soekarno belum secara penuh dilengserkan, namun segera setelah SU MPRS ke-IV dan menjelang SI MPRS tanggal 7-12 Maret 1967 keluarlah Undang-undang pertama dalam tahun 1967, yaitu UU No.1 tahun 1967 tentang 'Penanaman Modal Asing', yang diundangkan oleh Pengemban SP 11 Maret 1966, bukan oleh Presiden seperti dimaksudkan oleh sistem hukum kita. Secara materiil seharusnya dilaporkan dulu kepada Presiden (karena materinya tidak relevan dengan penugasan dalam SP 11 Maret 1966), dan secara prosedural melanggar sistem hukum).

Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa memang benar tangan-tangan asing telah terlibat, dan sejak itu mereka menuntut buah dari peranannya, untuk mencengkramkan kukunya kembali, meraup keuntungan besar di persada ibu pertiwi dan bangsa Indonesia. Kita terjajah lagi sekarang.

19. Dari seluruh uraian di atas, kiranya dapat dipetik kesimpulan bahwa:

a. Sejak tanggal 2 Oktober 1965 Jend. Soeharto telah memulai dengan gerakan- gerakan pembangkangan/insubordinasi yang tentunya tidak patut dilakukan oleh seorang Jenderal/Pejuang terhadap atasannya, Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI, kecuali tentu ia memang sudah merencanakan sustu design/strategy tertentu untuk mengambil-alih kekuasaan pemerintahan.

b. Pada tanggal 11 Maret 1966 pagi, nyata-nyata telah dilakukan propokasi untuk melancarkan gerakan coup d`état, dengan menggunakan kekuatan bersenjata (pasukan) tak dikenal mengepung istana, yang dimaksudkan sebagai tekanan psikologis (perang urat syaraf) untuk akhirnya mendapatkan SP 11 Maret 1966.

c. Isi pokok SP 11 Maret 1966 tidak dilaksanakan oleh Pengembannya, kecuali sepotong anak kalimat pertama dari butir 1 SP tersebut. Walaupun ditegor dan diperingatkan, namun Jend. Soeharto tetap menjalankan politiknya sendiri, suatu perbuatan yang nyata-nyata melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

d. Penangkapan-penangkapan dan penahanan dilakukan secara membabi buta, dan komposisi DPR-GR/MPRS dirombak total, sehingga melahirkan lembaga legislatif 'stempel' atau 'yes-men'. Dengan komposisi legislatif yang demikian itu diadakanlah Sidang Umum dan Sidang Istimewa MPRS.

e. Penggulingan Pres. Sukarno direkayasa sedemikian rupa seolah-olah hal tersebut konstitusioanl. Namun bila disimak dengan saksama konsideran dari TAP-TAP MPRS yang berkaitan dengan subyek itu, ternyata kentara sekali bahwa alasan- alasan yang dipergunakan sangat mengada-ada dan dapat dan mudah diperdebatkan. Atas dasar itu sulit untuk dapat menerima bahwa tindakan-tindakan Jend. Soeharto tidak menyimpang atau sesuai dengan amanat SP 11 Maret 1966 yang murni, dan dalam banyak hal tindakannya justru mengingjak-injak dan mengingkari api/semangat SP tersebut. Karena itu pula lebih lanjut sulit menerima tindakannya (Jend. Soeharto) sesuai dengan hukum, terutama hukum konstitusi.

f. Karena tindakan-tindakan Jend. Soeharto adalah melanggar hukum, maka segala hasil rekayasa politiknya adalah tidak sah.

Lengsernya Pres. Soeharto dan yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Habibie-pun merupakan perselingkuhan dalam menafsirkan Pasal 8 UUD 45.

Jakarta, 20 Juli 2000.

______________




 

Back

Forward