15. Dalam Sidang Umum MPRS ke IV, tanggal 20 Juni - 5 Juli 1966, Presiden Soekarno telah menyampaikan pertanggung-jawabnya tentang masalah-masalah politik terutama pada kurun waktu 1965 - 1966, yang diberi judul 'Nawaksara' (sembilan pokok permasalahan).
Sudah dapat diduga bahwa Nawaksara ini akan ditolak oleh MPRS yang telah di 'make-up'. Demikian juga 'Pelengkapnya', yang disampaikan Pres. Soekarno dengan surat kepada MPRS No. 01/Pres/1967, tanggal 10 Januari 1967.
Kemudian, dalam situasi yang sudah sangat sulit itu, usaha terakhir demi bangsa yang dicintainya, Pres. Soekarno membuat 'Rancangan Pengumuman' Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967, yang intinya 'menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban SP 11 maret 1966'. Ternyata rancangan ini ditolak oleh Pemerintah/Pengemban SP 11 Maret 1966 melalui Keterangan Pemerintah pada Sidang Pleno DPR-GR tanggal 4 Maret 1967. Dalam keterangannya tersebut, Pemerintah (Pengemban SP 11 Maret 1966) antara lain menyatakan:
.
'Hendaknya pula kita dapat menang- gapi tindakan politik Presiden (Pres. Soekarno) yang tertuang dalam Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI seperti yang saya sebut tadi, dalam rangka upaya rintisan menyelesaikan konflik politik, untuk tetap menuju kepada kemurnian pelaksanaan UUD 45. Memang Pengumuman tersebut tidak kurang dan tidak lebih hanya merupa- kan upaya untuk merintis-melancarkan penyelesaian konflik
..,, melalui prosedur konstitusionil.
.
. tetapi
.Pengumuman tersebut bukanlah suatu tindakan penyelesaian situasi konflik yang tersendiri, melainkan suatu langkah tindakan dalam rangka upaya mendapatkan hasil penyelesaian yang setepat-tepatnya
..
.. Dalam suasana yang demikian itu tiba-tiba pada tanggal 7 Pebruari 1967 (ketika itu sedang berlangsung sidang Presidium dengan seluruh Menteri-menteri
) kami selaku Ketua Presidium Kabinet/Pengemban Super Semar menerima surat rahasia/pribadi melalui Sdr. Hardi SH. (anggota DPP PNI), surat pengantar dan sebuah konsep Surat Penugasan dari Pres. Soekarno (lengkapnya terlampir).
. Setelah surat tersebut kami baca dan pelajari dengan saksama, sampailah pada kesimpulan bahwa sulitlah kami untuk menerima tugas seperti tercantum dalam suratnya itu, berdasarkan alasan-alasan bahwa dengan tindakan tersebut situasi konflik tidak akan menjadi reda, usaha penyelesaian konflik tidak akan diperlicin, melainkan akan mempersulit keadaan. Bahkan materi dari Surat Penugasan tersebut hanya sekedar formalitas belaka dari tugas-tugas kami selaku Ketua Presidium Kabinet,
. sehingga secara riil Surat Penugasan tersebut samasekali tidak mempunyai arti'.
Penolakan ini rupanya dilandasi atas rasa kemenangan yang telah diambang pintu, dimana DPR-GR waktu itu sudah memutuskan resolusi untuk memanggil Sidang Istimewa MPRS. Lebih lanjut
.. Pengemban SP 11 Maret 1966 menyatakan
.hanya akan bersedia mempertimbangkan penyelesaian lain (di luar SI MPRS), kalau penyelesaian dilandasi oleh TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 pasal 2 (menyatakan berhalangan), alias 'give up'. Sungguh suatu sikap yang arogan, dan nyata-nyata telah mengingkari keberadaan Presiden Soekarno yang masih 'in place', tetapi secara fisik memang berada dalam tahanan.
______________