Peristiwa Madiun yang diprakarsai Muso tidak lama setelah kembali dari pengembaraannya di dunia Marxisme-Leninisme di Uni Soviet, mustahil dapat dipadamkan tanpa sikap tegas Bung Karno. CIA tidak memahami ini. Bung Karno tetap dianggap condong ke blok komunis. Itu sebabnya setelah gagal mendanai dua partai politik dalam pemilu, CIA kemudian mencoba cara lain yang lebih keras, yaitu 'menetralisir' Bung Karno.
Peristiwa penggeranatan tanggal 30 Nopember 1957 atau lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Cikini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari scenario CIA. Walaupun bukti dalam peristiwa yang menewaskan 11 orang dan 30 lainnya cedera masih simpang siur tetapi indikasi keterlibatan CIA sangat jelas. Pengakuan Richard Bissell Jr, mantan Wakil Direktur CIA bidang Perencanaan pada masa Allan Dulles, kepada Senator Frank Church, Ketua Panitia Pemilihan Intelijen Senat tahun 1975, yang melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, membuktikan itu. Ia menyebut sejumlah nama kepala negara, termasuk Pres. Soekarno, untuk 'dipertimbangkan' dibunuh. Bagaimana kelanjutannya, ia tidak mengetahui. Bung Karno sendiri yakin CIA di belakang peristiwa ini. David Johnson, Direktur Center for Defence Information di Washington, juga membuat laporan sebagai masukan bagi Komite Church. Peristiwa Cikini yang dirancang Kol. Zulkifli Lubis, yang dikenal sebagai pendiri intelijen Indonesia, bukanlah satu-satunya upaya percobaan pembunuhan atas Bung Karno. Maukar, penerbang pesawat tempur TNI AU juga pernah menjatuhkan bom dan menghujani mitraliur dari udara ke Istana Presiden. Presiden Eisenhower sendiri memutuskan dengan tergesa persiapan invasi ke Indonesia sepekan setelah percobaan pembunuhan yang gagal dalam peristiwa Cikini. Ia makin kehilangan kesabaran. Apalagi peristiwa itu justru makin memperkuat dukungan rakyat pada Bung Karno.
Ketegangan Bung Karno dengan Gedung Putih mulai mengendur setelah Pres. JF Kennedy terpilih sebgai Presiden AS. Ia malah mengundang Bung Karno berkunjung ke Washington. Dalam pandangan Kennedy, seandainya pun Bung Karno membenci AS, tidak ada salahnya diajak duduk bersama. Kennedy yang mengutus adiknya bertemu Bung Karno di Jakarta, berhasil mencairkan hati proklamator ini hingga membebaskan penerbang Allan Pope. Begitu Kennedy tewas terbunuh, suatu hal yang membuat duka Bung Karno, hubungan Jakarta-Washington kembali memanas. Penggantinya, Pres. Johnson yang disebut-sebut di bawah 'todongan' CIA, terpaksa mengikuti kehendak badan intelijen yang 'mengangkat- nya' ke kursi kepresidenan. Pada masa ini pula seluruh kawasan Asia Tenggara seperti terbakar.
CIA yang terampil dalam perang propaganda, kembali menampilkan watak sesungguhnya. Fitnah dan berita bohong mengenai Bung Karno diproduksi dan disebar melalui jaringan media massa yang berada di bawah pengaruhnya. Tujuannya mendiskreditkan proklamator itu. Hanya di depan publik menyatakan gembira atas kebebasan Allan Pope, tetapi diam-diam diproduksi berita bahwa kebebasan itu terjadi setelah istri Allan Pope berhasil merayu Bung Karno. Sedang pemboman istana oleh Maukar diisukan secara sistematis sebagai tindak balas setelah Bung Karno mencoba menggoda istri penerbang itu.
CIA terus melakukan berbagai trik perang urat syaraf mendiskreditkan Bung Karno. Termasuk di antaranya Bung Karno berbuat tidak senonoh terhadap pramuria Soviet dalam penerbangan ke Moskow. Jauh sebelum itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan CIA pada masa Allan Dulles, pernah meminta bantuan Kepala Kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul dengan peran pria berpostur seperti Bung Karno. Dalam satu artikel di majalah Probe, Mei 1996, Lisa Pease yang mengumpulkan berbagai arsip dan dokumen, termasuk dokumen CIA yang sudah dideklasifikasikan, menyebut yang terlibat dalam pembuatan film itu Robert Maheu, sahabat Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby dan saudaranya.
Lantas apa akhir semua ini ?
(Maruli Tobing)